"Apa yang akan kau lakukan?"Lily menggeleng pelan dengan tatapan kosong.
Harus diakuinya, Jamie memang sahabat yang tidak perlu lagi ditanya tetang kesetiaannya. Gadis itu selalu ada di sampingnya di saat-saat yang buruk sekalipun. Jamie sahabat yang luar biasa. Tapi Lily ingin sekali membungkam mulutnya detik ini, hanya agar gadis itu diam dan berhenti bertanya.
Gadis itu bingung setenga mati. Ia juga takut...lebih dari itu.
Sore itu Lily pergi bertemu dokter setelah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk membuat janji dengan mereka--dokter-dokter itu..
Jamie menemaninya, sebagai ganti Paige yang telah lebih dulu berjanji padanya untuk menemani. Tapi sekarang kakaknya lebih sibuk di luaran rumah mengurus pekerjaan dan sekolahnya.
Untung saja ada Jamie. Walaupun tak banyak membantu dari segi materil. Setidaknya, ia datang untuk menguatkan kepercayaan dirinya.
"Lily..." Suara sahabatnya itu kembali mengingatkannya pada dunia nyata.
"Aku tidak tahu, Jamie. "
Ia bangkit dari kursi ruang tunggu rumah sakit. Tidak peduli lagi pada penampilannya yang kusut. Mereka berjalan menelusuri lorong rumah sakit yang panjang.
"Pikirkan lagi kata-kata mereka, Lil. Usiamu masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu." Jamie berkata terengah, mencoba menjajarkan langkah dengan Lily.
"Lagi pula....""Lagi pula apa?"
"Kenny tidak peduli padamu."
Ya, Jamie benar. Kenny tak peduli padanya. Ia tak berharga.
"Aku tahu. Aku tak berharap lagi padanya." ia berkata malas tapi lebih terkesan memelas.
"Dokter-dokter itu menawarkan bantuan."
"Yang benar saja, mereka itu monster."
Mereka telah sampai di trotoar jalan, ketika Jamie mengamati ponselnya dengan sedikit terbelalak.
"Astaga, aku harus pergi." Ia merapikan kemeja lengan pendeknya yang kusut, lalu menyisir rambut ikalnya yang hitam lekat dengan jari tangannya cepat-cepat.
"Kemana?" tanya Lily dengan bodoh.
"Aku harus mengurus sesuatu, kau tahu kan betapa repotnya masuk universitas."
Lily mengerutkan dahinya, merasa tidak beruntung karena hidupnya tidak sesimpel Jamie.
"Oh, yah...baiklah." Ia menjawab lemah.
"Tidak apa-apa kan?"
"Tentu saja. Pergilah. Aku akan baik-baik saja."
Ia tersenyum untuk terakhir kali sebelum sahabatnya itu menghilang dengan taksi di seberang jalan.
"Aku akan baik-baik saja." bisiknya pada diri sendiri.
Lily memutuskan untuk pergi ke restoran tempatnya bekerja. Lebih baik ia lebih awal datang untuk bekerja setelah beberapa hari sakit.
"Hai, Lil...kau sudah sehat?"
Bonny menyapa dari pantry yang masih sepi. Gadis itu juga baru datang. Ia sedang mengenakan celemek berwarna hijau seragam dari restoran."Yah, sudah lumayan. Agak lebih baik." Lily tersenyum.
Bonny gadis yang bersahabat, dari kerling matanya sudah terlihat betapa menyenangkan ia. Ia berkulit coklat, perpaduan antara warna kulit kedua orang tuanya yang berbeda. Membuatnya digandrungi banyak pria. Entah mengapa perpaduan antara keturunan Afro-Amerika selalu menghasilkan gadis seksi yang menggairahkan setiap lelaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di hari tanpa senyum
Storie d'amoreBagi Paige pekerjaan sebagai babysitter yang ditawarkan padanya adalah hal yang paling diharapkannya. Dan alangkah senangnya ia saat mendapatkannya. Tak peduli siapa yang menjadi majikannya ketika ia tahu, ia hanya ingin mendapatkan sejumlah uang u...