she knew

178 5 0
                                    

Hal pertama yang Lily pikirkan setelah mengambil uang itu ialah, ia akan membeli sebuah mobil.

Beberapa rencana sedang berputar-putar dalam otaknya seperti menawarkan masa depan. Termasuk rencana untuk menikah juga. Tapi itu hanya sekedar impian yang secara paksa menyelinap masuk dalam benaknya dan dengan nada mengejek mengiming-imingi kehidupan yan sempurna.

Lily menepisnya seketika, masih banyak rencana yang lebih masuk akal untuk menghabiskan sisah hidup bersama bayinya. Seperti misalnya, ia akan pergi dari kota sebelum perutnya sempat membuncit. Lalu membeli sebuah pondok kecil di daerah pinggiran kota, dimana ia tak akan kelihatan begitu mencolok bagi orang lain. Ia akan bekerja apa saja, ia tak akan menikah sampai bayinya sudah siap menerima kehadiran orang baru. Lily akan mendedikasikan hidupnya untuk Giselle. Yah, bayinya mungkin adalah bayi perempuan. Tapi jika bukan, Lily akan menamainya Kenneth junior. Bukan sebagai tanda cinta, mungkin hanya sebagai pengingat sang Ayah yang pengecut.

Aneh rasanya memikirkan seseorang yang bahkan tidak ingin melihatmu. Lebih aneh lagi ketika ingat bahwa ia adalah Ayah dari anakmu. Lily meratap dalam hati, bukan ini yang dicita-citakannya.

Saat itu ia sedang duduk di bangku sebuah bus dalam perjalanannya pulang. Angin musim gugur yang kering membuat gadis itu menggigil dan kedinginan. Untungnya semangat tentang rencana masa depan itu cukup membuatnya bertahan hidup.

Ia berjanji pada diri sendiri bahwa secepatnya dirinya akan pergi. Maka, saat ia melangkah menuruni bus yang telah kosong malam itu Lily memutuskan untuk sesegera mungkin untuk pergi ke tempat penjualan mobil bekas milik Wallen Rose.

Lily mengetuk pintu mahoni rumahnya yang telah usang. Di luar sana angin sedang berhembus menerbangkan daun-daun kering, tong sampah di belokan jalan terguling memuntahkan isinya yang menggunung. Lily merapatkan cardigan tipisnya yang tak dapat menghalau hawa dingin. Lalu memindahkan ransel di punggungnya dan lebih memilih memeluknya begitu ingat ada dua ribu dollar dalam tasnya.

"Hallo, ada orang di rumah?!"
Teriaknya dari luar.

Seseorang sedang berjalan menuju ke arah pintu. Bunyi langkah kakinya di atas lantai kayu terdengar dari tempat Lily berdiri.

"Dari mana saja kau?"

Wajah Paige menyembul dari balik pintu. Tampak tidak biasa dengan rambut yang di cepol tinggi-tinggi di atas kepala. Matanya juga sama tidak biasanya seperti raut wajahnya. Gadis itu seperti ingin membanting apa saja yang ia temui.

Paige mengenakan kaus gombrong berwarna maron dengan celana pendek baggy tua berwarna biru yang kusut, seakan menunjukan suasana hatinya yang sedang buruk.

"Bekerja, tentu saja." Jawab Lily pendek. Ia menyelinap masuk di antara tubuh kakaknya yang kurus dan kusen pintu.

"Kenny datang dua hari lalu!"

Lily terkesiap, kakinya yang telah terayun manaiki tangga terhenti di tengah-tengah. Ia takut bergerak seperti tikus di kandang ular, seakan-akan sedikit gerakan bisa membuat nyawanya melayang. Lily menoleh ke arah kakaknya di bawah sana, menyadari bahwa dua hari ini mereka seperti orang asing. Mereka bahkan tidak bertemu sama sekali walaupun tinggal dalam satu atap.

Rasa bersalah membuatnya sulit bernafas.

"Oya?" ia menjawab pelan.

"Oya? Cuma itu? Kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?"

Lily tertegun dalam ketegangan.

"Maaf."

"Kau pikir aku tidak tahu?"

Paige berdiri di dasar tangga. Sedang mendongak ke arahnya. Wajahnya yang geram lebih terlihat ingin tahu.

"Dia sudah mengatakannya padamu, ya?"

"Teganya kau padaku."

Apakah itu sebuah rasa penyesalan yang sedang menyeruak masuk ke dalam hatinya atau ia hanya sedang ketakutan, yang membuat dirinya gemetaran dengan gigi terkatup. Lily tak punya pilihan lain selain berpaling ke arah kakaknya dan menghadapinya dengan tegar.

"Paige, maafkan aku.."

"----sudah terlambat!"

"Itu sebuah kecelakaan." Air matanya yang panas mengalir begitu saja.

"Kau datang padanya dan merenggutnya dariku, dan bilang itu kecelakaan?" ujar Paige ketus.

"Aku tidak pernah bermaksud merenggutnya darimu."

"Sungguh?! Itukah kenyataannya? Lalu Kenapa kau melacurkan diri padanya?"

"Aku tidak seperti itu!" Lily melangkah menuruni tangga. Matanya telah bersih tapi tatapan penyesalan masih tergambar dari sana. "Dia yang menjebakku!"

Plakk !!!!

Paige tidak berkedip. Dari sekian banyak pertengkaran mereka, kali ini benar-benar membuatnya emosional. Kali ini bukanlah pertengkaran biasa tentang masalah-masalah kecil mereka. Baginya, Kenny adalah bagian dari rencana masa depannya. Semuanya telah ia rancang dengan begitu sempurna. Hubungan Mereka bahkan tak punya cacat. Sampai Lily mulai menghancurkan segalanya tanpa sepengetahuan dirinya. Paige benar-benar tak bisa memaafkan.

"Asal kau tahu saja, kau sudah menghancurkan segalanya. Tamparan itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan padaku."

Lily mengusap pipinya yang memerah. Matanya kembali basah.

"Trims. Ini lebih baik." Gadis itu berbisik parau. "Jika itu bisa membuatmu puas. Lakukan lagi!!!!" ia berteriak.

"Percuma saja. Itu tidak akan membuatnya kembali.." Paige mulai berpaling untuk pergi.

"Aku harap tidak. Dia tidak mencintai siapapun." Lily berucap dingin.

"Yang benar saja, dia akan menikahimu, brengsek!!"

Lily ternganga. Apa yang barusan dikatakannya? Ia tak percaya.

"Ada apa ini?!"

Margareth sang mama tiba-tiba muncul dari kamarnya. Wajahnya yang mengantuk tampak sembab dengan rol-rol rambut di sekeliling kepalanya.

"Hanya salah paham, Mom.." jawab Lily pendek.

"Minum susumu dan segeralah tidur, Lily."

"Mom, aku.."

"----sekarang!!"

"Ok."

"..dan Paige, katakan pada Kenny aku ingin bicara padanya besok sore. Telepon dia."

"Soal apa?"

"Tentang kalian. Aku tidak mungkin melepasmu sendirian dengan seorang pria yang entah dari mana asalnya."

"Mom, aku....aku akan pergi sendiri." Paige mencoba berkata datar tapi ia malah tergagap dan gugub.

"Tanpa Kenny?"

"Tanpa siapapun."

"Paige,..kau bilang...ok, ada apa ini?!" ibunya mulai melipat tangannya di dada dan berharap Paige memberinya jawaban yang lebih jelas.

"Aku bilang, itu keputusanku."

"Paige?"

"Jangan cemas. Itu bukan hal yang besar bagiku."

"Mom,.."

"Pergilah tidur Lily! Maksudku sekarang."

"Aku rasa aku juga butuh tidur."

Paige berbalik meninggalkan ibunya di dasar tangga.***

Di hari tanpa senyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang