its time to leave

169 4 0
                                    

"Oh, sayang sekali,...." Rosie duduk di kursi kayu yang mengelilingi sebuah meja makan bergaya lama yang tampak memakan tempat di dapur keluarga Martel. Rosie mengenakan blouse berwarna peach yang lembut dengan kalung manik-manik berwarna hitam yang entah mengapa membuatnya tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Wanita itu tidak terlihat setuju dengan keputusan Paige. Tapi ia masih berharap ada perubahan rencana.

Pagi itu cerah, suhu di luar mencapai dua puluh sembilan derajat celcius, mengingatkan Paige pada musim panas tahun ini yang lebih sering diguyur hujan. Aneh jika awal musim gugur di sambut matahari yang bersinar terang. Ia sudah siap pergi.

"Kami sangat berharap kau masih tetap tinggal untuk satu-dua bulan lagi. Masalahnya kami belum mendapat penggantimu." Rosie menyodorkan secangkir teh camomile pada Paige. Ia dapat mencium aromanya.

"Saya juga berharap begitu. Tapi waktu tidak memungkinkan. Acara penerimaan mahasiswa akan segera di adakan dan saya harus berada di sana sebelum dimulai." jawab Paige sedikit kikuk, sedikit merasa bersalah karena tidak memberitahu sebelumnya tentang rencana kepergiannya.

"Yah, yah...seharusnya aku tahu bahwa kau tak akan lama dalam pekerjaan ini." Rosie menyesap tehnya sendiri.

Yah, memang seharusnya ia tahu bahwa gadis seumurannya tidak akan lama untuk bekerja macam ini. Umurnya baru sembilan belas. Menjadi babysitter hanyalah pekerjaan sampingan untuk menghabiskan waktu selama liburan. Seharusnya keluarga Martel sudah tahu dari awal. Tapi tetap saja penghiburan itu tidak bisa menghapus rasa bersalahnya.

".....lagi pula Molly sangat menyukaimu. Dia sangat sulit menerima orang baru dan membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk mencari...Paige...kau mendengarku?"

Paige mengerjapkan matanya terkejut. Ia baru sadar Mrs. Martel sudah mengoceh kesana ke mari tentang Molly dan ia melewatkannya dengan melamun.

"Maaf, Mrs. Martel.."

"Tidak apa-apa." ia tersenyum hangat. " Semoga saja Molly bisa menerima. Ia masih berada di rumah keluargaku pagi ini. Kesibukan kami semakin padat. Kami menitipkannya di rumah ibuku saat kau tak datang di tengah minggu. Tapi ibuku harus ke gereja saat akhir pekan jadi...kami harus segera menemukan penggantimu, Paige."

"Oooh, saya sangat menyesalkan hal ini. Molly anak yang manis. Seharusnya saya bilang dari awal."

"Tidak apa-apa. Kami pasti segera menemukannya." Rosie martel menyentuh bahunya lembut dengan senyum menawan.

"Kapan-kapan saya akan datang kemari dan menemuinya."

Mereka berdua berdiri untuk mengakhiri sesi pertemuan mereka. Paige telah sampai di bingkai pintu ketika Rosie menyerahkan sebuah amplop gajinya.

"Ini..untukmu."

"Terimakasih Mrs. Martel. Saya pasti akan merindukan Molly."

"Dia juga. Bagaimanapun terimakasih karena sudah membantu."

"Sama-sama."

Paige menuruni bukit landai di mana sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumah keluarga Martel dengan jalan besar terdekat. Angin berhembus sejuk melambaikan rambut coklatnya yang ikal. Suasana cerah yang terasa beberapa menit lalu kini digantikan langit berawan yang membuat pagi lebih muram. Suasana yang seharusnya terjadi pada musim gugur.
Paige lebih senang seperti ini.

Ia melewati hutan kecil di sisi jalan berbatu. Di mana pohon-pohon pinus berjajar dan berbagai tanaman perdu yang tumbuh dengan sulur-sulur ke berbagai arah. Seekor anak anjing labrador sedang berlari mengitari kaki gadis itu. Bulunya indah berwarna coklat dengan gelambir di moncongnya yang mungil.

Di hari tanpa senyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang