Paige mengemasi barang-barangnya malam itu. Tidak ada waktu tersisah lagi. Besok adalah terakhir ia berada di sini.
Dalam ruangan kamarnya yang temaram, ia heran mengapa masih merasa kedinginan. Suasana musim panas tak terasa lagi. Udara yang dingin membuatnya melangkahkan kaki ke arah jendela dan menutupnya.
Lalu mengambil beberapa helai sweter dari dalam lemari, menatanya menjadi satu dengan tumpukan celana jeans dalam kopernya. Paige tidak berpikir untuk membawa raincoat, padahal musim gugur sangat rentan terjadi hujan. Pikirannya sedang melayang kemana-mana. Ia bahkan tak menyadari bahwa lagu-lagu dari radio yang diputarnya sedari sore telah menghilang berganti dengan lagu-lagu lama berirama swing yang mendayu.Pikiran Paige begitu penuh, banyak hal-hal yang hanya bisa dipikirkan tapi tak bisa dilakukan. Ia tidak tahu harus bersedih atau marah, lukanya tidak bisa sembuh hanya dengan bersikap demikian. Ia begitu bingung untuk hanya sekedar tersenyumpun. Dalam benak nya semua terasa serba salah.
Ia masih tidak percaya saja, begitu mudahnya semua ketidak mungkinan ini terjadi. Kenny, cowok baik-baik itu, yang telah mengisi hari-harinya selama hampir empat tahun memutuskan untuk mengutarakan ketidak mantapannya terhadap dirinya.Paige menolak percaya, rasa putus asah membuatnya harus terlarut dalam dunianya sendiri.
Jam menunjukan pukul 02.00 tapi ia masih mematung di sudut ranjang, luapan rasa marah memenuhi dadanya. Tiba-tiba saja ia tersedu-sedu dengan air mata yang mengalir deras.
Pintu diketuk dari luar. Gadis itu menyeka air mata di wajahnya. Sedetik kemudian Margareth mengintip ke dalam kamarnya.
"Tidak bisa tidur?"
Paige mengangguk. Lampu kamar dinyalakan oleh ibunya. Memberikan penerangan yang berlebihan untuk matanya sehabis menangis.
"Jangan takut. Kau pasti senang berada di sana."
Paige tersenyum, ia tidak akan membiarkan ibunya tahu apa yang sedang terjadi.
"Aku tidak khawatir, "
"Seharusnya kau berpamitan pada Ayahmu."
"Yea, besok. Beliau akan mengantarku ke sana."
"Kau sudah membicarakannya sebelum ini?"
"Beberapa kali."
Margareth mengangguk. Matanya menyorotkan sesuatu.
"Aku tidak menyangka bahwa suatu hari aku harus berpisah dengan putriku. Dan sekarang, waktunya telah tiba."Paige beranjak dari tepi ranjang dan memeluk ibunya erat. Air matanya menetes.
"Aku tidak berharap waktu begitu cepat." bisik Margareth dalam pelukannya.
"Aku juga begitu. "
"Bagaimanapun juga, ini memang harus terjadi."
Kata ibunya ketika Paige melepaskan pelukan._______________
Derum mobil berwarna hijau keluaran tahun '90an itu menggeram di atas jalan kecil berkerikil yang menanjak menuju sebuah rumah berdinding bata di depannya. Beberapa kerikil mencelat ke pinggir jalan karena tertumbuk ban mobil, mengenai bunga dafodil yang berjajar di sepanjang jalan masuk. Gadis itu tahu mobil itu tak akan bisa berjalan lebih cepat dari neneknya yang sudah renta.
Lily tidak terlalu tahu tentang mesin atau mobil. Tapi Mobil yang baru di dapatnya itu tidak menunjukkan ada masalah yang berarti. Cat nya masih begitu mulus, kacanya seperti baru di ganti minggu lalu. Dan yang paling penting mobil itu bisa berjalan. Walau tidak terlalu cepat seperti mobil impiannya saat di SMA. Memang sesederhana itu pilihan seorang wanita terhadap hal yang tidak ia ketahui betul seluk beluknya. Kadang wanita tidak akan terlalu cerewet untuk hal-hal tertentu. Lagi pula Wallen Rose memberinya garansi selama satu bulan. Dia akan menjamin tidak akan terjadi masalah yang berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di hari tanpa senyum
RomanceBagi Paige pekerjaan sebagai babysitter yang ditawarkan padanya adalah hal yang paling diharapkannya. Dan alangkah senangnya ia saat mendapatkannya. Tak peduli siapa yang menjadi majikannya ketika ia tahu, ia hanya ingin mendapatkan sejumlah uang u...