dear, love: im sorry

166 6 0
                                    

Ia telah pergi. Secepat itu. Semudah itu.

Tidak! Bukan semudah itu. Sama sekali tidak mudah. Butuh kekuatan hati untuk melihatnya pergi. Dia adalah gadis terbaik, tidak mudah membiarkannya terluka. Kenny menatap jalanan di bawah sana, punggung Paige mulai menjauh dari pintu keluar apartemennya. Di bawah sana.

Penyesalan di hatinya bagaikan cakar yang mencengkram begitu kuat, membuatnya meringis kesakitan dalam diam.

Kenny tidak tahu mengapa menyesal, Kenny juga tidak tahu mengapa cintanya memudar. Yang ia tahu, Paige tidak pantas di bohongi. Gadis itu terlalu baik. Baik dalam arti segalanya. Tak ada yang lebih menyakitkan dari meninggalkannya dalam kebohongan.

Kenny sangat menyayangi Paige. Dan saat tahu hatinya mulai berpaling, ia membenci hatinya sendiri.

**********

"Dengarkan aku, ini tidak seperti yang kau bayangkan."

Jamie menatap sahabatnya dengan serius. Setelah membutuhkan tiga puluh detik yang telah berlalu untuk menetralkan keterkejutan, ia menghadapi Lily tidak habis pikir.

"Menggugurkan kandungan itu tidak semudah memotong kuku, ada banyak hal yang harus kau pikirkan." ia sengaja memelankan suaranya agar tak terdengar orang lain.

Lily mengusap wajahnya putus asa. Lalu mendongak dari percakapan mereka, matanya mengengelilingi ruangan yang ramai pengunjung.

"Dan yang kudengar, rasanya sakit sekali lho.."

"Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, Jamie.." ia berbisik, hampir mendesis.

Mereka sedang duduk di bagian paling pojok di Mitch and Dick. Restoran yang pernah didatangi ibunya beberapa minggu lalu. Lily sengaja datang ke restoran itu hanya agar tak ada yang mendengar mereka saat membicarakan kehamilannya yang ilegal itu. Karena restoran itu masih asing dari penduduk kota, yang datang hanya turis yang tertarik saja.

Restoran itu tak lebih hanya sebuah rumah makan dengan gaya maskulin yang elegan. Ruanganya di dominasi warna hitam dan merah. Tak ada penis seperti yang pernah melintas dalam pikiran Lily sama sekali. Bisa dibilang restoran itu sangat bergaya lelaki yang sopan dan lembut.

Dan sepertinya keputusannya itu tepat dari dugaan.

Lily menunduk ke arah meja formika berwarna merah yang masih baru. Otaknya terasa berat dan penuh.

"Jadi apa kau sudah bilang padanya?"

Lily menggeleng, antingnya yang panjang bergoyang-goyang di atas bahunya.

"Jadi hanya aku yang tahu?" Jamie menyelidik.

"Aku sudah bilang pada Paige."

"Kau gila!!"

"Aku tahu."
Lily mendesah lemah. Ia menyaksikan Jamie meneguk jus jeruknya sampai habis. Mungkin kabar yang didengarnya seharian ini membuat jantung berdetak tak karuan. Lily bisa maklum.

"Jika aku jadi Paige aku akan membunuhmu."

"Sebaiknya tidak." Lily mencoba acuh terhadap jawaban sahabatnya itu. Karena menurutnya, ia tidak akan ambil pusing dengan pikiran orang terhadapnya. Bahkan jika berita ini telah mencuat ke seluruh penjuru kota.

"Hal pertama yang seharusnya kau lakukan adalah bilang pada Kenny. Bukannya bicara kemana-mana."

"Ya ampun, kau tidak tahu betapa paniknya aku, Jamie!"

"Aku hanya bisa melihat betapa bodoh dirimu!"

Lily bangkit dari kursi, tampak frustasi dan lelah.
"Dengar, tak ada gunanya aku menemuimu, Nona. Dan kau tidak menyelesaikan masalah. Aku butuh penyelesaian, Jamie. Dan jika kau tidak ingin memberiku pendapat, sebaiknya kau diam. Atau aku yang pergi!"

Di hari tanpa senyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang