reality

156 3 1
                                    


Paige mengawasi adiknya yang tengah berbaring melintang di ranjang dari balik pintu yang sedikit terkuak. Sebelum akhirnya ia mengetuk dan masuk, sekilas ia melihatnya menangis. Rambutnya yang panjang dan pirang menjuntai mencium lantai. Terlalu dini untuk menuduhkan sesuatu. Lily mungkin hanya korban.

Ia menyaksikan Lily bangkit dan terduduk, menatap Paige dengan murung. Mulutnya yang mungil dan penuh tetap bungkam terkunci. Dari balik kausnya yang gombrong, perutnya masih rata dan kerempeng.

"Lil,.."

"Jangan ikut-ikutan marahi aku..." ia menggerutu.

"Tidak akan."  Paige duduk di sudut ranjang. Ia sangat prihatin pada adiknya.

"Aku ingin sendirian."

Paige mengerutkan dahi. Ia tidak mungkin meninggalkannya dalam keadaan kalut. Lily bisa melakukan apa saja. Hal-hal buruk bisa saja terjadi.

"Bagaimana kalau kita pergi ke Alma's? Hanya agar tidak suntuk." Paige berusaha merayu.

"Entalah Paige, aku butuh istirahat. Aku hanya ingin tidur seharian." matanya yang sembab tidak lagi bersinar dan berani.

Paige bisa maklum. Ia bisa merasa betapa ketakutannya Lily dalam situasi ini. Akhirnya ia meninggalkan saudarinya berbaring di ranjang dalam tumpukan bantal.

Suara ketukan di pintu depan membuat Paige mengurungkan niat untuk pergi ke dapur dan mengambil segelas bir dingin. Ia berlari ke pintu depan, lalu mengintip dari lubang pintu.  Ia terkesiap.

Kenny.

Ia menepuk pipinya sendiri, Paige takut ini hanya mimpi. Mana mungkin Kenny datang menemuinya. Bukankah ia satu-satunya yang selalu berusaha menghindar dalam hubungan Mereka? Apakah ia berubah pikiran? Paige tidak siap untuk menemuinya. Sungguh.

Ceklek'

Pintu terbuka. Kenny mendongak dari sepatu kulitnya yang berwarna coklat. Matanya menunjukkan kelegaan.

Paige mencegah dirinya sendiri untuk menyapa duluan. Ia tahu apa yang diinginkan cowok setelah sebuah perpisahan yang menyakitkan. Paige belum ingin mempermalukan dirinya sendiri.

"Paige, hai....!"
Ia menyapa dengan sikap antusias yang berlebihan.

Nah, ini dia! Tebak Paige dalam kebisuan.

"Bisakah kita bicara, Paige?"

Ia terlalu to the point. Paige tampak sanksi.

"Aku harus bicara padamu."

"Tentang apa kalau boleh tahu?" ia masih berdiri di bingkai pintu, menunggu.

"Aku ingin minta maaf." ia menjelaskan.

"Sudah, kan?"

"Bisakah kita bicara di tempat lain?" satu tangannya tenggelam dalam celana denim coklat yang berlubang di bagian lututnya. Sepertinya Kenny habis minum setoples aspirin. Dari wajahnya, jelas sekali bahwa ia sedang bingung.

Mereka berjalan di atas jembatan Grays river yang menghubungkan Whitemontley dengan bagian selatan kota, tempat yang hanya punya satu bioskop dan dua kedai kopi.

Angin awal musim gugur yang dingin melambaikan rambut coklat Paige, menebarkan aroma buah-buah pir yang matang dari pohonnya. Saat itu langit ber awan dan matahari seperti malu-malu menampakkan diri. Hari itu seperti situasi dalam sebuah mimpi yang aneh.

Paige bersandar pada pagar jembatan yang berwarna emas. Rambutnya berkibar bagai bendera. Di hadapannya Kenny sedang memandangnya dengan dahi berkerut.

Di hari tanpa senyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang