13

149 6 0
                                    

Margareth terduduk di kursi kayu, dimana sebuah meja makan dengan taplak kotak-kotak sedang kosong melompong dari makanan. Hanya ada vas bunga dengan bunga gladiol di atasnya yang menunggu untuk segera dibuang karena sudah layu. Ia memang ibu yang sangat memperhatikan kebersihan. Sampai-sampai mengetahui sampah yang luput dari radarnya pagi ini membuatnya gusar setengah mati.

Tempat sampah di kamar Lily hampir memuntahkan isinya ketika Margareth menyadari bahwa hari ini mobil pengangkut sampah akan datang dan membawa semua kotoran dalam rumah mereka. Dan alangkah terkejut ia saat melihat betapa kotor kamar mandi Putrinya pagi itu. Ia belum masuk ke kamar Paige tapi ia yakin keadaannya tidaklah jauh berbeda.

Tapi bukan itu yang membuatnya terduduk di ruang makan dengan tenggorokan tercekat dan tangan gemetar, sampai-sampai jantungnya melorot hingga kakinya. Margareth mulai membayangkan yang tidak-tidak.

Stik home pregnancy test itu ia temukan terselip di antara tisu bekas yang menumpuk di tempat sampah berwarna perak itu. Keberadaanya cukup mencolok karena 'ia' berwarna biru diantara warna tisu yang lembut. Lily hampir tak punya sampah lain selain tisu. Margareth dapat dengan mudah menemukannya sesaat setelah ia membuka tutup tempat sampah itu. Dan ia cukup tercengang dengan hasilnya.

"Ya ampun. Ini tidak mungkin!"

Hasil tes nya telah mengering. Warna merah yang tampak melintang di tengah stik telah berubah kecoklatan. Tapi masih jelas tergambar bahwa garis itu berjumlah dua buah. Entah siapa yang melakukan test itu, yang jelas dia positif hamil.

Dipandanginya stik itu dengan seksama. Mungkin saja Paige yang hamil karena ia satu-satunya gadis yang punya pasangan. Tapi hasil test itu ada di kamar Lily. Lily sangat individual bahkan bertemanpun ia tidak ingin sembarangan. Tapi mungkin juga Lily, gadis itu mungkin telah terpengaruh lingkungan. Mengingat tempat kerjanya sarat dengan hal-hal macam itu.

Kebingungan membuatnya kalut. Gadis-gadis itu baru menginjak remaja. Kuliahnya juga baru akan dimulai. Apa jadinya jika mereka benar-benar hamil. Ia tidak bisa bayangkan betapa hancur hidup mereka. Margareth mengurut pelipisnya yang tiba-tiba saja menyebarkan rasa pusing ke segala penjuru kepalanya.

Ia benar-benar ketakutan setengah mati. Setahunya anak gadisnya tidak pernah macam-macam. Ia bahkan yakin bahwa mereka masih perawan jika saja pagi ini tidak menemukan barang laknat itu. Payudaranya saja baru tumbuh tiga tahun lalu. Apa mungkin mereka.....

Tooot!toooot!toooot!

Margareth mendongak ke arah jendela dapurnya. Mobil pengangkut sampah itu telah datang dari jalan yang melintas di depan kebun belakangnya.

Wanita setengah baya itu segera bangkit dan mengangkat dua buah kantong sampah besar berwarna hitam berisi sampah dan rongsokan dari ruang bawah tanah. Karena lelah, ia putuskan untuk menyeretnya saja. Tapi kemudian kembali ke meja makan untuk menyambar sebuket bunga gladiol yang telah layu itu dan menjejalkannya di antara sampah dalam kantong itu.

Ia melihat Paige menuruni tangga lantai dua masih dalam piama. Rambutnya yang coklat sedang kusut belum di sisir. Wajahnya tampak murung. Margareth mengwasinya sejenak, kalau-kalau ada yang janggal dari tubuhnya.

"Jangan ke mana-mana! Kita harus bicara!"
Teriaknya sebelum keluar dapur. Ia akan membuat perhitungan dengan mereka jika memang ada yang tidak beres dengan ini semua. Tiba-tiba saja Margareth merasa bodoh bukan main. Gadis-gadis remaja itu telah mempermainkan kepercayaannya. Ia tidak akan membiarkan kegilaan ini terus terjadi. Seseorang harus mengungkapnya dan itu adalah dirinya sendiri.

Akhirnya ia menyapa si pengambil sampah itu dengan senyum terpaksa. Seorang laki-laki keturunan albania yang sudah dua puluh lima tahun bekerja. Rambutnya telah botak. Tapi ia tetap ramah seperti biasanya. Ia selalu mengingatkannya tentang pemisahan sampah kering dan basah. Lalu pergi sebelum Margareth sempat menawarinya kopi.

Di hari tanpa senyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang