Lily secret

162 6 1
                                    

Lily menatap arlojinya berkali-kali. Wajahnya memberengut kecewa karena waktu yang terus berlalu. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Kakak perempuannya yang sedari tadi duduk di hadapannya kini mulai bosan dan mutuskan untuk pergi dari kursinya sejenak. Ia pergi entah kemana, tapi mata Lily memastikan Paige tidak menyebrangi jalan untuk bertemu Kenny.

Ini waktu mereka untuk menghabiskan sore bersama ayah mereka tercinta. Yang entah mengapa pria yang selama ini begitu merindukan kebersamaan kembali itu menginginkan bertemu di tempat Lily bekerja. Lory's.

Lily berdecak kesal. Lagi. Ayahnya telat setengah jam lebih. Ia benci menunggu lama. Apa lagi hujan sudah mulai menunjukkan tanda-tandanya.

Dari dalam restoran ia bisa melihat jalanan yang di guyur hujan lebat. Ini bukan lagi hujan gerimis malu-malu seperti yang ada di film romantis. Saking lebatnya, jarak pandang hanya bersisah beberapa meter saja.

Tiba-tiba Paige muncul dari seberang jalan. Berlari buru-buru menghindari hujan, menuju restoran. Rambutnya lembab walau ia menutupinya dengan hoodie.

"Hey, Dad belum juga datang?" tanya kakaknya terengah. Tampak sekali gadis itu sedang senang.

"Belum. Kau dari mana?"

"Dari sana." ia menunjuk.

"Apartemen Kenny ada di atas sana. Sebentar lagi dia akan bergabung bersama kita."

"Bukankah ini pertemuan keluarga?"

"Lalu Kenapa? Dia tidak akan merusak suasana koq.."

Lily menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi, berbicara pada Paige membuatnya naik darah. Jadi ia putuskan untuk diam saja.

Bukannya cemburu lagi, bagi Lily bertemu Kenny adalah hal yang paling ia hindari. Tak bisa di pungkiri, Lily masih menyimpan perasaan itu.

Baginya Kenny adalah cinta pertama. Mustahil ia bisa lupa dalam sekejap mata.

Sejak hari ia memutuskan untuk tidak menemui Kenny lagi, ia belum pernah melihat wajahnya sama sekali. Apa jadinya jika hari ini ia menyaksikannya bergelayut di pundak Paige.

"Daddy datang!!"

Lamunannya terpotong oleh suara kakaknya yang terdengar antusias. Lily mengerjapkan matanya lalu menoleh ke belakang.

"Hei, anak-anak....ugh-oh aku benci hujan. Untung saja Nancy selalu menyiapkan payung di jok belakang. Hujan selalu saja datang saat ada janji bertemu seseorang."

"Dia tidak datang?Nancy?" Lily mendongak ke arah ayahnya yang menjulang.

"Dia...tidak ikut. Migrainnya kumat semalam."

Para gadis itu tersenyum senang.
"Kita jadi punya privasi sebagai keluarga hehe.."

"Apa maksudnya?" laki-laki yang menyisahkan hampir separuh rambut di kepalanya itu tampak aneh.

"Tidak, kami hanya ingin bersama Dad." bujuk Lily.

"Tidak. Bukan itu maksudku. Kalian tidak menyukai Nancy?"

"Tidak sebesar rasa suka kami pada Mom." Paige menjawab dengan kerlingan.

"Astaga, kalian ini...dia juga punya hak terhadap kalian. Mau tidak mau dia adalah bagian dari diriku juga." Ayahnya membetulkan posisinya duduknya.

"Asal jangan kelewatan saja." Paige bergumam memprotes yang di sambut dengan tawa kecil dari Lily.

"Oh-hey, jadi ini tempat kerja barumu Lil? Ternyata tidak seburuk yang ada di pikiranku."

"Memangnya apa yang ada di pikiran, Dad? Kalian pikir aku,...melacur?"

"Ayolah, Lil...jangan merusak suasana dengan prasangka burukmu itu. Aku hanya khawatir kau terjerumus pergaulan yang buruk."

Di hari tanpa senyumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang