#13

2.5K 125 0
                                    

***

Hari itu, hari weekend. Biasanya, setiap weekend Aga selalu mengajaknya bepergian jauh. Untuk menghilangkan rasa penat diantara diri mereka.

Tapi, hari itu terasa berbeda.

Aga terus memainkan iPhonenya tanpa memperdulika sosok Gista yang berada disampingnya.

"Ga," panggil Gista lirih.

Panggilan pertama, Aga masih terpaku dengan iPhonenya sambil senyum-senyum sendiri.

"Ga,"

Panggilan kedua, Aga hanya menoleh sebentar dan kembali menatap layar iPhonenya.

"Ga,"

Panggilan ketiga, Aga benar-benar tidak menghiraukan Gista.

"Aga!"

Gista menyerobot iPhone yang sejak tadi Aga genggam.

"Ish, apaan sih, Ta. Balikin hp gue!"

"Nggak."

Gista berlari menghindari Aga yang masih berusaha mengambil kembali iPhonenya.

"Ta, balikin, ih!"

"Nggak."

Gista mungkin sudah kehabisan akal untuk membuat Aga berpaling dari iPhonenya.

"Ih, Ta. Apan sih gak lucu."

"Bodo."

"Balikin, Ta. Gue lagi chattingan sama Tania, nih."

Sontak, nama itu membuat Gista terdiam. Ia menghentikan larian kecilnya. Membiarkan Aga merampas paksa iPhonenya dari genggamannya.

Hatinya semakin tak tenang. Gelisah tak karuan.

Ia seolah tak mengenal sosok Aga yang seperti ini. Sosoknya yang mengabaikan kehadiran Gista.

Dan, selalu terpaku pada layar iPhonenya tanpa menoleh sedikit pun.

Gista sudah tak lagi dapat membendung perasaan kesalnya yang bergejolak. Ia naik ke atas kamar dan duduk di pinggir jendela kamar.

Aga hanya melirik Gista yang kesal sebentar lalu kembali menatap layar iPhonenya tanpa memperdulikannya lebih lanjut.

Perasaan yang membuat dadanya terasa nyeri itu datang lagi. terlebih, saat ia mendengar nama Tania disebut oleh Aga.

Rasanya ingin ia teriak dan menangis sejadi-jadinya. Tapi, seperti ada yang menahan airmatanya untuk keluar. Ia tak dapat mengeluarkan airmata yang biasanya langsung turun ketika Gista mulai merasa kesal yang memuncak.

Semakin bingung akan apa yang terjadi dengan dirinya.

Berkali-kali Gista mencoba untuk menarik nafas dan membuangnya. Berharap segala hal yang memenuhi rongga dadanya akan hilang begitu ia menghembuskan nafasnya.

Ternyata, sama saja.

Perasaan nyeri itu tidak juga hilang. Malah semakin menyesakkan dadanya.

Ia hanya dapat pasrah ketika perasaan nyeri itu datang membuatnya semakin tak karuan perasaannya.

Marah, kesal, rindu, dan cemburu. Kini menjadi satu.



When I Was Your WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang