'My Stupid Girl' [1]
Muhammad Aryanda.
-OoO-
*
"(Namakamu), bodoh, mending kita masuk daripada nungguin cowok batu itu,"
"Iya, nih, lo nggak capek apa udah hampir setahun tapi cinta lo selalu di tolak muntah-muntah!"
"Percuma lo ceramahi sih (namakamu) karena sampe kapan pun dia nggak bakal berpaling dari cowok bodoh itu."
(Namakamu) menggeram kesal saat telinganya lagi-lagi mendengar gerutuan ketiga sahabatnya ini. Sudah hampir lebih dari 15 menit (namakamu) mendengar mereka menggerutu tak jelas seperti itu, lagipula (namakamu) tidak menyuruh mereka menemani dirinya kan? Mereka sendiri yang mau menemani (namakamu) menunggu seorang lelaki di depan gerbang sekolah!
"Kayaknya dia nggak dateng deh." Ujar salah satu ketiga lelaki itu, badannya bisa di bilang yang paling besar tapi tidak bisa di kategorikan gendut.
"Mungkin Bagas bener, (namakamu). Cowok idiot itu nggak dateng!" Yang badannya paling kurus tapi memiliki tinggi yang setara dengan lelaki yang di panggil Bagas itu manggut-manggut membenarkan.
"Lo berdua kayak nggak tau (namakamu) aja deh, sebelum bel dia nggak bakal beranjak dari tempat ini," Cerocos lelaki lainnya. Kalau lelaki ini bisa di bilang memiliki tinggi setara dengan (namakamu) yang berarti lebih pendek dari kedua teman lelakinya. Pipinya juga lumayan chuby.
(Namakamu) sudah lelah sedari tadi mendengar ocehan teman-temannya, dia melemparkan tatapan tajam secara bergantian pada teman-temannya.
"Diem. Bisa?"
Bagas berdecak. "Tuh kan, lo udah ketularan sama cowok itu. Sejak kapan kalimat lo jadi hemat gini?"
"Awas aja lo, (namakamu), kalo lo sampe berubah gara-gara tuh cowok sialan, gue nggak segan-segan bakalan ngeberi dia pelajaran," Janji lelaki kurus, yang berdiri tepat di sebelah Bagas-Gilang.
Lelaki chuby yang ada di sebelahnya menatapnya dengan kening berkerut-Difa. "Emang lo berani?"
"Kan bareng-bareng sama kalian," Gilang nyengir, dan langsung di hadiahi jitakan oleh Bagas.
"Sakit, nyet," Sungut Gilang.
"Jangan bilang lo nggak berani sama dia?" Tanya Bagas dengan mata menyipit curiga.
"Gue berani sama dia, cuma, yah, gitu!"
"Yah gitu, apa, Lang?" Pertanyaan Difa jelas menyudutkan Gilang.
"Gue males,"Kata Gilang datar.
"Males karena takut di pukul?" Sergah Bagas sinis.
Gilang tak menimpali pertanyaan Bagas, lelaki itu hanya diam sambil menatap kecut Bagas dan Difa.
"Emang lo berdua berani sama cowok sialan itu?" Gilang balik bertanya dan nyengir.
"Berani," tegas Bagas.
Gilang menatap remeh pada Bagas, dalam hati dia ngedumel kalau jawaban Bagas itu semata-mata supaya terlihat keren di depan (namakamu) atau siapapun yang mendengar jawaban songongnya itu.
"Lo?" Gilang menoleh pada Difa yang belum menjawab.
"Gue?"
"Iya!" Teriak Gilang geram.
Tapi sepertinya Difa tak kebagian untuk menjawab pertanyaan dari Gilang karena tiba-tiba saja lelaki yang sedang mereka jadikan bahan untuk perbincangan pagi ini sudah terlihat beberapa meter dari gerbang sekolah. Bagas, Gilang dan Difa mengumpat dalam hati saat melihat bagaimana cara jalan lelaki itu yang terlalu di buat sok keren, terlebih bagaimana kedua tangan lelaki itu terjejal di saku celana. Sok keren bangetkan?
Yep. Mungkin itu dalam pandangan mereka bertiga, tapi bagaimana dalam pandangan (namakamu)?
Kepala (namakamu) yang sedari tadi sibuk bergerak kesana-kemari mencari sosok lelaki pujaan yang tak kunjung datang perlahan mulai berhenti dan tertumbuk pada sosok lelaki pujaannya, yang sedang berjalan dengan kerennya di ujung sana. Seolah waktu berjalan begitu lambat, dengan gerakan slow motion (namakamu) memperhatikan lelaki itu dengan seksama; beberapa helai rambut hitam lelaki itu bergerak dengan lembut karena di tiup angin, tatapan tajam yang di hasilkan oleh iris mata hitam itu tampak begitu mematikan, bibir tipis yang tak pernah menyunggingkan sebuah senyuman itu begitu terlihat menggoda iman (namakamu), dan bagaimana cara lelaki itu berjalan adalah yang paling (namakamu) suka, tidak, (namakamu) tidak hanya menyukai bagaimana lelaki itu berjalan tapi semua yang ada pada lelaki itu termasuk bagaimana cara lelaki itu bernapas.
"Hai, Iqbaal," sapa (namakamu) seperti biasa ketika Iqbaal sudah berada di dekatnya-sebenarnya Iqbaal hanya ingin masuk ke pekarangan sekolah-.
(Namakamu) sudah berada di hadapan Iqbaal, dan Iqbaal menatapnya tanpa ekspresi sedikit pun. Hal itu selalu terjadi, jadi (namakamu) tidak perlu terlalu khawatir, (namakamu) sudah biasa dengan sikap cuek dan dingin Iqbaal yang selalu di lontarkan pada setiap orang terlebih dirinya.
"Mau apa," Terdengar bukan seperti pertanyaan melainkan sergahan supaya (namakamu) lekas menyingkir dari hadapannya.
(Namakamu) nyengir memandangi wajah Iqbaal yang bisa di bilang lumayan dekat dengan dirinya, dan juga (namakamu) bisa merasakan kalau Iqbaal juga balas menatapnya walaupun dengan mata hitam yang gelap yang sulit di artikan.
Karena (namakamu) tak kunjung bergerak- seperti biasanya-, Iqbaal memilih bergeser untuk menyingkir dari gadis aneh ini, tapi saat tubuhnya bergeser, (namakamu) juga ikut memindahkan tubuhnya, mencoba menghalangi Iqbaal supaya tidak langsung pergi. Mereka terus seperti itu sampai Bagas, Gilang dan Difa benar-benar bosan melihat tingkah mereka, yang bisa di bilang seperti pemain drama linglung.
"Minggir," kata Iqbaal, sudah mulai jengkel dengan gadis di hadapannya yang tak kunjung pergi.
"Mungkin lebih banyak lagi?" Yang (namakamu) maksud disini adalah kata yang keluar dari mulut Iqbaal harus lebih banyak lagi.
Iqbaal mendesah, membuat (namakamu) tersenyum lebar, percaya atau tidak (namakamu) juga sangat menyukai desahan yang keluar dari mulut Iqbaal itu. Menurutnya desahan itu terdengar sangat sexy.
"Oke, boleh lewat," (Namakamu) menggeser tubuhnya, memberi peluang agar Iqbaal bisa melintas.
"Apalagi?"
(Namakamu) terkesiap, dia pikir gerutuan itu di arahkan untuknya tapi saat dia menoleh kebelakang ternyata; Bagas, Gilang dan Difa sedang menghadang jalan Iqbaal. (Namakamu) mendengus sebal, tingkah tiga bocah itu memang tidak pernah terlihat mengenakan di mata (namakamu).
"Dia nantang lo duel," Kata Difa yang langsung membuat (namakamu) shock.
Iqbaal tidak menggubris ucapan bocak pendek itu, menurutnya meladeni mereka sama saja membuang-buang waktu yang mungkin bisa di gunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Jadi Iqbaal langsung melenggangkan kakinya untuk segera pergi, tapi lagi-lagi jalannya di tutup dengan tiga bocah ingusan ini, yang bodohnya sama saja seperti gadis tadi.
"Woy! Apa lo nggak denger? Dasar bolot!" Umpat Difa pada Iqbaal.
Gilang berjengit seakan mendapatkan sebuah ide. "Apa jangan-jangan lo nggak berani sama sih gumpalan lemak ini-anjir!" Gilang mengaduh kesakitan saat Bagas menginjak kakinya dengan sekuat tenaga.
"Ah, cemen lo!" Cecar Difa.
Plak! Plak! Plak!
(Namakamu) tidak tahan dengan tingkah ketiga temannya yang bisa di bilang selalu terlihat memalukan, lalu? Tingkahnya barusan pantasnya di sebut apa? Oke, lupakan. (Namakamu) langsung mendorong, menendang, menampar, menjitak ketiga temannya itu secara bergantian supaya menyingkir dari hadapan Iqbaal.
"Kalian bertiga mau ngapaian? Nggak usah buat tingkah yang ngebuat gue malu sama Iqbaal. Oke? Mending kalian bertiga itu masuk ke kelas karena sebentar lagi bakalan bel." Suara Bel berbunyi, Bagas, Difa, dan Gilang langsung ngacir, sementara (namakamu) memutar badannya untuk melihat sosok Iqbaal, yang ternyata sudah menghilang entah sejak kapan.
*
Bagas, Gilang, dan Difa tidak mengerti bagaimana kaum hawa begitu mendambakan sosok seperti itu. Hampir seluruh murid perempuan di sekolah ini selalu menyempatkan mampir ke kelas mereka hanya untuk melihat sosok lelaki itu lalu pergi, bahkan kakak kelas yang notabenenya adalah kakak kelas favorit mereka, juga melakukan tindakan tolol itu. Dasar! Memangnya apa yang spesial sih dari lelaki bernama lengkap Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan itu? Terlebih (namakamu)-teman mereka-gadis itu sangat mencintai Iqbaal, tapi untungnya gadis itu masih waras karena tidak menyatakannya pada Iqbaal, karena semua orang tahu kalau Iqbaal tidak akan mungkin menerima cinta (namakamu), atau jangan-jangan Iqbaal tidak suka perempuan?
Saat jam istirahat, (namakamu) tidak langsung ngacir ke meja Iqbaal tapi malah duduk diam sambil mencatat materi yang ada di papan tulis. Perlu di ketahui kalau semua murid perempuan yang ada di kelas ini sama gilanya seperti (namakamu); mereka menghabiskan waktu mereka di dalam kelas hanya untuk memandangi Iqbaal yang sama sekali tidak pernah menggubris tatapan mereka, dan itu berakibat fatal bagi catatan yang harus di tulis saat jam istirahat.
"(Namakamu), lo mau sampai kapan kayak gini?" Tanya Bagas basa-basi, lelaki itu duduk di hadapan (namakamu) sambil menatap malas ke arah (namakamu) yang masih sibuk mencatat.
"Gue nggak ngerti lo ngomong apa," kata (namakamu) tanpa tak menoleh.
"Iqbaal," Bagas yakin kalau dia menyebut nama lelaki sialan itu pasti (namakamu) langsung paham.
(Namakamu) mengangkat wajahnya dan memandang Bagas dengan sebelah alis terangkat. "Gue itu tipe cewek yang setia, walaupun Iqbaal nggak suka sama gue tapi gue bakalan tetep suka sama dia. Ngerti?"
"Bodoh. Hidup lo bakalan terus berjalan sia-sia kalau lo cuma ngeliat ke dia doang. Masih banyak cowok yang lebih keren, ganteng, dan baik. Pokoknya lebih dari dia deh," Cerocos Bagas, yang membuat (namakamu) menyipitkan matanya curiga. "Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Muntahin semua hal aneh-aneh yang sekarang lagi lo pikirin."
"Lo iri sama Iqbaal?"
"Iri? What? Atas dasar apa?"
"Atas dasar kalau dia lebih dari lo,"
"Gini ya, (namakamu), meskipun murid cewek di sekolah ini pada tergila-gila sama cowok sinting itu, asal lo tau kalau banyak cewek diluar sana yang mengajar-ngejar cinta gue,"
"Ngejar cinta apa nagih hutang?"
"Ngejar cintalah, secara gue ini ganteng kayak Taylor Lautner."
"Telur mata sapi kali," Cibir (namakamu), (namakamu) terkekeh saat mendengar Bagas menggeram menahan kesal, daripada mengurusi Bagas yang dia tahu tidak akan ada habisnya mengibul, lebih baik (namakamu) melanjutkan catatannya, dan sekilas (namakamu) melihat seorang gadis masuk ke dalam kelas. "Cewek lo tuh."
Bagas mengedarkan penglihatannya, mencari-cari orang yang di maksud oleh (namakamu) dan Bagas langsung mendapati kakak kelas favoritnya itu masuk ke dalam kelas dengan sangat anggun. Mendadak dunia bergerak begitu lambat dan Bagas begitu menikmatinya, tapi bibir Bagas segera mengerucut sebal saat tahu kalau Kakak kelasnya itu berjalan ke meja lelaki sialan itu.
Murid perempuan yang berada di dekat meja Iqbaal segera menyingkir saat melihat kehadiran Salsha, sang kakak kelas. Kehadiran Salsha tentu membuat murid perempuan di kelas ini sebal, kalau tidak memandang Salsha sebagai kakak kelas mungkin mereka sedaritadi dengan senang hati akan mencakar wajah gadis (sok) cantik itu. Kebalikan dari murid perempuan, murid lelaki di kelas ini malah senang dengan kehadiran Salsha, termasuk Bagas dan Gilang. Difa tidak termasuk karena menurut dia Salsha sama saja seperti (namakamu). Tipe cewek Difa itu yang kalem dan nggak neko-neko.
"Sok cantik banget," Cibir (namakamu) sambil menutup bukunya, kemudian dia melipat tangannya dan mengarahkan tatapannya ke meja Iqbaal dengan sikap memperhatikan. Mata dan alisnya sangat mencerminkan karakter antagonis seperti di film-film.
"...gue suka sama lo."
Kalimat itu keluar dari mulut Salsha dengan sangat jelas tanpa cacat bahkan terdengar begitu meyakinkan kalau apa yang akan keluar dari mulut lelaki di hadapannya (sebagai jawaban) begitu sesuai dengan harapannya.
Kelas hening. Semua murid yang ada di dalam kelas di buat kaget dengan aksi gila Salsha. Oke, mereka semua tahu kalau Salsha termasuk salah satu gadis di sekolah ini yang paling ingin di kencani oleh banyaknya murid lelaki, dan memang sempat secara terang-terangan memberi tahu murid-murid terlebih kelas ini kalau dia menyukai Iqbaal. Tapi, apakah dia tidak tahu bagaimana sifat Iqbaal? Apakah Salsha lupa kalau lelaki di hadapannya itu bukan seperti kebanyakan lelaki lain di luar sana yang berbondong-bondong mengejar cintanya.
"Tapi gue nggak,"
Jelas? Apa kalimat yang keluar dari mulut Iqbaal masih kurang jelas? Semua orang berseru mendengar jawaban Iqbaal, yang seolah tanpa susah payah mengeluarkan jawaban.
Salsha diam seperti patung, detik ini juga dia merasakan kalau harga dirinya sudah hilang sebagai kakak kelas. Bagaimana mungkin bisa hal seperti ini terjadi padanya? Perlu di ingat kalau hal memalukan seperti ini adalah pertama kalinya terjadi di dalam hidupnya.
"Lo..serius?"
Apakah dia tuli? Itu yang ada di dalam pikiran semua murid perempuan yang ada di kelas ini, termasuk (namakamu).
Iqbaal mengangguk tanpa beban, dan tindakannya itu membuat murid lelaki di kelas ini menggeram menahan kesal, dan menganggap kalau Iqbaal adalah lelaki paling bodoh karena sudah menolak cinta dari Salsha.
"Gue..bener-bener suka sama lo," Salsha mengulang dan menambahkan dengan suara gemetar.
Iqbaal yang tidak terlalu fokus dengan Salsha perlahan mengangkat wajahnya dan menatap wajah gadis di hadapannya, sebagaimana seorang gadis yang telah patah hati, Iqbaal melihat semuanya sekarang tergambar jelas di wajah Salsha. Mata yang mulai memerah itu hendak mengeluarkan cairan bening yang Iqbaal tahu cepat atau lambat akan membasahi wajah gadis yang tidak terlalu cantik ini.
Berselang beberapa detik kemudian, setelah Salsha mencoba menguatkan dirinya agar tidak menangis di hadapan lelaki ini, kakinya perlahan mulai bergerak menuntun tubuhnya yang dia rasa mulai terasa berat. Salsha berjalan dengan kesusahan, menghindari tatapan orang-orang yang menatapnya iba.
Kelas kembali hening, masih di sibukan dengan pikiran masing-masing tentang kejadian beberapa menit yang lalu. Kejadian yang begitu singkat dan sangat, yah, tolol. Seorang kakak kelas paling populer menyatakan cintanya pada adik kelas yang juga populer, dan di tolak mentah-mentah. Semua murid di kelas ini yakin, gosip ini akan segera menyebar dalam waktu singkat, dan dalam waktu singkat itu juga Salsha akan menanggung malu atas perbuatan tolol yang dia lakukan barusan.
"Kamu keren!"
(Namakamu) melompat dan duduk tepat di samping Iqbaal, menatap wajah lelaki tampan itu dengan rinci, seakan ketampanan yang di pancarkan wajah lelaki itu tidak pernah luntur dan tak pernah membuat (namakamu) bosan. Seperti biasa, (namakamu) menyerahkan tupperware kecil berwarna biru yang di dalamnya terdapat roti bakar buatannya. Walaupun (namakamu) sering melakukan itu dan Iqbaal selalu menolaknya, tapi (namakamu) seakan tidak pernah jerah, dia terus memberi Iqbaal roti bakar buatannya setiap jam istirahat.
"Nanti kamu latihan?" Pertanyaan yang keluar dari mulut (namakamu) juga sama seperti hari-hari sebelumnya. Melihat Iqbaal yang tak sedikit pun akan merespon ucapannya, (namakamu) sambil cekikian menyentuh tangan Iqbaal yang sibuk menulis itu dengan telunjuknya.
Tangan itu berhenti bergerak, bolpoin yang sedari tadi di genggam Iqbaal di letakan di tengah buku lalu Iqbaal menutupnya. Tanpa berusaha sedikit pun menganggap keberadaan gadis di sebelahnya, Iqbaal dengan santai beranjak dari tempat duduk dan berjalan pergi. Begitu melihat sosok Iqbaal sudah hilang dari pintu, beberapa murid yang sempat menyaksikan ketololan (namakamu) dengan senang hati tertawa lepas. Selalu seperti itu, terlebih murid lelaki, dan terlebih lagi Bagas, Difa dan Gilang. (Namakamu) mendapati ketiga temannya itu tertawa terpingkal-pingkal sampai memukul-mukul meja, memegangi perut seakan mereka baru saja menyaksikan lelucon paling tolol
*
"(Namakamu), sumpah, tadi lo itu lawak banget!" Bagas seakan masih belum bisa melupakan kejadian di kelas tadi, dia yang notabene-nya paling senang menertawakan (namakamu) kembali mengingatkan kedua temannya akan kejadian beberapa menit tadi.
(Namakamu) mendelik pada Bagas, seakan dengan begitu Bagas akan menghentikan tawa bodohnya itu. Dia pikir itu begitu lucu ya?
"(Namakamu), (namakamu), lo itu kayaknya yang paling liar di antara cewek gila yang suka sama sih cowok sinting itu!" Ucap Gilang dengan wajah menyesal, yang terlalu di buat-buat.
"Kayaknya lo harus cari idola baru, idola yang nggak sering mempermalukan lo di depan banyak orang," Difa mengingatkan, dengan wajah khas bapak-bapak yang sedang menasehati anaknya.
(Namakamu) hanya bisa mendengus sebal mendengar cemooh dari ketiga temannya yang tak pernah absen. (Namakamu) sudah terlalu biasa dengan kata-kata kurang senonoh yang keluar dari mulut mereka, terlebih Bagas yang mulutnya mirip seperti ibu-ibu komplek yang sering ngerumpi di sore hari. Lihat itu! Bagaimana mungkin bisa lelaki berbadan besar itu menyempatkan menertawakan (namakamu) di sela menikmati makanan? (Namakamu) mengetuk-ngetuk garpu yang ada pada genggamannya ke mangkok kosong di hadapannya. Berdoa dalam hati semoga saja bakso itu tertelan bulat-bulat dan tersumbat di tenggorokan Bagas.
"...kali aja sih Iqbaal nggak normal," (namakamu) tidak tahu kenapa telinganya begitu sensitf kalau mendengar seseorang menyebutkan nama lelaki itu, entah karena rasa cintanya yang begitu besar pada Iqbaal atau memang dianya yang sudah tidak waras?
(Namakamu) menoleh kebelakang, menatap segerombolan murid lelaki di kelasnya, yang sepertinya tengah membahas kejadian di kelas tadi.
"Hei, kalian! Jangan suka ngegosip! Dasar bapak-bapak komplek!" (Namakamu) menatap marah pada mereka, menatap satu-persatu segerombolan murid lelaki itu dengan bola mata yang nyaris keluar dari rongga.
"Kita bukan ngegosip, tapi lagi ngomongi fakta, kalo emang dia normal, nggak mungkin kali dia nolak cewek seperfect Salsha," kata lelaki yang tubuhnya paling kecil di antara segerombolaan lelaki itu, senyum sinis di akhir kalimatnya membuat (namakamu) ingin melempar botol kecap yang ada di meja.
"Emang lo ada bukti kalo sih Iqbaal itu gay!" (Namakamu) menggeser kursi hendak ingin berdiri, tangannya sudah mencengkram botol kecap siap untuk menampol lelaki kecil bernama Aldo. Akan tetapi tindakan (namakamu) langsung di tahan sama Gilang, yang kebetulan berada di sebelah (namakamu). (Namakamu) menghela napas pendek, mengabaikan beberapa pasang mata yang kini menengok ke mejanya.
"Gue emang nggak ada bukti, tapi tingkah idola lo itu udah membuktikan semuanya," tandas Aldo.
(Namakamu) sudah naik pitam, tapi berusahaa sekuat mungkin agar tidak meledak-ledak. (Namakamu) hanya tak ingin Aldo masuk dalam list cowok-yang-berkelahi-dengannya, (namakamu) tak mau itu, dia tidak mau memperbanyak orang masuk dalam daftar itu. Bukannya tidak berani, hanya saja (namakamu) sudah mendapatkan teguran dari wali kelasnya berkali-kali sebagai murid perempuan yang sering berkelahi dengan murid lelaki, dan kalau hal ini terjadi lagi, wali kelasnya mengancam akan melaporkan kepada orang tua (namakamu).
"Gue balik duluan," (namakamu) beranjak dari tempat duduknya dan berjalan tergesah-gesah keluar kantin. Dia mengabaikan panggialan ketiga temannya, dan terus berjalan, karena (namakamu) tahu sekarang dia harus kemana.
Ke tempat lelaki itu.
Saat istirahat, Iqbaal selalu menghabiskan waktunya di bawah pohon rindang di halaman belakang sekolah. Lelaki itu selalu menyindiri, tidak mau bersosialisasi, ada beberapa kali (namakamu) dapati seorang murid lelaki mencoba mengajak mengobrol Iqbaal tapi Iqbaal tetap dingin dan seakan sangat risih dengan kehadiran lelaki itu. Dan sekarang, tujuh meter di hadapannya sudah terlihat sosok Iqbaal sambil duduk bersender di pohon rindang itu dengan tatapan yang fokus pada buku Kimia.
"Iqbaal!" Panggil (namakamu), tahu kalau panggilannya tidak akan di respon, (namakamu) menyeret langkahnya lebih dekat pada Iqbaal, dan duduk di sebelah lelaki itu. "Gue lagi kesel sama murid cowok yang ada di kelas kita, lo tau nggak, mereka ngatain lo, gue nggak suka sama mereka yang kayak gitu. Gue tau mereka itu iri sama lo, mereka nggak bisa ngebuat si kakak kelas sok cantik itu tertarik sama mereka, dan gara-gara insiden di kelas tadi, mereka sekarang, di kantin, lagi ngegosipin lo yang nggak normal! Gue sih nggak percaya, masa iya, cowok secakep lo kagak suka cewek!" (Namakamu) terus nyerocos, tak memperdulikan Iqbaal yang hanya diam sambil tetap menatap buku kimia itu, seakan buku itu lebih penting daripada gosip hangat yang (namakamu) bawa ini.
"Iqbaal, sekali aja, respon ucapan gue," (namakamu) merengek, menarik-narik lengan Iqbaal sampai lelaki itu nyaris terjatuh karena tindakannya. Mau tidak mau pun akhirnya Iqbaal menolehkan wajanya pada (namakamu).
"Apa,"
(Namakamu) menunduk dalam, adakah kalimat yang lebih tolol dari itu? Memangnya cerocosan (namakamu) dari tadi tidak sampai di telinga lelaki ini?
(Namakamu) menghela napas pendek. "Lo beneran nggak suka cewek?"
Satu detik...
Lima detik...
Sepuluh detik...
Iqbaal hanya diam saja, memandang wajah tolol (namakamu) tanpa eskpresi.
"Gue emang gak suka perempuan," kata Iqbaal yang langsung membuat (namakamu) menangkup dadanya, karena merasa jantungnya saat ini seperti hendak ingin meledak. "Mereka egois, cerewet. Apa yang ada di dalam hati dan tingkah laku beda. Nggak ketauan dalamnya baik atau buruk, dan juga, mereka suka seenaknya menganggap lelaki sebagai miliknya sendiri. Mereka adalah makhluk yang paling menyebalkan, membosankan, dan sangat suka menyusahkan orang,"
(Namakamu) tercengang. Mata dan mulutnya terbuka lebar, bukan karena kaget dengan ucapan Iqbaal, melainkan dengan rentetan kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu lebih banyak dari biasanya. Andai saja (namakamu) tahu kalau Iqbaal akan berbicara sepanjang ini, (namakamu) pasti akan merekamnya. (Namakamu) juga sangat suka suara Iqbaal, menurutnya suara Iqbaal adalah alunan melodi paling indah baginya sebagai pengantar tidur.
Bersambung...@Aryaandaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid Girl
Romance" Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping "