'My Stupid Girl' [12]
by Muhammad Aryanda.
-oOo-
(Namakamu) menghela napas pendek. Setelah pergi ke kantor guru untuk menjumpai wali kelasnya, (namakamu) segera berjalan cepat menuju ruangannya. Kantor guru lumayan jauh, jadi cukup untuk membuat kaki (namakamu) menjadi keram untuk mencapai ruang tujuh. Gara-gara kejadian 'tadi' kepala (namakamu) menjadi sangat berat, lebih berat dari saat dia berangkat sekolah. (Namakamu) berhenti di ambang pintu kelas, sedikit membungkuk untuk menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Entahlah, akhir-akhir ini (namakamu) merasakan paru-parunya seperti membutuhkan banyak pasokan udara. Baru setelah itu (namakamu) melangkah masuk. Lumayan kesal saat mengingat kalau dia duduk di meja nomor enam. Itu berarti dia duduk di meja paling depan! Astaga!
Wajah-wajah asing langsung (namakamu) dapatkan ketika sepasang matanya mengedar, akan tetapi saat matanya tertumbuk di meja barisan kedua pada deretan kedua, (namakamu) segera menjatuhkan wajahnya. Melempar pandangannya ke bawah.
Ini maksudnya apa?
"(Namakamu)!"
Suara gadis yang begitu familier memanggil (namakamu). Selang beberapa detik (namakamu) merasakan langkah pemilik suara itu mendekatinya.
"Lo...sakit?" Tanyanya. Gadis di hadapan (namakamu) mengangkat dagu (namakamu), dan menatap (namakamu) dengan rinci. "Di tanyain malah diem aja!"
"Udah selesai," jawab (namakamu) akhirnya.
"Apanya yang udah selesai," gadis yang ternyata Bella itu menatap sarkastik (namakamu).
(Namakamu) menepis tangan Bella yang masih berada di dagunya, dengan kepala tertunduk aneh, (namakamu) berjalan cepat menuju mejanya. Berusaha sebisa mungkin agar tidak membiarkan matanya mengedar bebas kebelakang. Kenapa dia bisa satu ruangan dengan lelaki itu? (Namakamu) pikir dia akan berada di kelas yang orang-orangnya begitu asing di mata (namakamu).
"Tau ah," (namakamu) enggan berbicara dengan Bella yang kini duduk di meja tempatnya bersinggah.
"Orang sakit emang aneh gitu ya? Eh tapi lo jangan lupa sama taruhan kita!" Bella buru-buru membungkam mulutnya, menoleh kecil kebelakang berharap lelaki yang duduk di belakang (namakamu) tidak mendengar ucapannya. "Lo jangan sampe lupa, oke? Gue gak mau denger kata pengunduran diri, jangan bikin gue malu!" Bisik Bella sebelum beranjak dari dekat (namakamu).
Tak lama setelah Bella beranjak dari hadapan (namakamu), bel berdering menandakan kalau ujian hari pertama akan di mulai. Murid-murid yang berada diluar langsung bergegas masuk, suara langkah kaki yang berisik entah mengapa membuat telinga (namakamu) berdeningi. Mungkin seharusnya dia menuruti perkataan mamanya agar mengikuti ujian susulan. Terlebih karena seseorang di belakang sana.
*
Iqbaal benar-benar tak menyangka kalau dia bisa satu ruangan dengan gadis itu. Dunia memang berputar, dulu, dia sangat tidak ingin berada satu ruangan dengan gadids itu. Dan Tuhan mengambulkan doanya, dan hari ini doanya kembali terkabulkan, kalau dia ingin satu ruangan dengan gadis itu.
Sepanjang ujian berlangsung, gadis yang duduk di depannya ini tak henti-hentinya bergerak, dalam satu menit, gadis itu bisa bergerak sebanyak sebelas kali. Dalam dua menit, gadis itu bisa terbatuk sebanyak lima belas kali. Sesekali juga gadis itu menyenderkan punggungnya ke kursi, membuat tangan Iqbaal yang sedang sibuk menulis jawaban di lembaran gatal untuk bergerak ingin menyentuh puncak kepala gadis itu, memebelainya mungkin. Murid-murid yang ada di ruangan ini tentu saja merasa risih dengan tingkah pemilik meja nomor enam itu, tapi sebisa mungkin mereka tidak berteriak.
Tidak terasa empat jam berlalu begitu singkat. Gadis itu menjadi murid pertama yang selesai mengerjakan soal ujian. Gadis itu beranjak dari kursinya, berjalan dengan lemas menuju meja pengawas yang ada di depan kelas sambil membawa lembaran jawaban dan soal. Dan saat yang paling di tunggu Iqbaal adalah ketika gadis itu memutar badannya untuk kembali ke mejanya, berjalan lemas dengan wajah pucat yang tertunduk.
Iqbaal memerhatikan dengan rinci wajah gadis itu, dan menggeram kesal saat menyadari kalau gadis itu tak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda ingin menatapnya.
Apa keadaan gadis itu semakin parah? Lalu kenapa gadis itu malah memutuskan untuk mengikuti ujian? Mata Iqbaal bergerak mengikuti setiap inci gerakan yang di buat oleh gadis itu, hingga sepasang mata Iqbaal melihat punggung gadis itu benar-benar lenyap. Iqbaal mengerjap dan merutuki kebodohannya. Sepengecut ini kah dia? Kenapa rasa gengsi selalu berhasil menguasainya.
Iqbaal menatap lembaran jawabannya, ada dua soal lagi yang belum dia kerjakan. Dan sudah tidak ada waktu lagi, karena pengawas sudah mengintruksi semua murid untuk mengumpulkan lembaran jawaban. Iqbaal berjalan cepat menuju meja pengawas dan meletakan lembaran jawabannya, kemudian berbalik ke mejanya untuk menyambar tas.
Koridor penuh, dalam sekejap saja Iqbaal sudah tak menemukan gadis itu.
*
Hari-hari berikutnya berlangsung sama. Iqbaal masih tetap dengan pendiriannya untuk tidak menyapa gadis yang sudah dia tanamkan luka itu lebih dulu. Mungkin Iqbaal sudah terbiasa dengan gadis itu yang memulai duluan, tanpa dia sadari kalau gadis itu mungkin saja sudah melupakan kebiasaan bodoh itu.
Ada banyak kesempatan, dan Iqbaal selalu menyia-nyiakannya.
Di hari ke empat ujian, gadis itu menjadi murid yang paling akhir mengumpul lembaran jawaban, dan Iqbaal sebaliknya. Dia menjadi murid pertama yang selesai mengerjakan soal dan di izinkan untuk langsung pulang, tapi Iqbaal lebih memilih untuk duduk di kursi yang ada di depan ruangannya. Entah apa yang Iqbaal lakukan disitu, yang jelas saat semua murid sudah keluar dari kelas, Iqbaal juga ikut beranjak dari kursi untuk berjalan pulang.
Dia ini...memang lelaki pengecut ya?
*
"(Namakamu)! Ternyata kamu nggak minum obatnya! Kenapa ini masih penuh? Ini stock obat dua bulan yang lalu kan?!"
Teriakan mamanya langsung (namakamu) dapati saat dia baru saja menginjakkan kakinya di lantai rumah. (Namakamu) mengangkat wajahnya, memandang lirih mamanya yang tengah menatapnya dengan berapi-api. Lalu pandangan (namakamu) terjatuh pada dua botol kecil yang ada pada genggaman mamanya.
"Lupa," jawab (namakamu) lemas.
"Ya tuhan!" Mama (namakamu) mendesah marah, namun kekhawatiran tak luput dari wajahnya. "Kamu tau apa efek dari tindakkan ceroboh kamu ini?! Pantes aja kamu sampe drop kayak gini!" Tatapan marah itu perlahan menghilang di gantikan dengan sorot kekhawatiran yang amat sangat, saat mata mama (namakamu) menatap rinci wajah (namakamu) yang kian pucat. "Mama setiap hari bersikap biasa-biasa aja seolah nggak ada apa-apa sama kamu biar kamu juga nggak merasa risih, biar kamu lupa sama penyakit kamu itu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya untuk ngelupain rutinitas minum obat kamu, sayang," suara mama (namakamu) melembut, di hampirinya anak semata wayangnya itu dan di peluknya. Dia rasakan suhu tubuh (namakamu) yang hangat saat tubuh mereka saling mendekap.
"Maafin, (namakamu), ma," ucap (namakamu) pelan. Berselang beberapa detik, telinga (namakamu) bisa menangkap suara isakkan mamanya. Ada keperihan baru kini yang tercipta di hatinya, saat telinga (namakamu) mendengar suara tangis pilu itu.
Mama (namakamu) merenggangkan pelukkannya, menyeka air mata yang kini membasahi pipinya sebelum akhirnya benar-benar memandang ke arah (namakamu). Melihat wajah (namakamu) yang kian pucat dan tirus itu, serta bibir (namakamu) yang tak lagi berwarna itu membuat tubuh mama (namakamu) bergetar, ada rasa takut yang semakin lama semakin tumbuh di dasar hatinya, rasa takut yang dulu pernah memuncak itu kini tercipta lagi. Rasa takut kehilangan.
"Ma, aku mau ke kamar," pinta (namakamu), masih dengan suara pelan yang begitu menyakitkan bilang di dengar. Siapa saja tidak akan tega jika melihat keadaan (namakamu) saat ini.
Mama (namakamu) mengangguk, kemudian di tuntunnya (namakamu) menuju kamar.
*
(Namakamu) mendesah dan mengerang dalam, sudah hampir dua jam lebih mamanya pergi dan belum kembali, bersamaan dengan itu sakit di dada (namakamu) kian menjadi-jadi. Tangan (namakamu) yang semula meremas kuat seprai kini beralih ke dadanya, menekan bagian dada sebelah kirinya dengan lemah. (Namakamu) bisa merasakan detak jantung yang tak wajar, detak jantung yang kian melemah itu membuat (namakamu) bersusah payah menarik oksigen, yang untuk kesekian kali memusuhinya. Rasa sakit di dada (namakamu) semakin lama semakin menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat (namakamu) kesusahan untuk melakukan banyak gerak karena beberapa bagian tubuhnya mendadak kaku.
(Namakamu) terbatuk, menggeliat agar mencari posisi yang bisa meredam rasa sakit ini. Di gigit bibir bawahnya kuat-kuat saat sesak di dadanya semakin menjadi-jadi, dan puncaknya, (namakamu) berteriak, menangis sekuat tenaga berharap rasa sakit itu hilang, tapi tetap saja, rasa sakit itu tak kunjung hilang. Sampai akhirnya pintu kamar (namakamu) terbuka dan memperlihatkan sosok Aldi, dengan wajah panik lelaki itu menghampirinya.
"(NAMAKAMU)!!"
*
Sudah hampir satu jam mama (namakamu) dan Aldi menunggu di lorong rumah sakit tepatnya di depan ruangan dimana (namakamu) sedang melawan masa kritis. Rasa cemas dan kegelisahan tampak begitu jelas tergaris di wajah keduanya, terlebih mama (namakamu) sejak (namakamu) di bawa ke rumah sakit tak henti-henti menangis. Mama (namakamu) datang lima menit setelah Aldi tiba di kamar (namakamu). Dengan cepat mama (namakamu) langsung mengambil sanbumentol yang ada di laci meja kecil di sebelah tempat tidur (namakamu), menancapkan benda berbentuk siku-siku seperti pipa kecil itu ke mulut (namakamu). Baru setelah itu, mama (namakamu) menyuruh Aldi agar membawa mereka ke rumah sakit.
Ada satu pertanyaan yang begitu mengganggu mama (namakamu). Kenapa (namakamu) tidak mengambil alat bantu napas itu? Padahal jaraknya sangat dekat dengan (namakamu)? Disela pertanyaan itu muncul pemikiran lain, mungkin sakit yang sedang (namakamu) rasakan membuat (namakamu) tidak sanggup bergerak. Pemikiran itu sedikit bisa menutupkan kemungkinan kalau (namakamu) memang sangaja tidak mengambil alat bantu napas itu, entahlah apa yang di pikirkan anak gadisnya itu, yang jelas mama (namakamu) tak mau berpikiran yang macam-macam.
Suara langkah kaki rusuh dari kejauhan yang kian mendekat membuat Aldi dan mama (namakamu) menoleh. Seorang pria mengenakan jas kantor berjalan tergesah-gesah dengan mimik wajah yang hampir sama dengan mama (namakamu). Hanya saja pria itu masih mampu menahan agar tidak menangis seperti mama (namakamu).
"Pa," mama (namakamu) menghempaskan tubuhnya ke dekapan sang suami. Seolah mengadu tentang rasa khawatir yang dia rasakan sejak tadi, mama (namakamu) memeluk erat suaminya berharap dengan begitu kelelahan dalam dirinya sedikit terkikis. "(Namakamu), pa," ucap mama (namakamu) dengan suara gemetar.
"Tenang, ma. Papa yakin (namakamu) bisa melewati masa-masa sulit ini," kata papa (namakamu) dengan suara parau yang tidak terlalu kedengaran. Dia membelai puncak kepala istrinya dengan sikap menenangkan, berusaha agar istrinya itu tenang seperti apa yang dia harapkan.
Karena terlalu fokus memerhatikan kedua orang tua (namakamu), Aldi sedikit tersentak saat pintu yang ada di sebelahnya terbuka dan memunculkan seorang dokter dan beberapa suster. Sang dokter berjalan ke arah kedua orang tua (namakamu) yang sejak sejam lalu memang menunggu keluarnya sang dokter, sementara suster-suster itu terus berjalan meninggalkan mereka.
"Gimana keadaan anak saya, dok? Dia baik-baik aja kan?" Pertanyaan yang di lontarkan mama (namakamu) agaknya sedikit memaksa.
Sebelum menjawab dokter itu menatap sepasang suami-istri yang ada di hadapannya secara bergantian. "Begini, pak, bu. Kondisi anak kalian begitu lemah, jantungnya nyaris saja berhenti berdetak karena kehabisan oksigen kalau saja kalian tidak cepat-cepat membawanya kemari. Beruntung Yang Diatas masih ingin anak kalian tetap hidup. Jadi saya sarankan agar kalian menjaga dia dua puluh empat jam tanpa jeda, dan jangan biarkan dia melakukan kegiatan tanpa pengawasan dari kalian," jelas dokter itu.
Kedua orang tua (namakamu) mengangguk paham.
"Apa kami sudah bisa liat keadaan anak kami, dok?" Tanya mama (namakamu).
Dokter mengangguk. "Tapi saya sarankan melihatnya satu persatu, saya takut itu mengangguk istirahatnya. Dia sangat butuh istirahat," setelah mendapatkan anggukkan dari sepasang suami-istri itu, dokter pun pamit pergi.
Mama (namakamu) menjadi orang pertama yang masuk ke ruangan tempat (namakamu) berbaring.
"Kalau boleh saya tau, (namakamu) sakit apa ya, Om?" Pertanyaan ini yang sejak tadi ingin Aldi tanyakan pada kedua orang tua (namakamu). Aldi sama sekali tidak menyangka kalau (namakamu) mengidam suatu penyakit yang mungkin saja sangat berbahaya. Tapi kenapa gadis itu tak mau memberitahunya?
Pria di hadapan Aldi mengusap wajahnya lelah, lalu duduk di kursi besi panjang yang ada di dekatnya.
"Waktu (namakamu) berumur 10 bulan dia terkena flu dan demam dalam kurun waktu yang berdekatan, secara terus-menerus selama lebih dari 2 minggu. Om sama tante sangat khawatir jadi kami bawa (namakamu) kecil ke rumah sakit. Dokter melakukan roentgen paru, tetapi dari hasilnya baru terlihat adanya pembesaran jantung bagian kanan, sementara paru-paru (namakamu) terlihat normal," jelas papa (namakamu) pelan, tatapannya mengarah kebawa, menatap lantai dengan hampa. Menjelaskan peristiwa enam belas tahun yang lalu itu membuatnya teringat dengan masa lalu, masa dimana dia dan istirnya sangat panik dengan kondisi (namakamu) saat itu.
"Jantung?" Gumam Aldi tak menyangka, punggungnya yang sedari tadi menyender pada dinding rumah lorong perlahan mulai terjun bebas.
Bagaimana mungkin bisa (namakamu) yang selama ini selalu terlihat ceria tanpa setitik pun menunjukkan kalau gadis itu mengidap suatu penyakit? Apa (namakamu) begitu pintar menyembunyikan dari teman-temannya? Atau teman-temannya yang tidak terlalu peka dengan keadaan (namakamu)?
*
(Namakamu) menolak mentah-mentah usul dokter bawah dia harus di rawat di rumah sakit. Sambil menangis sesegukkan, (namakamu) meminta pada kedua orang tuanya agar dia di bawa pulang. Selain tak suka bau obat-obatan yang selalu sukses membuat perutnya mual, (namakamu) juga merasa kalau tak ada gunanya dia berlama-lama di rumah sakit. Awalnya dokter menolak karena keadaan (namakamu) sangat tidak memungkinkan untuk pulang, dia butuh perawatan khusus dari rumah sakit. Dan finally, keputusan yang di buat adalah (namakamu) harus bermalam di rumah sakit malam ini. Besok dia baru boleh pulang, sebenarnya dokter menyarankan agar (namakamu) di rawat sampai (namakamu) benar-benar sehat, setidaknya sampai gadis itu bisa berjalan.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku soal ini, (namakamu)?" Tanya Aldi lirih. (Namakamu) sudah di pindahkan dari UGD ke kamar pasien.
(Namakamu) yang sudah siuman sejak sore tadi hanya bisa memandang Aldi dengan sorot minta maaf. Suhu tubuh Aldi yang hangat begitu berbanding terbalik dengan suhu tubuh (namakamu), (namakamu) bisa merasakan kehangatan Aldi saat lelaki itu menggenggam tangannya. Rasanya begitu nyaman.
"Nggak ada yang perlu di ceritain," kata (namakamu) pelan. "Cepat atau lambat semua orang bakalan tau tentang penyakit aku ini," (namakamu) mencoba menatap ke dalam mata Aldi yang sarat akan kekhawatiran itu sambil tersenyum. Dia tahu kalau senyumnya saat ini begitu aneh.
Lama Aldi tak bersuara, di dekatkannya tangan (namakamu) ke wajahnya. Dia rasakan dinginnya tangan (namakamu) saat menyentuh pipinya. Aldi terenyuh, dia pikir saat dia kembali kesini akan ada banyak hal yang bisa dia lakukan bersama (namakamu). Tapi sepertinya takdir berkata lain, dia baru tahu kalau selama ini ternyata (namakamu) menyimpan rahasia darinya, dari teman-temannya.
"Kamu harus janji sama aku kalau kamu akan sembuh," Aldi tersenyum pilu, sebelah tangannya merayap ke puncak kepala (namakamu), membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama Aldi melihat (namakamu) mengangguk, meskipun tidak terlalu kentara. "Besok aku bakalan balik lagi, dan aku harap kamu ada perkembangan, jaga diri kamu, (namakamu), aku nggak mau kenapa-kenapa. Aku sayang kamu," sedikit mencondongkan wajahnya, Aldi mendaratkan kecupannya di mata lelah (namakamu).
*
Keesokan harinya, (namakamu) langsung menuntut janji kedua orang tuanya agar dia lekas di bawa pulang. Tanpa ada sedikitpun argumentasi seperti kemarin, mama dan papanya langsung menuruti permintaan (namakamu).
"Hai, Al," sapa (namakamu) begitu dia melihat siapa sosok yang membuka pintu kamarnya. Aldi datang seperti janjinya sambil membawa bingkisan buah.
"Gimana keadaan kamu?" Tanya Aldi seraya duduk di ujung tempat tidur, matanya meneliti tangan kanan (namakamu) yang tertancam selang infus lalu ke ketiang yang ada di sebelah tempat tidur (namakamu). Disana tergantung kantung infus seperti yang ada di rumah sakit.
"Mendingan," jawab (namakamu) dengan nada ceria, padahal siapa saja yang mendengar suara gadis itu tahu kalau suara itu di buat-buat.
Aldi meletakan punggung tangannya di kening (namakamu). Sementara (namakamu) mengambil bingkisan buah yang ada di tangan Aldi, membuka plastik transparan yang menutupi buah-buahan yang ada di dalam keranjang lalu mengambil buah apel. Saat melihat (namakamu) ingin mengigit apel itu, Aldi menahannya.
"Di cuci dulu," Aldi mengingatkan lalu mengambil apel yang ada di tangan (namakamu), kemudian dia berjalan ke kamar mandi untuk mencuci apel tersebut. Tak sampai satu menit, Aldi kembali dengan apel yang sudah bersih dan segera menyerahkannya pada (namakamu).
"Makasih,"
Aldi hanya balas tersenyum.
Pintu terbuka, muncul sosok mama (namakamu) sambil membawa bubur dan segelas air putih beralasan nampan. Mama (namakamu) melempar senyuman pada Aldi dan di balas dengan senyuman juga oleh Aldi.
"Buburnya di makan," pinta mama (namakamu) setelah meletakkan nampan itu di meja kecil yang ada di sebelah tempat tidur (namakamu). "Kamu udah sarapan, Al?" Mama (namakamu) beralih menatap Aldi, kemudian pada jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Udah, tan,"
"Kalau gitu tante boleh kan minta tolong sama kamu, tolong jagain (namakamu) sebentar, tante mau ke sekolah (namakamu). Ngasih tau sama gurunya kalau (namakamu) nggak bisa ikut ujian,"
"Jadi (namakamu) bakalan ikut ujian susulan, tante?"
Mama (namakamu) mengangguk.
"Yaudah, tante, aku mau kok jagain (namakamu)."
Senyum di wajah mama (namakamu) kian melebar. "Mama pergi sebentar ya, sayang," di kecupnya kening (namakamu) sebelum wanita itu benar-benar pergi.
*
Iqbaal tidak bisa benar-benar fokus pada soal ujian yang sedang dia kerjakan, kepalanya berkali-kali menengadah untuk menatap meja kosong yang ada di depannya. Tentu saja muncul berbagai pertanyaan di kepalanya; kemana gadis itu? Kenapa dia tidak datang di hari kelimanya ujian? Apakah gadis itu baik-baik saja? atau keadaannya semakin memburuk? Berbagai pertanyaan lainnya terus bermunculan di kepala Iqbaal, sampai tiba dimana pengawas yang berjaga memberi intruksi agar semua murid yang ada di ruangan ini mengumpulkan lembaran jawaban. Tanpa banyak tingkah, Iqbaal segera bergegas mengumpulkan lembaran jawaban, lalu mengambil tasnya dan berjalan keluar.
Koridor ramai seperti hari-hari sebelumnya. Para murid keluar dari kelas masing-masing layaknya narapidana yang di bebaskan. Dalam sekejap koridor penuh.
Iqbaal tahu siapa yang dia rasa bisa menjawab semua pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Ketika langkahnya sudah melintasi koridor, mata Iqbaal yang sedari tadi tak henti-hentinya mengedar kesegala arah mendapati ketiga lelaki sedang berceloteh di ambang gerbang. Iqbaa menarik napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan, baru setelah itu dia melangkahkan kembali kakinya menuju gerbang sekolah.
"Kalian tau kenapa hari ini (namakamu) nggak hadir?" Entah Iqbaal ingin to the point atau dia yang memang tidak bisa bersikap bersosialisasi. Pertanyaannya terdengar tolol!
Ketiga lelaki yang masih sibuk mengobrol itu sedikit kaget saat mengetahui siapa yang tengah berbicara pada mereka.
"Lo ngomong sama kita-kita?" Tanya Gilang sewot seolah memastikan.
Iqbaal memandang lama lelaki ringkih itu sebelum mengangguk.
"Ya, gue ngomong sama kalian. Jadi, apa kalian tau kenapa hari ini (namakamu) nggak hadir?"
Bukannya menjawab, ketiga lelaki itu malah sibuk berbisik-bisik.
"Kita nggak tau!" Bagas akhirnya yang menjawab.
Diam sebentar, sambil berpikir apakah ketiga lelaki ini mencoba membohonginya karena setahu Iqbaal mereka sangat dekat dengan gadis itu. Apa jangan-jangan gadis itu sudah memberitahu ketiga lelaki ini agar tidak memberitahu dirinya? Iqbaal mengangkat wajahnya, menatap langit cerah di atas sana sebelum akhirnya dia menghambur pergi.
Bagas, Difa, dan Gilang langsung membulatkan mata mereka saat melihat Iqbaal pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidakkah lelaki itu ingin mengucapkan terimakasih pada mereka? Walaupun jawaban yang dinginkan lelaki itu tidak sesuai harapan.
Bagas, Difa, dan Gilang langsung menyetop taksi saat tahu kalau sahabat perempuan mereka itu tidak mengikuti ujian, pastilah ada sebuah kendala besar yang membuat (namakamu) tertahan di rumah. Ketika taksi berhenti di depan gerbang rumah (namakamu), Gilang dan Difa langsung keluar secara serempak membiarkan Bagas seorang diri, alih-alih supaya lelaki itu yang membayar taksi.
*
Aldi yang sejak jam sembilan tadi sudah hadir di rumah (namakamu) masih setia sampai sekarang. Lelaki itu duduk diam di ujung tempat tidur sambil memerhatikan (namakamu) yang tengah terbaring. Meskipun wajah gadis itu pucat, tapi saat dalam keadaan tertidur, Aldi bisa merasakan sarat kedamaian yang amat sangat di wajah (namakamu).
(Namakamu) sudah tidur sejam yang lalu dengan tangan yang berada di dada terlihat begitu pulas. Aldi yang sejak beberapa menit lalu itu memerhatikan setiap inci wajah (namakamu), tanpa dia sadari wajah (namakamu) mulai ada titik keringat. Aldi menyeka keringat itu dengan tangannya, ketika dia baru ingin beranjak dari posisinya untuk mengambil segelas air, dia rasakan napas (namakamu) memburu. Ada apa dengan (namakamu)? Tapi hanya berlangsung enam detik, napas (namakamu) kembali teratur, Aldi bisa bernapas lega dan beranjak dari posisinya untuk melakukan tindakkan yang sempat tertunda yaitu mengambil segelas air.
Aldi menegguk segelas air dengan cepat, lalu kembali mengisi gelas kosong yang ada di tangannya dengan air sampai penuh, dan berjalan menuju tempat semula. Sedikit membungkuk untuk meletakkan gelas di nakas, sebelum akhirnya Aldi kembali duduk di ujung tempat tidur, tapi baru saja Aldi duduk, matanya yang selalu fokus pada (namakamu) mendapati gadis itu tersentak, melompat ke dalam pelukkan seraya berteriak.
"Iqbaal!" (Namakamu) mengalungkan tangannya di leher Aldi dengan erat, merasakan sensasi yang begitu luar biasa saat bibirnya melafalkan nama lelaki itu. Baru setelah itu (namakamu) meraskan pipinya menghangat saat butiran air keluar dari sudut matanya. (Namakamu) menangis sesegukkan.
Aldi yang tidak tahu apa-apa hanya bisa mematung, tapi dia teringat dengan percakapannya beberapa hari yang lalu dengan (namakamu). Iqbaal? Bukankah lelaki bernama Iqbaal itu kekasih (namakamu)? Lalu kenapa sampai detik ini Aldi belum melihat sosok lelaki itu?
"Iqbaal? Iqbaal yang kamu maksud si pacar kamu itu? Kenapa dengan Iqbaal? Kenapa sejak kemarin aku nggak ngeliat dia sini" Tanya Aldi berusaha lembut. Aldi merasa ada yang tidak beres dengan hubungan (namakamu) dan lelaki itu.
(Namakamu) masih menangis, menggeleng sekuat tenaga saat mendengar ucapan tapi dia usahakan untuk menjawab pertanyaan Aldi walaupun terbata-bata. "Dimana, Iqbaal, Al? Kenapa dia belum dateng?" (Namakamu) tersedak-sedak.
"Hubungan kalian baik-baik aja kan?" Suara Aldi masih tetap lembut.
Lama sekali (namakamu) terdiam, sampai akhirnya gadis itu menggeleng. "Kami udah putus. Iqbaal jahat, Al, aku benci sama dia," tangis (namakamu) pecah, setumpuk kejadian 'malam itu' kembali menyerang pikiran (namakamu), membuat kepala (namakamu) kembali terasa berdenyut.
Pintu terbuka membuat Aldi menoleh, (namakamu) tetap berada di posisi yang sama dengan wajah tertunduk terbenam di dadanya.
Tiga orang lelaki berseragam SMA berdiri di ambang pintu dengan mulut menganga.
"Mungkin salah satu dari kalian ada yang tau dimana alamat rumah Iqbaal?"
*
"BRENGSEK LO!"
Pukulan Aldi mendarat tepat di pelipis lelaki, yang dia yakini bernama Iqbaal. Amarahnya benar-benar sampai pada puncaknya saat mendengar sepenggal ucapan (namakamu) tadi, entah mengapa Aldi langsung emosi mengetahui kalau hubungan (namakamu) dan lelaki ini sudah berakhir, mengingat betapa bahagianya (namakamu) saat bercerita dengannya tentang hubungan mereka.
Iqbaal terhuyung dan nyaris terjengkang, kemudian meringis sambil mengusap pelipisnya yang terasa berdenyut, lalu dia memandang lelaki asing yang berdiri di hadapannya. Belum sempat matanya mengerjap untuk menormalkan kembali penglihatannya. Satu buah pukulan kembali Iqbaal dapatkan, kali ini di perutnya, di susul di wajah sampai akhirnya lelaki itu berhasil menjatuhkan Iqbaal.
"Apa yang udah lo lakuin ke (namakamu)! Kenapa dia jadi kayak gitu! Apa lo tau kalo tindakkan lo itu salah! Apa lo tau kalo (namakamu) itu sangat mencintai lo! Apa lo tau kalo saat ini (namakamu) membutuhkan lo! Dimana lo saat dia lagi butuh lo! Di saat keadaan dia yang lagi kayak gini! Dimana lo!! Pengecut!! Brengsek!"
Tubuh Iqbaal menegang kaku saat serentetan ucapan lelaki asing ini mengisi telinganya, memporak-porandakan isi kepalanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan gadis itu? Di saat pikiran Iqbaal sedang melayang entah kemana, pukulan terakhir lelaki itu sukses mendarat di hidungnya membuat cairan kental berwarna merah keluar dari hidungnya, menyadarkan Iqbaal.
*
Lelaki yang Iqbaal tidak ketahui namanya siapa membawa Iqbaal kesebuah kediaman, yang Iqbaal sudah tahu siapa pemilik rumah itu. Iqbaal dan lelaki itu sedang menaiki anak tangga satu persatu, namun lelaki yang berjalan di belakangnya itu berkali-kali menolak punggung Iqbaal seolah menyuruh Iqbaal cepat. Sampai akhirnya mereka berdua tiba di depan pintu kamar, dan lelaki itu langsung membuka pintu kamar dan menolak Iqbaal masuk.
Suara pintu tertutup membuat gadis yang sedang menyenderkan punggungnya di tempat tidur dengan mata terpejam itu menoleh. Wajah pucat dan bibir kering itu menoleh ke arah Iqbaal, menatap Iqbaal dengan tatapan sarat akan kerinduan. Iqbaal balas memandang, menatap rinci gadis itu yang tengah di infus, dan yang membuat Iqbaal terkejut adalah saat gadis itu beranjak dari tempar tidur, berjalan lunglai menghampirinya dengan air mata yang membasahi pipi gadis itu membuat selang infus itu terlepas.
Sebuah pelukan langsung Iqbaal dapatkan dari gadis itu. Gadis itu memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya. Menangis sesegukkan di dadanya seolah mengadu, mengadu tentang kerinduan yang selama ini selalu bersemayam di hati gadis itu.
Kerinduan yang amat sangat.
Bersambung...
@Aryaandaa.
![](https://img.wattpad.com/cover/52199298-288-k134442.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid Girl
Romance" Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping "