'My Stupid Girl' [9]
by Muhammad Aryanda.
-oOo-
"Permisi, tante, (namakamu)nya ada?" Tanya lelaki itu, yang mungkins saja teman sekolah (namakamu). Ya, lelaki itu mengenakan kemeja hitam lengkap serta jeans senada yang membalut kakinya.
"(Namakamu) baru aja pergi," jawab mama (namakam), dia kembali memerhatikan lelaki itu, awalnya dia tak terlalu respek dengan lelaki itu. Terlalu biasa. Tapi saat lelaki itu menyunggingkan secuil senyum, entah mengapa wajah datar tak bersahabat lelaki itu berubah begitu menawan. Manis. Pikirnya.
"Oh ya? kalau saya boleh tau kemana?"
"Pergi ke rumah pacarnya," jawab mama (namakamu) asal.
Seketika saja wajah lelaki itu berubah tanpa ekspresi.
"Kalau tante boleh tau, siapa ya?"
"Iqbaal. Temennya (namakamu)."
Mama (namakamu) mengangguk-ngangguk. "Oh, yaudah, nanti tante sampaikan kalau nak Iqbaal tadi kemari,"
*
Makan malam bersama kedua orang tua Aldi berlangsung tanpa ada satu hal yang perlu di ceritakan. Makan malam berlangsung lancar, tapi (namakamu) merasa kalau steak yang dia telan tadi tak mampu membuatnya kenyang, bukan karena steak yang tak enak melainkan (namakamu) terlalu canggung duduk bersama mereka. Sudah lama sekali, tapi mereka masih mengenal (namakamu) dengan baik. Ya, tapi tetap saja, suasana canggung itu tak membuat (namakamu) benar-benar menikmati makanan.
Selesai makan malam, (namakamu) dengan suka rela membantu Bi Shinta mencuci piring, alih-alih ingin membantu, (namakamu) sebenarnya ingin menghindar dari Aldi, yang seperti kata lelaki itu-ada sesuatu yang ingin dia katakan. Meskipun Mama Aldi sempat melarang namun dengan sedikit meyakini wanita itu kalau (namakamu) dengan senang hati membantu karena tak enak hati datang hanya makan lalu pulang, Mama Aldi mengalah pasrah. Setelah mencuci piring, (namakamu) menyeret langkahnya malas keluar dapur, seharusnya dia tahu, cepat atau lambat dia akan berbicara dengan Aldi. Lelaki itu sudah menunggunya di sofa ruang utama.
Sambil tersenyum, Aldi menepuk-nepuk pelan ruang kosong yang ada di sebelahnya, mengisyaratkan (namakamu) agar duduk di sebelahnya.
Melihat senyum itu, kenapa (namakamu) malah jadi tidak tega ya? Tidak tega mengatakan sebenarnya pada Aldi, tapi kalau dia tidak terus terang dari sekarang, urusan ini bakalan bekerpanjangan dan kebohonganya pada Iqbaal semakin banyak. Dua, hanya dua sih, tapi rasanya seperti mengangkat beban dua gunung.
"Soal yang tadi aku mau bicarain sama kamu, aku minta maaf,"
(Namakamu) mengernyit tak mengerti. Minta maaf? Untuk apa?
"Minta maaf untuk apa?"
Garis wajah Aldi yang tadinya terlihat santai dan seolah tanpa beban kini mendadak berubah gelisah, gelisah yang menyimpan takut. Ya, (namakamu) bisa membaca itu pada wajah Aldi.
"Al?" Tak kunjung mengatakan apapun, (namakamu) memilih menyentakkan Aldi yang sepertinya tengah melamun. Berpikir.
"Aku," hanya itu, Aldi kemudian terdiam.
"Kamu kenapa? Ada yang salah?" Entahlah, (namakamu) rasa sikap tenang Aldi yang sejak tadi mengalir jelas pada lelaki ini mendadak berubah aneh.
Aldi mengangguk perlahan, tangannya kemudian bergerak meraih tangan (namakamu). Mengusap punggung tangan gadis itu dengan penuh kasih sayang. Seakan gadis itu adalah gadis yang paling dia sayangi setelah mamanya. Aldi kemudian tersenyum, menatap dalam ke iris coklat mata (namakamu) yang sejak beberapa detik lalu penuh tanda tanya. Aldi takut, jika dia mengatakan yang sebenarnya, gadis itu akan kecewa atau mungkin marah kepadanya.
"Aku udah punya pacar,"
Hening. Seperti ada yang dengan sengaja menekan tombol pause di antara mereka, namun Aldi bisa merasakan tangan (namakamu) yang ada dalam genggamannya menegang kaku. Apakah gadis itu marah? Entahlah, (namakamu) cuma diam sambil memandang kosong ke arahnya. Aldi tidak tahu apa yang sedang (namakamu) pikirkan saat ini, Aldi harap gadis itu tidak marah padanya.
"Maafin aku, (namakamu)," ucap Aldi pelan, lalu mendesah. "Aku terpaksa bohong sama kamu di hari pertama kita ketemu, aku terpaksa bersikap seakan-akan aku masih memegang janji itu, aku tau aku salah, nggak seharusnya aku bersikap kayak gitu. Tapi aku bohong sama kamu, karena aku nggak mau kamu marah sama aku atau kecewa," seakan tak sanggup menyelesaikan penjelasannya karena (namakamu) yang tak kunjung bersuara, Aldi menjeda, menelan ludahnya dengann susah payah. "Tapi aku sadar, cepat atau lambat kamu akan tau kebenarannya. Maafin aku yang nggak bisa pegang janji kita,"
Hening, setelah Aldi rasa penjelasannya sudah selesai meskipun dia yakin masih banyak kata demi kata yang sudah tersusun rapi di kepalanya, namun seketika menghilang begitu saja saat melihat (namakamu). Berselang beberapa menit kemudian, Aldi melihat (namakamu) melepaskan genggaman tangannya, di tangkupkan ke wajah. (Namakamu) mendesah sambil mengusap wajah.
"Aku juga minta maaf," kata (namakamu) tertunduk lesuh.
Sekarang giliran tubuh Aldi yang menegang kaku. Dengan tenggorokan tercekat, Aldi berkata. "Minta maaf?"
(Namakamu) mendesah, lalu mengangguk. "Aku juga nggak bisa pegang janji kita," benar atau tidak, sekilas (namakamu) menangkap kelegaan di wajah Aldi.
"Maksud kamu?" Aldi sebenarnya sudah tahu apa yang akan di katakan oleh (namakamu) hanya saja dia butuh kepastian.
"Aku juga udah punya pacar," jawab (namakamu) sambil meringis, dia masih kesusahan atau memang masih tak menyangka kalau lelaki itulah yang menjadi pacarnya saat ini. Rasanya seperti membayangkan bumi menyentuh langit.
Keduanya terdiam.
"Mungkin hal yang paling sulit dalam menjaga hubungan adalah jarak, padahal waktu itu aku yakin banget kalau aku bisa pegang janji kita, tapi nyatanya," (namakamu) mengangkat bahunya. "Aku memang payah,"
Sudut bibir Aldi terangkat. "Nggak ada yang perlu di sesali. Yang penting semuanya baik-baik aja. Aku dan kamu sama-sama nggak ada yang terluka kan dalam hancurnya perjanjian ini?"
Menangguk, (namakamu) mengulurkan kelingkingnya pada Aldi. "Temen?"
Senyum Aldi melebar saat menyambut kelingking (namakamu) yang tergantung di hadapannya. "Temen,"
*
(Namakamu) tidak pernah merasakan kelegahan seperti ini, rasanya tubuhnya begitu ringan tanpa beban. Ternyata memegang janji itu tidak segampang saat seseorang mengucapkan janji tersebut, apalagi janji itu menyakut cinta atau perasaan. Seseorang tidak pernah tahu hatinya akan berlabuh kemana, mengatakan kalau dia akan tetap bersama orang yang sama meski jarak membentang memang terdengar seperti sebait puisi yang begitu romantis, tapi melihat seseorang begitu tersiksa dengan janji tersebut ketika dia telah menemukan singgahan hati yang lain, percayalah, bait puisi romantis tadi seperti kalimat aneh yang di temukan di tempat sampah.
Aldi bercerita pada (namakamu) kalau dia bertemu dengan seorang gadis cantik kelahiran Jerman bernama Yuri Swanger di hari ketiganya bersekolah. Aldi tak bercerita banyak, lelaki itu hanya mengatakan kalau gadis yang juga berdarah Indonesia itu mengingatkan dia dengan (namakamu). Ayah Yuri adalah orang jerman sementara ibunya adalah asli Indonesia, hal itu juga yang menyebabkan Aldi gampang dekat dengan Yuri. Yuri pintar dan cantik, hanya saja dia sedikit pemalu. Dan soal interaksi mereka yang terputus itu di sebabkan Aldi yang lupa kata sandi emailnya-(namakamu) memaklumi ini karena Aldi memang lumayan payah soal ingatan, tapi Aldi melanjutkan ceritanya kalau dia menyimpan kata sandi email pribadi serta file-file sekolah di laptop, namun naas, laptop Aldi hilang setahun dia bersekolah disana. Aldi mengatakan kalau pelakunya adalah teman sekelasnya, ada tiga orang, yang Aldi yakini memang tidak terlalu suka dengannya. Tapi Aldi tak memperpanjang masalah itu, dia lebih memilih diam.
Pada masa itu memang Aldi lumayan banyak di genjar oleh tugas sekolah, dia sudah banyak ketinggalan materi karena murid baru, namun Yuri dengan senang hati membantu. Sebulan berlalu, Aldi baru teringat kalau dia belum menceritakan pada (namakamu), kemudian Aldi memutuskan untuk membuat email baru dan menyimpan kata sandinya di halaman terakhir diarynya. Tapi sayang, email (namakamu) sudah failed. Beberapa menit yang lalu, (namakamu) mengatakan padanya kalau (namakamu) sudah melupakan kebiasaanya duduk di depan laptop karena emailnya tak kunjung di balas, dan (namakamu) juga mengatakan padanya bahwa gadis itu bertemu dengan seorang lelaki yang di kagumi di sekolah baru.
Suara derum mesin motor Aldi menghilang bersamaan dengan tibanya mereka di depan pagar rumah (namakamu). Sebelum turun dari motor, (namakamu) melirik arlojinya yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Harap-harap cemas, (namakamu) mengerling ke halaman rumah, mencari seonggok mobil papanya, yang dia harapkan belum pulang. (Namakamu) bernapas legah saat melihat halaman rumahnya yang kosong.
"Jadi kapan Yuri bakalan kemari?" Tanya (namakamu) setelah benar-benar menyakinkan kalau kakinya sudah menapaki dataran.
"Mungkin bulan depan," Aldi mengangkat bahunya ambigu. "Kamu bakalan ada saingan di kelas," tangan Aldi bergerak ke puncak kepala (namakamu), tersenyum lebar sambil mengacak-ngacak lembut rambut (namakamu).
Mengerucutkan bibirnya, (namakamu) balas berkata. "Kamu juga bakalan ada saingan! Di jamin kamu bakalan gila kalau ngeliat cewek di sekolah terutama di kelas aku,"
"Oh ya? Si Iqbaal itu? Aku jadi penasaran sama orangnya,"
Seakan tak bisa menemukan kata-kata lagi, (namakamu) cuma bisa mengangkat jempolnya. Dan itu membuat Aldi tertawa pelan.
"Kayaknya dia good boy banget,"
(Namakamu) mengangguk-angguk.
"Yaudah, masuk gih, udah malem, jangan lupa cuci muka, cuci tangan dan gosok gigi,"
Tubuh (namakamu) seperti tersentak saat mendengar ucapan Aldi barusan, tak lama (namakamu) terkekeh dan di susul oleh Aldi. Ucapan Aldi yang barusan adalah kata-kata yang dulu sangat sering Aldi ucapkan kepada (namakamu) saat menjelang tidur.
*
Sekali lagi (namakamu) melirik arloji di pergelangan tangannya, jarum jam sekarang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat delapan menit. Suara dari ruang televisi lah yang membuat (namakamu) melakukan itu, suara berisik yang (namakamu) yakini berasal dari televisi. Apakah mamanya belum tidur? Daripada dia berdiam diri memikirkan pertanyaan yang tak kunjung terjawab, lebih baik (namakamu) melangkahkan kakinya ke ruang televisi. Semakin (namakamu) mendekat suara yang di hasilkan oleh televisi semakin jelas, belum lagi saat tiba-tiba dia mendengar suara sesegukkan. (Namakamu) mengernyit, dia yakin sekali kalau sesegukkan itu berasal dari mamanya.
"Ma," panggil (namakamu) lirih. (Namakamu) menatap sofa yang belakanginya, disana ada mamanya duduk menatap televisi sambil sesekali membuat gesture seperti menyeka air mata dengan menggerakkan punggung lengan ke pipi.
Mamanya menoleh dengan wajah sembab. "Eh, (namakamu), udah pulang? Kok mama nggak denger suara ketukan,"
Kening (namakamu) semakin berkerut dalam. Sedikit memiringkan kepalanya, (namakamu) menatap lebih jelas tontonan yang sedang di tonton oleh mamanya.
"Dramanya sedih banget, mama sampe nangis, nih. Ceritanya itu, ya, (namakamu), ada cewek cinta banget sama cowoknya, tapi cowoknya nggak suka sama sekali karena cowok itu nggak percaya akan cinta," mama (namakamu) menjeda ceritanya untuk membuang ingus dengan tisue. "Terus, si cewek yang gak gampang putus asa, dia mutusin untuk tetep kejar si cowok, sampe akhirnya mereka jadian. Awalnya emang bahagia banget, kebangetan malah, tapi waktu tau kalau si cew..,"
"Udah deh, ma, alay banget sih!" (Namakamu) dengan cepat menyela cerita mamanya, sedikit membungkuk untuk mengambil remote lalu dengan sekali tekan, layar televisi berubah hitam kelam. "Udah malam," langkah (namakamu) terayun ke lemari televisi, meletakkan remote di sebelah televisi kemudian hendak berlalu ke kamar, tapi saat mendengar perkataan mamanya, langkah (namakamu) terhenti.
"Tadi ada temen kamu dateng,"
Badan (namakamu) memutar sedemikian rupa sampai dia kembali menghadap mamanya. "Bagas? Difa? Gilang?"
"Bukan, gantengan lagi, kayaknya mama baru liat," mama (namakamu) meraih selembar tisue lagi, menyemprotkan ingusannya ke tisue tersebut lalu di remasnya dan di campakkannya asal ke lantai.
(Namakamu) yang memang merasa kalau dia tidak memiliki teman dekat selain tiga orang itu, memutuskan diam sejenak, alih-alih berpikir. Apa jangan-jangan Bella? Gadis itu berniat menyampaikan taruh....bukan, bukan Bella, mungkin Iqbaal? Tapi mana mungkin.
"Namanya Iqbaal," ucap mama (namakamu) sambil berlalu ke dapur.
Mulut (namakamu) terbuka lebar. "Iqbaal?"
"Iya, Iqbaal, dia nyariin kamu. Ada yang salah?" Satu langkah lagi menuju dapur, mama(namakamu) lebih memilih menahan langkahnya, menengok ke arah (namakamu) yang memperlihatkan ekspresi gelisah. "Yaudah mama bilang aja kamu pergi ke rumah pacar kamu. Aldi pacar kamu kan?"
Satu detik berlalu, mulut (namakamu) terbuka lebar. Tiga detik berlalu, mata (namakamu) membulat. Lima detik berlalu, kedua tangan (namakamu) yang berada di sisi tubuh terkapal kuat. Tujuh detik berlalu, (namakamu) seperti merasakan ada sesuatu yang berapi-api di dadanya, sesuatu yang berapi-api itu seperti memaksa (namakamu) untuk meledak-ledak layaknya gadis tolol. Sepuluh detik berlalu, dari jantung, signal aneh itu mengalir ke tenggorokkan (namakamu) memaksa (namakamu) untuk segera berteriak, tapi yang terjadi malah...
"Aldi bukan pacar aku, Iqbaal yang pacar aku," kalimat itu tercetus begitu pelan dari mulut (namakamu), seolah-olah kekesalan yang saat ini berkumpul menyesakkan dadanya hanya bisa dia realisasikan seperti itu, mengingat kalau saat ini dia sangat ingin sekali berteriak di depan wajah wanita yang notabenenya adalah mamanya.
*
'Gue cuma bisa percaya sama lo; orang yang gue yakin nggak akan pernah ngasih luka sama gue' ucapan Iqbaal tadi pagi entah mengapa mendadak teringiang di kepala (namakamu), seakan-akan isi dalam kepalanya dengan sengaja menyalin apa yang Iqbaal katakan tadi pagi di tulis tebal-tebal dan di simpan begitu rapi. Dan sekarang tiba saatnya (namakamu) melakukan kesalahan - dalam hati (namakamu) membantah kalau ini bukan salahnya - ucapan Iqbaal secara perlahan dan begitu jelas berputar-putar mengelilingi kepalanya.
(Namakamu) berlari menembus malam, dia tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut sampai esok, tidak sampai lelaki itu sudah tidak percaya lagi dengannya. (Namakamu) tidak perduli dengan keadaan kakinya yang mulai gemetaran dan jantungnya yang semakin berpacu cepat. Dia harus segera mendapatkan taksi, meskipun begitu mustahil malam-malam seperti ini, tapi sudahlah, tak ada waktu mempermasalahkan itu. Intinya (namakamu) tetap harus berlari sampai dia tiba di kosan Iqbaal, menjelaskan yang sebenarnya tanpa ada sedikit pun di bumbui hal-hal aneh yang mungkin saja tidak (namakamu) harapkan.
Angin malam bertiup pelan, meski begitu (namakamu) dapat merasakan angin sedingin es itu menusuk sampai ke tulangnya.
Apa yang sedang di pikirkan Iqbaal sekarang? Apa Iqbaal sedang kecewa, marah atau mungkin sangat membencinya karena tidak bisa merealisasikan ucapan lelaki itu bahwa dia adalah gadis yang bisa di percaya untuk tidak memberi luka. (Namakamu) menghea napas pendek, Ini hanya salah paham.
Sebuah cahaya dari kejauhan begitu menyilaukan pandangan (namakamu), secepatnya (namakamu) menepi, mengangkat tangannya saat dia sadar kalau kendaraan yang sedang melaju ke arahnya adalah sebuah taksi. Taksi biru itu berhenti, (namakamu) membuka pintu dan segera menghempaskan tubuhnya ke dalam, mengatakan pada sang sopir tempat tujuannya dengan tenggorokkan tercekat. Taksi memutar balik arah dan melaju dengan kecepatan sederhana.
Ada yang bergemuru di dada (namakamu) saat taksi berhenti di depan sebuah gang tujuannya. (Namakamu) menyerahkan uang selembar entah berapa jumlahnya (namakamu) tidak tahu, yang jelas sang sopir tidak protes. (Namakamu) langsung melenggangkan langkah keluar, berlari secepat mungkin. Suara langkahnya sedikit menggema di gang sempit menuju kosan Iqbaal.
Ketegangan itu semakin terasa dan menjalar semakin jelas di setiap sel tubuh (namakamu), demi mempercepat langkahnya, (namakamu) melepas sendal rumah yang dia kenakan, menjinjing sendal itu dengan mata yang tetap menatap lurus ke rumah kecil yang berdempetan dengan rumah lainnya. (Namakamu) menghentikan langkahnya, membungkuk untuk menghirup udara banyak-banyak, dia rasakan paru-parunya ingin pecah karena selama beberapa menit kebelakang terus berlari tanpa memperdulikan paru-parunya yang nyaris kehabisan udara.
"Iqbaal!" (Namakamu) mengetuk, suaranya serak dan ingin menangis tapi sebisa mungkin dia tahan. Menunggu selama hampir satu menit dari yang empunya rumah, dan tak mendapatkan hasil apa-apa, (namakamu) kembali mengetuk pintu itu, kali ini secara berkali-kali dengan tenaga yang lumayan kuat membuat suara ketukan pintu itu lebih terdengar seperti hentakkan. (Namakamu) tak peduli dengan orang-orang sekitar yang mungkin saja terganggu dengan tingkahnya. "Iqbaal! Aku tau kamu di dalem!" (Namakamu) berteriak kencang. Kali ini sambil mengetuk jendela kaca kosan Iqbaal, tak peduli suara ketukkannya kali ini berkali-kali lipat berisik dari yang tadi.
Tak ada jawaban. (Namakamu) merasakan napasnya mulai tersengal dan sulit menarik napas.
"Iqbaal! Buka! Aku tau kamu di dalem!" Dan sekarang tangan dan kakinya gemetar, seakan sudah tak kuat menompang bobot tubuhnya yang di karenakan berlarian sejak beberapa menit yang lalu. Tubuh (namakamu) merosot namun tak terlalu. Menghela napas pendek, (namakamu) kembali berkata sambil mengetuk-ngetuk pintu kosan Iqbaal. "Iqbaal, buka! Aku tau kamu di dalem! Aku tau kamu denger! Aku bisa jelasin sama kamu! Aku nggak mau kamu salah paham!" Suara (namakamu) semakin lemah dan lama-lama tak terdengar. Lelah dan nyeri, itu yang saat ini (namakamu) rasakan. Padahal ini belum sehari, bahkan dia masih belum bisa menyadarkan dirinya sendiri untuk menerima kenyataan bahwa Iqbaal menjadi kekasihnya.
Lima menit berlalu, masih tak jawaban. (Namakamu) mendesah berat, bergerak dengan susah payah agar tubuhnya bisa berdiri tegak. Matanya memandang jendela yang besarnya nyaris setingginya itu dengan lebar satu meter dengan mata berapi-api. Kaki (namakamu) melangkah mundur, baiklah, tekadnya sudah bulat, tidak apa-apa kalau lelaki itu memang tak mau membuka kan pintu untuknya, tapi jangan salahkan (namakamu) kalau...
Prash!
membungkuk dan mengambil batu sebesar bola kaki, tanpa berpikir panjang, (namakamu) langsung menghempaskan batu tersebut ke jendela kaca kosan Iqbaal. Membiarkan jendela kaca itu pecah, kaca-kaca berjatuhan, dan setelah itu barulah (namakamu) kembali melangkahkan masuk dengan hati-hati karena di bingkai jendela tersebut masih terdapat serpihan kaca yang meruncing.
"Ssh, aw," jendela itu memang tidak terlalu besar, jadi bukan salah sang jendela kalau lengan (namakamu) tergores akibat serpihan kaca yang belum terjatuh.
Mengabaikan rasa sakit itu, (namakamu) sekarang sudah berada di dalam kosan Iqbaal. (Namakamu) terkesiap saat melihat sosok Iqbaal berada di belakang pintu masuk, memandangnya dengann tatapan seperti beberapa hari yang lalu. Dingin dan tak bersahabat.
"Aku bisa jelasin," kata (namakamu) gelagapan.
Iqbaal tak bersuara, hanya memandangnya.
"Aku memang pergi ke rumah temen aku tadi, dan dia bukan pacar aku. Mama aku nggak tau kalau aku udah putus sama dia, oke, aku memang pernah jalin hubungan sama temen aku yang tadi aku kunjungi rumahnya...Aldi, tapi aku dateng ke rumah dia cuma menuhi undangan dari orang tua Aldi karena mereka baru aja pulang dari jerman...," (namakamu) membiarkan penjelasannya yang berantakan, yang penting Iqbaal paham akan kalimat yang keluar dari mulutnya. (Namakamu) tahu Iqbaal tidak bodoh. Langkah (namakamu) yang berangsur mendekat itu sudah membawanya ke titik dimana dia berada di hadapan Iqbaal. (Namakamu) menunduk untuk menghirup udara sejenak.
"Hubungan kita udah selesai,"
Dengan susah payah (namakamu) menelan ludahnya. Secepat kilat (namakamu) mengangkat wajahnya, menatap Iqbaal yang balas menatapnya dengan tatapan pilu penuh luka. Apa yang kurang? (Namakamu) sudah menjelaskan semuanya bukan? Lalu apa yang salah dengan penjelasannya tadi hingga membuat Iqbaal memutuskan hubungan mereka secara sepihak.
(Namakamu) tahu kalau sekali saja dia mengerjapkan matanya pasti kumpulan air di sudut matanya akan membludak keluar membasahi wajahnya. (Namakamu) tahu itu, dan dengan sekuat tenaga berusaha untuk tidak mengerjapkan matanya. Tapi bagaimana kalau hatinya berkata lain, hatinya yang sudah nyeri karena menahan kekhawatiran sejak tadi memaksa matanya untuk mengerjap, dan...hal itu terjadi. Air mata (namakamu) jatuh dengan bebasnya, perlahan namun pasti seiring berjatuhannya air mata itu membuat mata (namakamu) memerah dengan cepat.
"Kamu egois, Baal, kamu egois," tenggorokan (namakamu) benar-benar sakit sekarang rasanya ingin sekali dia menebas tenggorokkannya sendiri. "Kamu cuma mikir perasaan kamu sendiri! Kamu nggak pernah mikir gimana rasanya di posisi aku saat ini. Saat ini atau pun kemarin! Atau pun saat aku ngejar-ngejar cinta kamu dengan mati-matian! Kamu nggak pernah mikir itu! Kamu cuma mikkir perasaan kamu sendiri! Kamu egois! Kamu mau dapetin cinta yang selalu mendatangkan kebahagiaan tapi kamu nggak pernah mikir kalau menuju kebahagiaan itu butuh proses! Dan ini prosesnya! Kamu di suruh untuk tetep percaya sama orang yang lagi sama kamu! Tapi kamu nggak pernah percaya, yang kamu percaya cuma kamu! Apapun yang kamu lihat tanpa berusaha kamu cari tau apa yang sebenarnya terjadi!" (Namakamu) tersedak di akhir ucapan panjangnya, entahlah, rasanya begitu sakit namun tetap tak bisa merasakan sakit itu dengan jelas sekalipun (namakamu) sudah mengeluarkan segala sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Mata hitam Iqbaal yang memancarkan kedingin serta tidak bersahabat itu mulai redup.
"Aku tau, nggak seharusnya aku kayak gini, aku tau kalau aku harus percaya sama kamu. Selama satu jam lebih aku duduk di kamar berusaha menjernihkan isi kepala aku, dan menepis semua pikiran buruk terhadap kamu," menjeda, Iqbaal menggeleng. "Tapi rasanya, ucapan mama kamu selalu teringiang di kepala aku. Penghianatan yang aku rasain satu jam yang lalu itu nggak bisa aku usir gitu aja dari kepala aku. Mungkin aku butuh waktu,"
(Namakamu) mengusap wajahnya. "Berapa lama? Apa kamu pernah mikir tentang waktu? Tentang semua waktu aku selama ini habis hanya untuk kamu! Apa kamu pernah mikir itu?!" Suara (namakamu) gemetaran. "Ada banyak hal yang bisa di ubah oleh waktu! Dan kamu tau apa salah satunya itu?! PERASAAN AKU KE KAMU!!!" Untuk pertama kalinya, dan mungkin untuk yang terakhir kalinya (namakamu) berteriak marah pada Iqbaal. Benar-benar marah. Kaki (namakamu) bergerak mundur, matanya mulai kesulitan melihat sekitar karena air mata yang terus berlomba-lomba keluar. Lihat! Lelaki itu tak berusaha mencegahnya, hati (namakamu) tersenyum pilu. Jadi benar tentang ketakutannya selama seharian ini, lelaki itu memang tak pernah benar-benar mencintainya.
Bersambung...
@Aryaandaa.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid Girl
Romance" Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping "