[7]

921 50 0
                                    

'My Stupid Girl' [7]
by Muhammad Aryanda.
- oOo -
Iqbaal melepaskan pegangan tangannya pada (namakamu), memandang (namakamu) sambil menghela napas pendek. Iqbaal kemudian mengusap wajahnya yang bekeringat, membuang pandangannya asal, dan kembali memandang (namakamu), kali ini tatapannya lumayan mengendur, tidak intens seperti biasanya.
(Namakamu) yang sedaritadi hanya memandang fokus pada wajah Iqbaal, tepat di sudut bibir Iqbaal yang meneteskan setitik darah itu tidak tahan kalau hanya diam saja, (namakamu) mengangkat tangannya dan menyeka darah yang mengalir itu. Tiga detik berlalu, tangan hangat Iqbaal merayap di pergelangan tangan (namakamu), menjatuhkan tangan (namakamu).
(Namakamu) pikir Iqbaal akan marah, tapi lelaki itu malah diam. Aneh. Iqbaal seperti kebingungan ingin mengatakan apa, hingga tiba akhirnya lelaki itu mengucapkan beberapa kata yang membuat (namakamu) mundur karena kaget, dan merasakan punggungnya terhantam dinding.
"Gue mau lo jadi pacar gue," kata Iqbaal, berusaha tersenyum namun terlihat kaku.
Apa dia bercanda? Mendadak saja (namakamu) seperti tidak bisa bernapas dengan benar. Iris mata coklatnya bergetar, bergerak ke segala ruang lingkup matanya, dan berhenti di tengah-tengah berusaha fokus memandang wajah lelaki yang ada di hadapannya ini. Dengan napas tersengal dan jantung berdebar, (namakamu) mencoba mencari kebohongan, kedustaan, apapun itu di mata Iqbaal. Ta-tapi, (namakamu) tergagap karena semakin bingung. Tapi (namakamu) tidak mendapatkan kebohongan disana, di dalam bola mata hitam Iqbaal yang mendadak lembut namun tetap mengintimidasi.
"Mungkin lo ada benernya, gue cuma perlu ngelupain kejadian di masa lalu itu," Iqbaal berusaha tersenyum namun kembali gagal, mencoba rileks dan juga gagal. Lelaki itu menunduk gelisah sebelum melanjutkan ucapannya. "Lo pernah bilang sama gue; obat untuk hati yang terluka adalah sebuah kasih sayang, dan nyuruh gue untuk percaya sama orang-orang yang sayang sama gue. Berharap supaya nggak ngerasain luka yang sama. Tapi gue nggak bisa, gue nggak bisa percaya gitu aja sama orang-orang di masa lalu itu. Gue rasa.....," dengan susah payah Iqbaal menelan ludahnya, dia seperti kesusahan mencari kata yang tepat. Tiba saat dia mendapatkan kalimat itu, Iqbaal mengangkat kepalanya dan memandang sendu pada (namakamu). "Gue cuma bisa percaya sama lo; orang yang gue yakin nggak akan pernah ngasih luka sama gue,"
Rentetan kalimat yang keluar dari mulut Iqbaal membuat (namakamu) tertegun. Benarkah Iqbaal secepat itu menaruh kepercayaan padanya? Apa yang harus (namakamu) lakukan sekarang? Dia harus menjawab apa?
"Gue..," (namakamu) bingung harus mengatakan apa. Di tambah, sekarang Iqbaal menghujamnya dengan tatapan yang menurut (namakamu) tidak terlalu baik untuk kesehatan jantungnya.
"Gue tau nggak mudah buat lo untuk percaya sama gue dalam waktu sesingkat ini, setelah perlakuan gue selama ini, yang bisa di bilang nggak ngotak," senyum Iqbaal getir, tangannya bergerak meraih masing-masing tangan (namakamu), menggenggamnya dengan gemetar. Jujur saja, ini adalah kali pertamanya Iqbaal bersikap seperti ini. Dan sensasinya sangat aneh, seperti memacu adrenalinnya.
Ah, bagaimana mungkin bisa Iqbaal bertingkah dengannya seperti ini? Jelas-jelas sikap Iqbaal kepada (namakamu) berubah tiga ratus enam puluh derajat, hanya membutuhkan waktu kurang dari dua puluh empat jam. Tangan Iqbaal yang gemetar, bisa (namakamu) rasakan saat jemari lelaki itu menyelusup di setiap jarinya. Iqbaal menggenggam tanganya, mencoba tersenyum dengannya, mencoba memasang garis wajah meyakinkan. Ah, lelaki itu mendadak aneh.
Hampir lima menit berlalu dan (namakamu) masih belum mampu menemukan kata yang tepat. Sebenarnya ada apa dengan dirinya saat ini? Kenapa dia malah jadi begini? Bukankah ini yang dia inginkan? Menjadi kekasih Iqbaal? Dan ini adalah kesempatannya. Ya, jelas ini kesempatan yang sangat tak terduga-duga, tapi bukan kesempatan itu yang mengganggu (namakamu), melainkan di sudut hatinya terdapat keraguan, dia hanya takut lelaki ini mempermainkannya atau mungkin ada sesuatu yang tidak (namakamu) ketahui di balik semua ini. Ya, (namakamu) rasa itu. Dia takut.
Melamun. Iqbaal tahu kalau(namakamu) sedang melamun, pandangan gadis itu kosong meskipun tertuju kepadanya. Apakah gadis ini ragu? Ragu kepadanya? Harus dengan cara apalagi Iqbaal membuktikan pada (namakamu) kalau dia memang bersungguh-sungguh ingin menjadi kekasih gadis ini? Oke, Iqbaal memang belum membuktikan apa-apa pada (namakamu), hanya sebuah kata-kata aneh, yang jelas membuat (namakamu) berpikir 'kenapa?' 'Kenapa seperti ini?' 'Kenapa tiba-tiba?' 'Kenapa baru sekarang?' Dan kenapa lainnya.
Iqbaal menghela napas panjang, tatapannya masih mengarah pada (namakamu) yang juga mengarah kepadanya. Iqbaal masih menggenggam jemari (namakamu), dia bersiap-siap untuk...ini konyol, tinggi (namakamu) yang hanya sedagunya membuat Iqbaal begitu gampang melakukannya. Dia hanya perlu sedikit menunduk dan melakukannya..., ya, sudah terjadi, tidak ada yang perlu di takuti lagi. Tapi kenapa jantungnya berdebar seperti hendak meledak dari sarangnya, Iqbaal bisa merasakan itu, sensasinya yang aneh namun semakin memacu adrenalinnya membuat Iqbaal seperti merasakan sedang meninju wajah orang yang paling dia benci. Dia ingin melakukannya lagi.
Hening selama hampir satu menit. Baik Iqbaal maupun (namakamu) hanya diam membisu dengan bibir mereka yang saling bersentuhan. Ya, hanya bersentuhan, tak ada salah satu dari mereka yang berani menggerakan bibirnya seperti pencium profesional. Hanya diam dan merasakan sensasinya.
*
"..ya, aku di skors selama empat hari," jelas Iqbaal pada (namakamu), ketika mereka sudah duduk di kursi halaman belakang. Iqbaal tak sedang memandang (namakamu), mata lelaki itu fokus pada layar ponsel di tangannya.
(Namakamu) mengernyit memandang Iqbaal. Dia diam sejenak, tidak merespon ucapan Iqbaal. Ada yang aneh. Tapi apa? Oh, tiba-tiba saja Iqbaal mengalihkan pandangannya dari ponsel itu, menatap (namakamu) yang sedang menatapnya dengan dahi berkerut.
"Kenapa?" Iqbaal menatap minta jawaban. Tapi sedetik kemudian dia tersadar, dan tertawa. "Soal itu, nggak, aku cuma liat disini," Iqbaal mengangkat tangannya guna menunjukkan layar ponselnya pada (namakamu).
Lihat! Iqbaal tertawa untuk yang pertama kalinya!
(Namakamu) memperhatikan, membaca judul artikel yang sedang di baca oleh Iqbaal dengan sudut-sudut bibir yang mulai terangkat hingga membuahkan seringaian manis 'Bagaimana Menjadi Pacar Yang Baik'
"Artikel itu bilang hal yang harus di lakukan pertama kali adalah berbicara sesopan mungkin dengan pasangan Anda, buat dia nyaman ketika berbicara dengan Anda. Jadi aku putusin untuk ngubah kosa kata aku ketika berbicara dengan kamu," jelas Iqbaal dengan tatapan yang hanya memandang pada layar ponsel. Tidak lihatkah dia sedari tadi (namakamu) mengulum bibir agar tidak tertawa?
"Aku-kamu," gumam (namakamu), manggut-manggut.
"Kenapa? Kamu risih?" Iqbaal menoleh ke arah (namakamu). "Sebenernya sih aku juga, nggak biasa, apalagi ke temen, biasanya cuma sama...orang tua,"
(Namakamu) menggeleng.
"Hampir seratus persen cewek menyukai cowok yang romantis," Iqbaal kembali menyuarakan kalimat yang tertera di artikel tersebut. "Jadi berperilaku romantis pada pasangan Anda, tapi jangan terlalu sering. Dia akan jenuh, dan jangan lupa selalu menanyai kabarnya, cewek sangat suka cowok yang perhatian...,"
Samar-samar (namakamu) tak lagi mendengar racauan Iqbaal mengenai artikel itu. (Namakamu) hanya memandang lelaki yang tengah duduk di sebelahnya ini dengan tidak percaya, dan sedikit berjengit saat tiba-tiba saja jemari Iqbaal menggenggam tangannya. Iqbaal terus mengoceh mengenai artikel tersebut.
Entahlah, (namakamu) masih terlalu shock dengan kenyataan ini, masih terlalu awal untuk mempercayai semua ini. Rasanya seperti mendapatkan bintang yang paling terang, bintang yang di inginkan oleh kebanyakan orang-orang. (Namakamu) menghela napas pendek lalu menjatuhkan pandangannya ke tangan mereka yang saling bertautan, rasanya insiden menyakitkan ketika Iqbaal melempar obat dan bubur buatannya baru terjadi kemarin. Sungguh, ini seperti mimpi. Mimpi yang sangat indah, mimpi yang sudah lama (namakamu) nantikan. Jadi, kenapa dia malah berbingung-bingung ria?
*
"(Namakamu)! Dasar ya lo! Kemana aja lo selama ini! Sering kabur di jam pelajaran, sering nggak masuk, jarang ngumpul sama kita bertiga! KEMANA AJA LOOO???!!"
Mereka gila. Itu yang (namakamu) pikirkan saat ketiga temannya ini tiba-tiba saja menariknya ke dalam kelas, ke meja mereka, lalu dengan seenak jidat memarahi (namakamu) seperti ini. Bel istirahat baru berdering lima menit yang lalu, (namakamu) yang memang sedang berada di halaman belakang bersama Iqbaal berniat kembali ke kelas untuk mengambil tuppeware berisi roti panggang yang ada di dalam tasnya. Tapi baru setengah perjalanan, dia bertemu dengan Bagas, Difa dan Gilang. Mereka menarik paksa (namakamu), memarahi (namakamu) layaknya seorang anak yang tak pulang selama seharian penuh.
"Gue...,ya, biasalah," (namakamu) bingung, hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Lo masih aja ngurusi cowok sialan itu? Astaga!" Gilang mengusap wajahnya seolah frustasi. Dia...tidak bisa lebih alay ya? Tingkah Gilang mengingatkan (namakamu) dengan akting amatir aktor Indonesia.
Difa menggeleng khas bapak-bapak, lalu berdeham sebelum berbicara. "Gini ya (namakamu) ku tercayang. Tadi pagi, kita baru aja ngeliat pertarungan seru antara satu orang melawan tiga orang, dan lucunya, yang satu orang itu menguasai pertarungan. Masalahnya, satu orang itu adalah cowok sialan lo itu. Jelas dia dalam bahaya. Lo tau Farrel kan? Temen-temennya itu kebanyakan gangster...," ucapan Difa terhenti saat melihat kening (namakamu) berkerut. "Gangster yang gue maksud bukan jekete empat lapan, ini jauh mengerikan, jadi kita sebagai teman, mengusuli lo supaya enggak deket-deket sama cowok itu selama kurang lebih...satu bulan...atau tiga bulan," Difa menutup penjelasannya dengan mengacungkan ketiga jarinya di depan wajah (namakamu), dan dengan cepat (namakamu) menepis jarinya.
Menghela napas, (namakamu) tersenyum aneh pada Difa, dan tentu pada sisa temannya, yang sekarang menatap emosi ke arahnya.
"Gini loh, bapak Difa ku yang terlebay! Gue itu nggak pa-pa, lo bertiga nggak perlu khawatir sama gue, yang jelas kalian harus selalu stand by kalau sesuatu menimpah gue!" Kata (namakamu) santai.
"Maksud lo? Ikutan berantem kalau suatu saat sih Iqbaal di kroyok, gitu?" Gilang shock memegang dadanya.
(Namakamu) meringis mendengar ucapan Gilang. Isi kepalanya mendadak memutar kejadian beberapa hari yang lalu. Bagaimana kalau itu terjadi lagi? Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk (namakamu) meremang.
"Kalau itu gue nggak bakal maaauuuuu!!!" Tolak Difa mentah-mentah, di susul oleh anggukkan antusias Gilang.
"Yaudah! Kalau gitu, nggak usah ngelarang-larang gue deket sama Iqbaal!"
"Justru itu, (namakamu), kita ngelarang lo ngegenitin sih Iqbaal supaya lo nggak ikut kena dampak atas permasalahan ini, ngerti?" Suara Gilang penuh jeda karena kesal dengan (namakamu) yang tak kunjung luluh.
(Namakamu) memutar bola matanya kesal, memandang satu persatu temannya ini dengan tatapan yang sama. Ketika matanya berhenti di wajah Bagas dan mata mereka saling bertemu, (namakamu) baru ingat kalau dia sedang tidak bertegur sapa dengan lelaki ini. Pantas saja Bagas sejak tadi tidak melontarkan sepatah katapun, biasanya suara lelaki ini yang paling menyumbat telinganya.
Hening. Tidak ada yang bersuara lagi, (namakamu) bergerak duduk ke atas meja, menatap lantai sambil memikirkan peringatan ketiga temannya-dua, hanya dua yang memperingatinya. Haruskah (namakamu) mendengar peringatan Gilang dan Difa? Dan meninggalkan Iqbaal, yang (namakamu) tahu baru saja menjadi kekasihnya. Tunggu, mengenai ini, apakah (namakamu) harus memberitahu mereka soal hubungannya dengan Iqbaal? (Namakamu) menggeleng, dia tak boleh membeberkan hubungan ini tanpa berunding kepada Iqbaal. Memikirkan kalau dia sekarang sudah resmi menjadi pacar pertama Iqbaal, pemilik ciuman pertama Iqbaal, tiba-tiba saja (namakamu) malah terbayang wajah Bella. Gadis itu....apa yang akan (namakamu) lakukan kalau seandainya Bella bertingkah seenaknya pada Iqbaal? Pura-pura tidak tahu dan membiarkan gadis itu bertingkah murahan atau langsung menampar Bella dengan batu bata?
"Ssht, ssht," tiba-tiba Gilang mendesis, membuat (namakamu), Bagas, dan Difa menoleh ke arahnya. Semua temannya memandang ke arahnya 'ada apa?' Dan dengan berbekal bibir yang mengerucut, Gilang menunjuk arah pintu masuk dengan bibirnya.
Serempak (namakamu), Bagas dan Difa menoleh ke pintu kelas.
Iqbaal baru saja melangkah masuk ke dalam kelas, mengedarkan pandangannya ke segala arah, seperti bukan dia saja. Biasanya Iqbaal berjalan hanya memandang lantai atau hanya fokus ke depan, tapi kali ini dia seolah seperti menyapa seluruh murid yang ada di dalam kelas ini. Tidak banyak. Hanya ada dua murid lelaki memakai kacamata, dan gerombolan murid perempuannya yang sibuk menggosip.
"Gue yakin tadi sih Iqbaal nggak kena pukul, tapi kok ada bekas memar di pelipisnya," ucap Difa, dia sekilas melirik ke arah Iqbaal, dan saat Iqbaal balas menatapnya, Difa seakan seperti ke geep nyontek saat ujian, langsung mengalihkan pandangan.
"Ada yang aneh," dan suara Bagas menyentakkan (namakamu).
Gilang mengangguk. "Yup, ada yang aneh. Kenapa dia jalan kesini?" Kepala Gilang menunduk, suaranya sangat pelan nyaris tak terdengar.
"Mungkin mau ngasih satu atau dua pukulan buat kita," Difa berpendapat.
"(NAMAKAMU)!!! GUE UDAH KAYAK SETRIKAAN DARI TADI NYARIIN LO KESANA-KEMARI! TAPI NGGAK KETEMU-KETEMU! TAUNYA LO DIS..,"
Kelas yang tak seberapa ribut itu mendadak heboh karena suara teriakan seorang gadis dari kelas IPS. Gadis yang tingkat kegilaanya hampir sama seperti (namakamu), tapi tetap, (namakamu) yang paling gila, dan sepertinya murid-murid harus memberikan sedikit julukan untuk dia; mungkin Mrs Heboh atau Sih-Mulut-Besar. Sepertinya opsi kedua akan (namakam) pilih.
Perkataan Bella yang menggantung itu di sebabkan oleh sepasang matanya yang mendapati sosok Iqbaal berada lima langkah di hadapannya.
"Kok lo disini, Baal? Bukannya kata sih Ratna lo di skors sampe empat hari? Oh, gue tau, mungkin lo mau ngucapin salam perpisahan sama gue?" Dengan sangat menjijikan-begitu menurut murid perempuan di kelas ini-Bella mengedip-ngedipkan matanya ke arah Iqbaal. "Tapi nanti aja, gue lagi ada urusan sama cewek itu," Bella menyela Iqbaal yang ingin mengucapkan sesuatu, dia menunjuk (namakamu) dengan bibirnya. Menghela napas, Bella berkacak pinggang memandang ke arah (namakamu). "Sini lo!"
(Namakamu) menurut, tidak seperti biasanya.
Belum sempat (namakamu) menginjakkan kakinya ke dekat Bella, gadis itu sudah menarik lengannya kuat-kuat, membuat (namakamu) nyaris saja terjerembab.
"Ada apa sih?"
"Kita bicaranya di luar," Bella sok misterius. Sebelum menyeret (namakamu) keluar, gadis itu menyempatkan menarik pipi Iqbaal dengan gemas. Tidak memperdulikan setelah tindakkan itu membuat Iqbaal meringis.
Bella menarik (namakamu) ke depan tangga menuju lantai dua. Tidak terlalu jauh, hanya berselang satu kelas dari kelas (namakamu).
"Nggak usah tarik-tarik gue, ish!" Akhirnya (namakamu) bisa juga bertingkah seperti biasanya. Oke, mulai sekarang dia harus merubah sikap tololnya di depan Iqbaal atau di depan siapapun, kecuali Bella.
"Nggak usah sok cantik," kata Bella.
"Yaudah, lo mau ngomong apaan! Cepetan!" Sedikit menjenjengkan lehernya, (namakamu) melirik ke pintu kelasnya. Memperhatikan apakah Iqbaal sudah keluar.
"Gue ada tantangan buat kita berdua!"
Sebelah alis (namakamu) terangkat bingung. Kalau tantangannya adalah menyelesaikan soal Kimia, matematika atau fisika, jelas gadis berbando ini sudah gila. Dia tak akan bisa menang dari (namakamu). Tapi melihat senyum di wajah Bella yang mendadak tersungging itu membuat (namakamu) berpikir lain.
"Tantangannya adalah mengikut sertakan diri di pementasan seni kelas tiga nanti,"
"Maksud lo di acara perpisahan kelas tiga?"
Bella memutar bola matanya tak sabaran. "Iya, (namakamu), dan lo nggak boleh nolak! Gue ngelakuin ini supaya kita nggak terus-terusan bersaing kayak orang gila!"
Maksud Bella apasih? Sungguh (namakamu) masih belum bisa mengerti.
"Kita tampil di acara perpisahan secara individu, siapa yang mendapatkan tepuk tangan paling banyak dia yang berhak banyak atas Iqbaal! yang kalah nggak boleh genit-genit lagi sama Iqbaal! Selamanya!"
"Tapi, gue...,"
"Alah, jangan banyak alesan deh, gue udah bilang sama anak-anak osis yang bertanggung jawab di acara pementasan itu, jangan malu-maluin gue,"
"Tapi bukannya harus di seleksi dulu ya?" (Namakamu) menatap heran Bella, gadis itu memang bodoh kan?
"Nggak perlu! Karena gue juga udah bilang sama Kak Nia," suara Bella menghilang, tatapannya mendadak was-was saat melirik sekitar. "Gue udah bilang sama dia kalau ini, yah, sejenis taruhan, meskipun awalnya dia sempet nolak tapi dengan sedikit usaha mengoceh, akhirnya dia luluh juga,"
"Lo jadiin Iqbaal barang taruhan?" Tuduh (namakamu) dengan nada suara yang mendadak meninggi.
"Engga gitu juga sih maksud gue. Gue cuma kesusahan buat nyari kata yang tepat, kita emang nggak lagi jadiin Iqbaal sebagai barang taruhan, mungkin kita lagi memperebutkan," Bella nyengir di akhir penjelasannya, yang menurut dia dan (namakamu) sangat aneh.
"Bukannya sama aja ya?"
"Udahlah (namakamu), nggak usah di pikirin. Mending lo mikirin hal apa yang sepantasnya lo pentaskan di panggung nanti. Yang heboh! Yang meriah! Yang memukau! Asal jangan lo ngoceh kayak sih Ratna, ngejelasin rumus matematika dari A sampe Z, dari Sabang sampe Marauke, dari Anang sama Krisdayanti sampe Anang sama Ashanty, okey? Bye!" Selesai berbicara, dengan gaya khas sok cantikknya, Bella mengibaskan rambut dan tangannya secara bersamaan, dan berlalu meninggalkan (namakamu).
Bella semakin lama semakin aneh saja. (Namakamu) menggeleng memandang kepergian Bella yang kian menjauh, mengernyit saat melihat cara berjalan Bella bak model di atas panggung catwalk, dan meringis saat melihat bahu Bella tanpa sengaja menabrak salah seorang siswi yang tengah berjalan berlawanan, dan siswi itu terjatuh, tidak, mungkin kata yang tepat bukan terjatuh melainkan terjengkang, meskipun maknanya sama saja, tapi perumpaan itu rasanya lebih tepat. Gadis yang terjengkang itu, (namakamu) mengenalinya, namanya Vita, gadis yang pingsan saat hari terakhir MOS.
"Ada apa?" Suara yang begitu familier di telinga (namakamu) tiba-tiba saja mengisi telinganya. (Namakamu) mengalihkan fokusnya dari Vita, yang sekarang tengah di seret oleh siswi yang ada disitu, mungkin maksudnya ingin membangunkan Vita.
"Ng, nggak ada," (namakamu) menggeleng kaku. Iqbaal yang berdiri di hadapannya, seakan tak percaya malah memandangnya sarkastik. Tapi Iqbaal mengangguk, mengangkat bahu, sikapnya seolah percaya pada (namakamu).
Menghela napas pendek. Percakapannya dan Bella tadi sekarang mulai menyerang isi kepala (namakamu). Bagaimana kalau Bella menang dalam acara perebutan itu? Dan (namakamu) harus bisa menerima kenyataan kalau Bella menguasai Iqbaal, sedangkan dirinya tak boleh. Ugh! Padahal (namakamu) baru saja senang bukan main karena lelaki yang notabenenenya adalah lelaki impikannya menyatakan cinta padanya, bukan, bukan menyatakan cinta, (namakamu) tahu, Iqbaal tak mencintainya, lelaki itu hanya berusaha membuka pintu kepercayaan pada seseorang, yang lelaki itu yakini adalah dirinya, (namakamu).
"Mau pulang sekarang?" Selama hampir lima detik (namakamu) memandang tas yang sudah tersampir di punggung Iqbaal.
Iqbaal mengangguk. "Nanti aku tunggu kamu di kosan,"
"Yakin pulang sendiri?" Sebenarnya (namakamu) ingin mengucapan 'Kamu yakin mau pulang sendiri?' Entahlah, rasanya menggunakan kata 'kamu' dengan lelaki ini masih belum terbiasa baginya.
"Ada masalah?"
Tentu saja ada masalah! Memangnya dia tak ingat dengan kejadian beberapa jam yang lalu? Menghajar tiga seniornya seorang diri? Apa dia merasa kalau dirinya tidak dalam bahaya?
"Jadi aku harus gimana?" Tanya Iqbaal lembut, dia bisa melihat saat matanya menusuk lebih dalam bola mata coklat (namakamu), dia menemukan binar disana, binar kebahagiaan. Ternyata membuat orang di sekitar kita bahagia begitu gampang, Iqbaal tak pernah menyadarinya selama ini.
"Tetep di sekolah, baca buku di halaman belakang kayak biasanya atau ke perpus biar lebih nyaman,"
"Aku bakalan bosen,"
Kening (namakamu) berkerut. "Biasanya nggak pernah bosen,"
Sudut-sudut bibir Iqbaal terangkat hendak tersenyum. "Dulu nggak ada hal yang harus aku lakuin selain baca buku, tapi sekarang, rasanya ngobrol sama kamu mungkin lebih baik dari baca buku," rentetan kata yang bisa di bilang masuk kategori membuat melting kebanyakan gadis, sangatlah bertolak belakang dengan ekspresi wajah Iqbaal yang datar, flat, biasa-biasa saja, seakan dia tak mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
"Belajar gombal dimana?"
"Aku nggak ngerasa lagi gombalin kamu," Iqbaal mengakui.
"Oh?" Wajah (namakamu) memerah menahan malu. Ternyata lelaki ini memang tidak bisa jadi lelaki yang romantis. "Ya, wajah datar nggak bakal bisa ngegombal, rasanya aneh," (namakamu) nyengir lebar.
Bel masuk berdering, koridor mendadak seperti pasar, suara langkah sepatu sangat berisik, tapi (namakamu) dan Iqbaal masih tetap di posisi.
Mulut Iqbaal mencebik. "Tapi kalau kamu suka di gombalin aku bakalan belajar ngegombal,"
Polos sekali kalimat itu keluar dari mulut Iqbaal, dan menurut (namakamu) ucapan Iqbaal yang barusan lebih dari kalimat gombal yang di ucapkan oleh sang pujangga sekalipun. Hei! Kenapa malah (namakamu) yang jadi berlebihan.
"Nggak usah, nanti jadinya aneh," (namakamu) mengibas tangannya.
Iqbaal mengangguk. "Ya, kamu bener, mungkin nanti bakalan aneh, lebih baik nggak usah,"
"(¬_¬")" mata (namakamu) menyipit mengejek, lama dia memandang Iqbaal seperti itu, sampai akhirnya dia melihat Iqbaal tersenyum merekah, lalu berselang lima detik (namakamu) merasakan tangan lelaki itu mendarat di pipinya, menariknya gemas.
*
Setelah perbincangan (namakamu) dan Iqbaal di koridor tadi, (namakamu) memutuskan Iqbaal supaya pulang dengan taksi. Iqbaal tidak membantah, lelaki itu menurut. (Namakamu) jadi merasa canggung kalau begini, entahlah, semuanya rasanya begitu berubah semenjak keajaiban yang dia dapati tadi pagi. Banyak yang berubah, terutama sikapnya sendiri. Ya, (namakamu) merasa sikapnya malah jadi aneh pada Iqbaal. Biasanya dia sangat antusias, petakilan, heboh, dan apapun itu yang menyangkut tentang Iqbaal. Tapi semenjak kejadian tadi pagi, paska Iqbaal memintanya menjadi seorang kekasih, (namakamu) merasa kalau sikapnya pada lelaki itu berubah. Ada yang tak beres dengan dirinya, salah satunya yang sangat mengganggu (namakamu) adalah rasa antusiasnya pada lelaki itu berkurang. Kalau kalian berpikir (namakamu) sudah tidak menyukai Iqbaal, itu salah, (namakamu) masih menyukai lelaki itu, sangat malah, sampai (namakamu) tidak bisa menjelaskannya.
"Ada yang aneh sama cowok sialan itu,"
Kalimat itu seperti menyadarkan (namakamu) dari dalam pikirannya. Bel tanda di bubarkannya sekolah berdering lima menit yang lalu. (Namakamu) sedang menapaki kakinya di lantai koridor, berjalan pelan agar tidak tertabrak oleh murid-murid yang memenuhi koridor sambil melamun, dan tersadar dengan kalimat Gilang yang mampir di telinganya.
"Dia minta alamat rumah lo," kata Gilang, suaranya dia buat sok semisterius mungkin, belum lagi mimik wajahnya yang...er, sok dewasa, sejak kapan Face Effect Difa menyebar ke lelaki ringkih ini?
"Oh ya?" (Namakamu) sok kaget, dan gagal.
Melihat ekspresi (namakamu) yang tidak seheboh seperti seharusnya, Gilang malah menyipitkan matanya.
"Gue rasa bukan cuma dia yang aneh," ucapan Gilang jelas terdengar seperti tuduhan. "Lo lagi sakit?" Gilang menempelkan punggung tangannya ke kening (namakamu).
(Namakamu) menggeleng dan menepis tangan Gilang. "Gue cuma..,"
"Gue mau pulang! Gue baru inget kalau Mommy gue tadi pagi nitip uang ke gue untuk beli sembako di persimpangan jalan deket sekolah," menepuk keningnya, Gilang mempercepat langkahnya, meninggalkan (namakamu) yang terheran-heran menatapnya.
Lima detik berlalu.
"Dor!!"
Seseorang mengagetkan (namakamu) dari belakang, dan gagal. (Namakamu) sekali tidak terkejut dengan seruan bodoh itu. Ugh! Sebenarnya ada apa dengan (namakamu) saat ini?!
"Gue cuma mau bilang sama lo, kalau di acara perpisahan nanti gue bakalan ngedance Touch My Body-nya Sistar!"
(Namakamu) yang sudah menoleh ke sumber pemilik suara itu, mendapati Bella dengan wajah songong memperingatinya.
"Terus?"
"YA! GUE NGGAK MAU LO SAMAAN KAYAK GUE!" Teriak Bella, yang merasa kalau sejak tadi (namakamu) seperti mesin rusak. Tulalit.
"Biasa aja sih, jawabnya, gue nggak bakalan nampilin hal murahan kayak lo gitu!" Sahut (namakamu) kalem.
Bella yang merasa kalau ucapan (namakamu) terdengar seperti hinaan, langsung berkacak pinggang, dan mendelik. "Jadi maksud lo yang nggak murahan itu, gimana?"
"Mungkin gue bakalan Sholat dengan khusu di panggung,"
Dan satu jitakan dari Bella berhasil mendarat di tengkuk (namakamu).
"Nggak sekalian aja lo adzan, nyet!" Bella berteriak lagi, kali ini (namakamu) bisa melihat urat-urat di balik kulit putih Bella berkedut-kedut seperti hendak meledak. "Pusing gue ngeladeni lo lama-lama! Bye!" Dan Bella pun berlalu, sembari merepet tak jelas.
Menggeleng-gelengkan kepala, (namakamu) kembali melanjutkan langkahnya. Tapi belum sempat dia menginjakkan kakinya di ubin ketiga, seseorang dari belakang menyentuh bahunya, membuat (namakamu) sangat kesal, dan mau tak mau memutar badannya untuk melihat siapa yang ada di belakangnya.
Eh? Dia, kok?
"Kok belum pulang?" Garis kemarahan bercampur kekesalan di wajah (namakamu) seketika musnah.
Iqbaal yang sekarang berdiri di hadapan (namakamu), menyatukan alisnya, mengembuskan napas pendek sebelum berbicara.
"Kamu kenapa? Mukanya kayak kesel gitu?"
(Namakamu) meremas ujung roknya, lalu nyengir. "Ah, masa? Mukanya emang kayak gini kok,"
Lama Iqbaal memandang wajah (namakamu) seakan sedang mencari kebenaran. Tak lama dia mengangguk.
"Pulang bareng?" Iqbaal menawarkan.
"Naik taksi ya?" Usul (namakamu), yang memang masih khawatir soal masalah Iqbaal dan Farrel.
Iqbaal mengangguk dan menjawab 'ya' seperti beberapa jam yang lalu. Kemudian menarik tangan (namakamu) agar keduanya segera berlalu dari kodior sepi ini. Ya, koridor ini memang sudah sepi, hanya menyisahkan mereka berdua.
Berjalan dalam hening dengan tangan saling bertautan. Tak ada orang, Tak ada yang berbicara, tak ada topik yang muncul di kepala mereka, hening-sepi, hanya desiran angin yang bisa mereka rasakan, meniup-niup pelan ke arah mereka seakan sedang menggoda. Baik Iqbaal maupun (namakamu) hanya memandang lurus ke depan, sedikit terbesit di kepala mereka tentang kenyataan saat ini dan beberapa minggu yang lalu. Seperti melihat dua sisi magnet yang berbeda namun sekarang seperti berusaha menyatukan diri.
Beberapa langkah lagi koridor akan usai, kepala (namakamu) perlahan menunduk memandang tangannya dan tangan Iqbaal yang saling bersentuhan itu. Hati (namakamu) terenyuh, seperti ada yang dengan sengaja menggelitik membuat ujung bibir (namakamu) terangkat dan menghasilkan sebuah senyuman. Detik berikutnya (namakamu) merasakan Iqbaal mempererat genggamannya, lantas (namakamu) menolehkan wajahnya ke arah lelaki itu, yang ternyata sedang memandangnya sambil tersenyum menawan.
Mata itu indah, seperti biasanya. Dan senyum itu amat menawan. (Namakamu) rasa kalau dia sedang badmood, mungkin dengan mengingat bagaimana Iqbaal tersenyum detik ini, bisa memusnahkan kejelekan moodnya itu. Sejenis moodboster.
Bersambung...

@Aryaandaa.

My Stupid GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang