[6]

711 46 0
                                    

'My Stupid Girl' [6]
by Muhammad Aryanda.
-oOo-
"Aku padahal mau ke rumah kamu setelah ini, tapi kita malah ketemu disini," kata lelaki itu. Lalu dia menunjukan buku yang tadi dia baca kepada (namakamu). "Kamu masih hobi bacakan?"
(Namakamu) mengangguk ambigu. Tunggu, ada yang ingin dia tanyakan. Sepertinya kesadaran belum sepenuhnya (namakamu) dapatkan.
"Kamu kapan balik dari jerman, Al?"
Yang di panggil Al-Aldi-hanya tertawa pelan seperti khas tawanya. Tawa itu tak berubah, seperti yang pernah (namakamu) lihat di masa lalu juga. Dan dunia rasanya seperti benar-benar kembali ke masa lalu, saat (namakamu) merasakan sebelah tangan Aldi terangkat, menyentuh puncak kepalanya dan dengan lembut mengacak-acak rambut (namakamu). Rasanya masih sama, sensasi ini seakan tak pernah hilang di makan waktu.
*
Ketika sedang terluka hal yang pertama kali manusia pikirkan adalah mencari obat. Hal itu juga yang sedang di pikirkan (namakamu), dan sepertinya di saat nasib buruk sedang menghampirinya, nasib baik juga datang kepadanya. Entalah, kehadiran Aldi (namakamu) rasa cukup untuk mengikis sedikitnya rasa sakit di hatinya itu.
"...mungkin awal semester kelas tiga nanti aku bakalan pindah ke sekolah kamu. Kerjaan papa selama tiga tahun di Jerman udah selesai, semua urusannya udah beres, jadi kita sekeluarga sepakat untuk balik ke Indonesia," cerita Aldi ceria. (Namakamu) menerima tawaran Aldi supaya Aldi mengantarnya pulang, di sepanjang perjalanan, banyak yang mereka ceritakan, termasuk kenapa Aldi bisa kembali ke Indonesia.
"Oh ya? Berarti kita bakalan satu sekolah lagi," suara (namakamu) terdengar sok ceria, tapi Aldi tidak menyadarinya, hanya (namakamu) yang sadar akan hal itu.
Aldi mengangguk seraya tersenyum. "Aku udah tepatin janji aku sama kamu untuk segera balik ke Indonesia," tiga detik Aldi memandang (namakamu) penuh keyakinan, janji itu, janji yang tak akan pernah dia lupakan. "Meskipun harus di lalui dengan beberapa kejadian yang nggak enak, berpisah selama tiga tahun sampai kita yang lost kontak. Tapi aku seneng sekarang aku udah bisa liat kamu, dan berada di dekat kamu," laju mobil mendadak melambat, (namakamu) pikir mereka sudah tiba di rumahnya, ternyata belum, Aldi memperlambat kecepatan mobil untuk mencondongkan badan agar bisa mengecup pipi kanan (namakamu).
(Namakamu) hanya bisa tersenyum kaku. Bingung harus berbuat apa, padahal dia mengharapkan Aldi hanya akan menjadi sebuah payung di saat (namakamu) sedang tertimpa hujan, tapi ternyata (namakamu) salah, Aldi datang untuk membawa payung agar melindungi mereka berdua dalam hujan.
Janji itu...sudah lama kan? (Namakamu) bahkan nyaris lupa, dia terlalu sibuk karena pada saat itu (namakamu) sangat kesal dengan Aldi yang mendadak tidak pernah menghubunginya lagi. (Namakamu) sekuat mungkin untuk melupakan kepergian Aldi, yang pada saat itu berstatus sebagai mantan pacarnya. Mereka berdua memang sempat menjalin hubungan hingga kabar buruk menimpah mereka saat (namakamu) dan Aldi akan naik ke kelas dua SMP. Aldi memberitahu pada (namakamu) kalau besok Aldi sekeluarga akan pindah ke Jerman untuk urusan pekerjaan ayahnya, dan memutuskan hubungan mereka yang masih berlangsung selama enam bulan, tapi Aldi berjanji aku terus menghubungi (namakamu), berusaha sekuat mungkin agar mereka saling berinteraksi seperti biasanya dan berjanji suatu hari nanti akan kembali. Dan itu tidak tahu kapan, yang malah terjadi detik ini. Aldi kembali dengan keadaan yang sama. Masih mencintainya, masih menyimpan harapan yang sama seperti dahulu.
Setahun Aldi pindah ke Jerman, perlahan namun pasti keduanya jadi jarang berinteraksi, bukan (namakamu) yang menghindar, hanya saja, Aldi yang tiba-tiba menghilang. Semenjak hilangnya Aldi, hari-hari (namakamu) mendadak hampa, bingung harus berbuat apa, dan tak tahu harus bagaimana, hingga tiba saat (namakamu) masuk Sekolah Menengah Atas, (namakamu) bertemu lelaki itu. Lelaki yang saat ini...sudahlah.
"...(Namakamu)? (Namakamu)? Kamu tidur?"
Suara Aldi seperti menyadarkan (namakamu), memaksa (namakamu) agar berhenti mengenang semuanya.
"Maaf," kata (namakamu) merasa bersalah, mungkin sejak dia melamun tadi, Aldi sedang berceloteh panjang dan tak ada satu pun yang (namakamu) ketahui apa. (Namakamu) beringsut dari duduknya, mobil sudah berhenti tepat di depan gerbang rumahnya.
"Kamu ada jam tambahan malam?" Aldi bertanya pada (namakamu) ketika mereka berdua sudah berada diluar mobil, memandang (namakamu) dengan intens yang masih mengenakan seragam sekolah.
(Namakamu) menggeleng. "Kerja kelompok," kebohongan yang sama, yang dia lakukan pada mamanya.
"Ah, ya, aku lupa kalau kamu termasuk jajaran murid-murid cerdas dulu, dan mungkin sampai sekarang. Mungkin temen-temen kamu nggak kalah pinter sama kamu,"
Detik itu juga (namakamu) tertawa, entah mengapa ucapan Aldi yang barusan membuat (namakamu) terbayang wajah ketiga temannya. Bagas, Difa dan Gilang. Yeah, mungkin mereka tidak terlalu buruk. Bagas dan Gilang yang cerewet, dan Difa yang cuma ikut-ikutan. Bagas dan Gilang yang selalu mendapatkan nilai pas-pasan, dan Difa yang lumayan pintar karena nilainya tiga angka di atas mereka berdua.
"Kenapa ketawa?" Tanya Aldi dengan dahi berkerut.
Tangan (namakamu) terangkat dan mengibas, nggak pa-pa. "Kamu belum tau temen-temen aku sih, mereka itu w-o-w," tawa (namakamu) lumayan meredah.
"Maksudnya? Lebih pinter dari kamu?"
(Namakamu) mengangguk saja.
"Mungkin besok kamu bisa kenali aku sama mereka, hm?" Aldi berkata sungguh-sungguh, dan suaranya terdengar tulus; tulus ingin berkenalan dengan teman (namakamu), dan juga berniat ingin menjadikan temann (namakamu) sebagai temannya.
(Namakamu) berjalan mendekat pada Aldi, merentangkan tangannya dan memeluk lelaki yang jauh lebih besar darinya itu dengan penuh kasih sayang. Aldi sudah tumbuh menjadi lelaki remaja, banyak yang berubah dari lelaki itu; suaranya, caranya berbicara, bersikap, tinggi badannya, lengannya yang semakin kokoh, garis wajahnya yang keras, tapi ada beberapa yang tak pernah berubah; caranya memandang dan tersenyum pada (namakamu).
*
Semalaman (namakamu) nyaris tak bisa tidur memikirkan ini.
Kehadiran Aldi memang membuat (namakamu) lupa sejenak akan masalah yang sedang dia alami, tapi begitu lelaki itu pergi bersama dengan kenyamanan, isi kepala (namakamu) kembali di ingatkan dengan kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang menyakitkan. Dan sepanjang malam (namakamu) terus berpikir 'haruskah besok dia datang ke kosan lelaki itu? Menjenguknya? Membawanya sarapan dan obat?'
Dan itu benar (namakamu) lakukan.
Hari rabu. (Namakamu) mengenakan seragam sekolah dengan baju putih berlengan pendek, di ujung lengan baju tersebut terdapat garis batik melingkar bewarna biru muda, dasi kupu-kupu berwarna merah yang tersimpul rapi di anak kancing teratas serta rok batik selutut berwarna biru tua. Sudah hampir setengah jam (namakamu) berdiri di depan pintu kosan itu, sibuk memikirkan apa dia harus masuk atau tidak. Matanya bergerak liar dari pintu ke sekeliling dan ke bungkusan plastik yang ada di gengaman tangan kanannya. Begitu sampai setengah jam. (Namakamu) sebenarnya tidak bingung hanya saja dia takut dengan kehadirannya membuat lelaki itu marah, atau jangan-jangan Iqbaal sudah berangkat? Ugh! Tidak mungkin, mengingat bagaimana bekas memar yang terlihat jelas di wajah lelaki itu kemarin.
Menghela napas panjang, (namakamu) sedang berusaha mengumpul keberanian yang selama ini selalu menguasai dirinya. Keberanian tentang hal tolol atau apapun itu. Sedikit kesal dengan tangannya yang tak kunjung bergerak, (namakamu) malah melayangkan kakinya ke pintu sebagai ganti untuk ketukan. Jantung (namakamu) mencelos, sudahlah, sudah terjadi, tak perlu menyesali, kemudian tangannya mendekat ke pintu, lantas mengetuk secara beberapa kali. Bagaimana kalau pintu terbuka dan Iqbaal kaget melihat kehadirannya? Apa yang akan lelaki itu lakukan? Meneriakinya menyuruhnya pergi atau yang lebih parah menendang dirinya dengan terjangan terbaik.
Tak ada jawaban, (namakamu) nyaris putus asa. Tapi kaki dan hatinya berkata lain, memaksanya agar tetap berdiri disini sampai pintu terbuka, dan sampai dia mendapatkan hasil. (Namakamu) melirik arloji di pergelangan tangan kanannya, pukul tujuh, sudah terlambat untuk kembali ke sekolah. Dan apakah setelah ini dia akan mendapatkan kekecewaan juga?
Tiba-tiba suara derit pintu terbuka mengagetkan (namakamu), (namakamu) mundur selangkah, wajahnya terangkat untuk menatap lurus ke depan, menatap lelaki yang sekarang berdiri di hadapannya dengan wajah datar dan tatapan dingin yang kentara. Memar di wajah lelaki itu terlihat jelas, dan membuat (namakamu) meringis ingin menyentuhnya. Pasti sakit sekali.
(Namakamu) melihat mulut Iqbaal terbuka hendak melontarkan sepatah kata, tapi (namakamu) keburu menyela.
"Izini gue sekali lagi untuk ada di deket lo," kata (namakamu), yang membuat Iqbaal langsung bungkam. "Gue janji ini untuk yang terakhir kali, gue cuma mau ngerawat lo yang lagi sakit, gue cuma mau jadi orang pertama yang ada saat lo lagi membutuhkan sesuatu, gue cuma mau itu. Gue mohon, sekali aja lo dengerin apa yang keluar dari mulut gue, gue cuma mau ngobatin lo yang lagi sakit sampai sembuh untuk yang terakhir kali, setelah itu gue janji nggak bakal ganggu hidup lo lagi, gue jamin setelah ini nggak bakal ada orang bodoh yang nungguin lo di depan gerbang atau roti tolol yang selalu ada di m0eja kelas lo," (namakamu) tersenyum pilu di akhir kalimatnya. Ya, dia benar-benar sudah memikirkan tentang hal ini. Dia berjanji tidak akan mengganggu lelaki ini lagi. (Namakamu) sadar akan sesuatu yang seharusnya sudah dia pahami sejak dulu. Lelaki ini tak akan pernah bisa memahami bagaimana perasaan (namakamu) kepadanya, sebesar dan sedetail apapun (namakamu) menunjukkannya, Iqbaal tidak akan pernah paham. Iqbaal sudah benar-benar menutup ruang kepercayaannya bagi siapapun.
(Namakamu) menyeka air matanya yang mulai mengalir. Bisakah air mata tolol ini sekali saja tidak keluar? Kenapa akhir-akhir ini (namakamu) sering sekali menangis. Oh, pasti karena lelaki ini.
Tidak ada jawaban dari Iqbaal, lelaki itu hanya diam saja seperti biasanya. Memandang (namakamu) dengan pandangan kosong yang seolah bukan sedang tertuju pada (namakamu). (Namakamu) tidak tahu apa yang sedang lelaki itu pikirkan. Iqbaal tampak berbeda hari ini walaupun tatapan yang mengarah pada (namakamu) tetap sama. Tidak ada jawaban, dan (namakamu) memutuskan untuk menganggap itu sebagai jawaban 'ya'. Kaki (namakamu) terayun masuk ke dalam kosan Iqbaal, aroma khas maskulin lelaki itu memburu masuk ke dalam hidung (namakamu). Sedikit terlintas di kepala (namakamu) kalau mungkin saja beberapa hari lagi dia tidak akan bisa menyium aroma ini.
Satu jam (namakamu) berada di kosan Iqbaal, lelaki itu belum mengeluarkan sepatah katapun. (Namakamu) juga tidak tahu apakah Iqbaal benar-benar mengizinkan dia berada disini? Ah, tapi itu tak penting, yang terpenting (namakamu) masih berada disini dan Iqbaal tak kelihatan bermasalah. (Namakamu) memulai tugasnya sebagai assistent kosan ini dari membersihkan rumah; menyapu, mengepel, merapikan barang-barang yang berantakan lalu di lanjutkan dengan memasak nasi, membuat bubur, menggoreng naget, membuat susu, dan mengantar pakaian kotor Iqbaal ke laundry.
"Tulis alamatnya disini," (namakamu) menyerahkan selembar kertas dan sebuah bolpoin pada Iqbaal. Tanpa menoleh ke arah (namakamu), Iqbaal meraih kertas dan bolpoin itu lalu menulis alamat laundry yang biasa dia datangi.
Kebisuan Iqbaal perlahan menumpuk di kepala (namakamu), memunculkan satu buah jawaban atas 'kenapa Iqbaal membiarkan dirinya tetap disini?' Dan jawabannya adalah; Iqbaal sangat ingin (namakamu) enyah dari hidupnya, jadi Iqbaal memutuskan untuk membiarkan (namakamu) bertingkah semaunya. Mungkin seperti itu, (namakamu) tersenyum pahit memikirkan itu.
Iqbaal hanya menghabiskan seperempat bubur buatan (namakamu), dan itu tidak jadi sebuah masalah. Dan kemudian meminum obat sesuai usul dokter. (Namakamu) tersenyum lebar ketika melihat Iqbaal meletakan gelas di meja kecil yang ada di sebelah tempat tidur. Iqbaal baru saja meminum obatnya.
"Panasnya udah lumayan turun," kata (namakamu) setelah meletakan punggung tangannya di kening Iqbaal. "Mau di kompres lagi atau enggak?" Tanya (namakamu) kemudian, tapi Iqbaal tak menjawab, lelaki itu malah memejamkan matanya. Mengabaikan pertanyaan (namakamu) yang seolah hanya angin lalu.
Menghela napas pendek, (namakamu) berjalan menuju dapur dan kembali ke kamar membawa handuk lembab, yang kemudian dia letakkan di kening Iqbaal. Mata Iqbaal masih tetap terpejam seakan tak terusik atau mungkin tak perduli, (namakamu) tak masalah, yang terpenting adalah lelaki ini lekas sembuh dan bisa menjalankan rutinitas seperti biasa.
Ponsel yang ada di dalam saku baju (namakamu) bergetar, lantas (namakamu) segera meraihnya dan memandang layar ponsel yang berkelip-kelip itu lama. Disana tertera nama Aldi. Semalam mereka memang sempat bertukar nomor ponsel. Menekan tombol hijau, (namakamu) beranjak keluar dari kamar, dia tak ingin mengganggu istirahat Iqbaal.
(Namakamu) berjalan menuju sofa dan duduk disana.
"(Namakamu),"
"Ya?"
"Maaf, tadi aku nggak bisa nganter kamu. Kami sekeluarga masih sibuk membenahi rumah yang berantakan. Maaf, ya?" Suara Aldi terdengar menyesal karena tak bisa menepati janjinya semalam.
(Namakamu) mengangguk. Sadar kalau Aldi tidak melihatnya, (namakamu) buru-buru bersuara. "Gak pa-pa, lagian aku tadi pergi sama papa," jelas-jelas tadi (namakamu) berangkat dengan taksi.
"Kalau gitu nanti pulang sekolah biar aku yang jemput,"
(Namakamu) gelagapan. "Eh, nggak usah, aku, aku ada kelas tambahan, eh, ya, ya, kelas tambahan,"
"Kalau gitu aku tunggu sampai kelas tambahan kamu selesai,"
(Namakamu) mendesah, "tapi aku udah biasa pulang bareng-bareng sama temen aku. Nggak enak sama mereka, Al," (namakamu) menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tak gatal.
"Oh," Aldi ber-oh panjang. "Sekarang kamu lagi dimana?"
Secepatnya (namakamu) mencari ide supaya sambungan ini segera berakhir. "Jam istirahat baru aja selesai, aku lagi jalan ke kelas,"
"Sekolah kamu sepi banget," komentar Aldi, yang membuat (namakamu) harus memutar otak lagi.
"Rame kok, akunya aja yang jalannya lambat," (namakamu) sedang membayangkan kalau dia sedang berada di koridor penuh siswa dan dia berada di barisan paling belakang, jauh ketinggalan. Alasan yang tidak terlalu buruk.
"Oh gitu, yaudah aku ya," setelah menjawab 'ya' sambungan langsung terputus.
(Namakamu) mendesah panjang sebelum akhirnya menyenderkan punggungnya lebih dalam ke sofa. Sepertinya masalah baru dalam hidupnya akan segera datang, sebentar lagi, hanya menunggu hari terus berganti. Dan (namakamu) yakin kalau dia belum siap menghadapi masalah baru tersebut. Yang paling dia takuti adalah, bagaimana kalau Aldi menginginkan mereka kembali seperti dulu? Seperti sepasang kekasih yang layaknya saling mencintai. Sungguh, (namakamu) belum siap, bukan karena dia tak ingin berada di dekat Aldi, hanya saja dia rasa...kalau cintanya...pada lelaki itu sudah lama menghilang.
Lima hari kedepan, (namakamu) terus melakukan aktivitas merawat Iqbaal seperti di hari pertama. Bedanya, (namakamu) datang lebih awal, menyiapkan sarapan untuk lelaki itu, menaruh obat di dekat mangkok bubur, dan juga membuat susu. Setelah itu (namakamu) berangkat sekolah, dan siangnya, (namakamu) kembali ke kosan Iqbaal, memasak nasi, memasak apa saja yang mungkin di sukai Iqbaal, karena di hari pertama, (namakamu) menndapatkan fakta kalau Iqbaal tidak suka naget. Di hari kedua (namakamu) memasak ikan goreng dan telur balado. Rutinitas itu (namakamu) lakukan selama lima hari tanpa jeda, tanpa rasa lelah sedikit pun, dan semakin lama keadaan lelaki itu semakin membaik.
Tiba di hari keenam, ketika (namakamu) mengunjungi kosan Iqbaal di pagi hari. Pagi ini (namakamu) agak telat, dia datang pukul 6.45, dan mendapati kosan Iqbaal sudah kosong. Apakah Iqbaal meyakini dirinya sendiri kalau dia sudah sembuh total dan merasa sudah bisa beraktivitas seperti biasa? Entalah, yang jelas saat mendapati kosan Iqbaal kosong, (namakamu) segera melangkah kan kakinya, meninggalkan kediaman lelaki itu secara tergesah-gesah.
Sesampainya di sekolah, (namakamu) melihat murid-murid ramai berkumpul di halaman belakang sekolah, berseru, berteriak, menggeram, dan kebanyakan itu semua di dominasi suara kaum adam. Kaum hawa hanya sesekali berteriak histeris. (Namakamu) yang sudah tiba di halaman belakang segera mempercepat langkahnya, tapi setibanya dia ditempat kejadian, suara-suara itu mendadak hilang. (Namakamu) yang berdiri di garis masuk halaman belakang terdiam seraya mencengkram ujung roknya, matanya menatap rinci kejauhan sana, kerumunan murid-murid itu mengingatkan (namakamu) dengan kejadian beberapa hari yang lalu.
"Gila seru banget, gue baru kali ini liat orang berantem sampe segitunya! Wih! Bayangi nyet! Tiga lawan satu!"
"...sadis banget sih Iqbaal!"
"Tapi gue gak jamin sama keberadaan dia setelah kejadiann ini,"
"Palingan di skors,"
Percakapan singkat itu berakhir setelah (namakamu) lihat tiga orang murid lelaki berjalan melintasinya. (Namakamu) tak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan setelah itu, pandangan (namakamu) sekarang fokus pada seorang lelaki yang menepis tangan seorang guru lelaki, yang berusaha membantu. (Namakamu) seakan terpaku, tak bisa bergerak, kesal dengan dirinya sendiri yang tak mau melangkah ke arah lelaki itu. Tubuh ringkih Iqbaal lenyap di tikungan menuju kantor guru, di susul dengan tiga orang murid senior, seragam putih mereka penuh bercak darah, berbeda dengan Iqbaal yang hanya kotor karena debu.
*
Selama hampir satu jam (Namakamu) duduk gelisah di depan kantor guru, menunggu Iqbaal yang berada di dalam sana bersama dengan tiga orang kakak kelas. Bella sempat bersama (namakamu), tapi guru yang mengajar di kelas Bella, yang notabenenya adalah guru terkejam, memaksa Bella untuk masuk. Bella merengek, memaksa (namakamu) agar memberitahu perkembangan Iqbaal. Berkali-kali (namakamu) di sentakan dengan orang-orang yang keluar dari kantor guru, bukan Iqbaal, hanya beberapa guru yang berlalu-lalang, kenapa lama sekali sih? Memangnya apa yang mereka lakukan disana? Memecat keempat murid lelaki itu? Sial, kalau itu sampai terjadi.....awas saja. (Namakamu) bingung harus mengancam bagaimana. (Namakamu) beranjak dari posisi duduknya, tidak tahan kalau hanya duduk diam saja.
Dan sekarang, dengan gaya khas orang stres, (namakamu) berjalan mondar-mandir di depan pintu kantor. Mengabaikan murid-murid yang memandangnya aneh, berusaha senormal mungkin saat beberapa guru yang melintas bertanya padanya. Tiba saatnya, dimana (namakamu) tidak terlalu fokus pada apapun yang ada di sekitar, hanya pada pikirannya, hanya untuk mengkhawatirkan lelaki itu, tiba-tiba saja (namakamu) merasakan tubuhnya terjengkang dan nyaris terjerembab. Sebisa mungkin (namakamu) menetralisirkan kondisi badannya. Lalu menatap seseorang yang menabraknya tadi.
Farrel.
(Namakamu) menghentakkan kakinya kesal, saat melihat Farrel menghambur bersama kedua temannya, tangan (namakamu) yang sudah terkepal di sisi tubuh ingin sekali dia lampiaskan ke wajah penuh memar Farrel. Tapi tiba-tiba (namakamu) merasakan seseorang meraih pergelangan tangannya, menariknya secara paksa namun tidak kasar ke halaman belakang. (Namakamu) terlalu kaget untuk memastikan siapa yang sudah menariknya ke halaman belakang ini, tapi saat langkah orang itu terhenti, (namakamu) bisa mengenali orang itu.
Iqbaal.
Iqbaal melepaskan pegangan tangannya pada (namakamu), memandang (namakamu) sambil menghela napas pendek. Iqbaal kemudian mengusap wajahnya yang bekeringat, membuang pandangannya asal, dan kembali memandang (namakamu), kali ini tatapannya lumayan mengendur, tidak intens seperti biasanya.
(Namakamu) yang sedaritadi hanya memandang fokus pada wajah Iqbaal, tepat di sudut bibir Iqbaal yang meneteskan setitik darah itu tidak tahan kalau hanya diam saja, (namakamu) mengangkat tangannya dan menyeka darah yang mengalir itu. Tiga detik berlalu, tangan hangat Iqbaal merayap di pergelangan tangan (namakamu), menjatuhkan tangan (namakamu).
(Namakamu) pikir Iqbaal akan marah, tapi lelaki itu malah diam, dan sangat aneh. Iqbaal seperti kebingungan ingin mengatakan apa, hingga tiba akhirnya lelaki itu mengucapkan beberapa kata yang membuat (namakamu) mundur karena kaget, dan merasakan punggungnya terhantam dinding.
"Gue mau lo jadi pacar gue," kata Iqbaal, berusaha tersenyum namun terlihat kaku.
Bersambung...
@Aryaandaa.

My Stupid GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang