[2]

889 42 0
                                    

'My Stupid Girl' [2]
by Muhammad Aryanda
-oOo-
(Namakamu) menghela napas pendek. "Lo beneran nggak suka cewek?"
Satu detik...
Lima detik...
Sepuluh detik...
Iqbaal hanya diam saja, memandang wajah tolol (namakamu) tanpa eskpresi.
"Gue emang gak suka perempuan," kata Iqbaal yang langsung membuat (namakamu) menangkup dadanya, karena merasa jantungnya saat ini seperti hendak ingin meledak. "Mereka egois, cerewet. Apa yang ada di dalam hati dan tingkah laku beda. Nggak ketauan dalamnya baik atau buruk, dan juga, mereka suka seenaknya menganggap lelaki sebagai miliknya sendiri. Mereka adalah makhluk yang paling menyebalkan, membosankan, dan sangat suka menyusahkan orang,"
(Namakamu) tercengang. Mata dan mulutnya terbuka lebar, bukan karena kaget dengan ucapan Iqbaal, melainkan dengan rentetan kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu lebih banyak dari biasanya. Andai saja (namakamu) tahu kalau Iqbaal akan berbicara sepanjang ini, (namakamu) pasti akan merekamnya. (Namakamu) juga sangat suka suara Iqbaal, menurutnya suara Iqbaal adalah alunan melodi paling indah baginya sebagai pengantar tidur.
*
"(Namakamu), tupperware lo tuh," Difa menepuk punggung (namakamu) ketika gadis itu hendak melangkahkan kakinya keluar kelas, dan menunjuk ke arah meja paling belakang.
(Namakamu) memutar badannya, menatap meja deretan ketiga paling belakang sambil menghela napas pendek. Disana ada tupperware biru miliknya yang selalu bernasib sama; tidak pernah disentuh sedikit pun oleh lelaki itu. Tidak masalah, (namakamu) tidak pernah merasa kecewa sedikit pun atau dendam pada lelaki itu. Yang jelas, semuanya akan berlangsung menjadi baik-baik saja saat (namakamu) menatap wajah lelaki itu. Wajah yang tak pernah mengukir senyum itu, entah mengapa selalu bisa membuat (namakamu) merasa nyaman kala menatapnya.
(Namakamu) meraih tupperware biru itu lalu membuka tutupnya, mencoba melihat roti panggang yang dia buat masih utuh. Ketika (namakamu) hendak menutup tupperware, sebuah tangan meraih setangkup roti yang ada di dalamnya, otomatis membuat mata (namakamu) membelalak kaget, dan dua detik berikutnya roti itu sudah terkoyak menjadi setengah, setengahnya lagi sudah tergiling di mulut-
-Bagas.
"Bagas!" (Namakamu) langsung melayangkan tinju ke badan subur Bagas dengan sekuat tenaga. Alih-alih melampiaskan kesal karena setiap hari rotinya tidak pernah di sentuh oleh Iqbaal.
"Cowok itu selain sinting ternyata dia juga kampungan, masa roti seenak ini kagak di makan sih, lain kali kalo lo mau mau bawa untuk dia, bawain juga buat gue. Di jamin deh, tanpa nunggu sampe setengah hari tuh roti udah masuk dalam perut gue," cerocos Bagas dengan mulut penuh roti.
(Namakamu) mendelik, masih tidak rela roti persembahan untuk Iqbaal itu mampir ke mulut Bagas, yang notabenenya adalah Cowok-Yang-Paling-Suka-Ngetawain-Dia.
"Sayangnya, gue ngasih roti ini, kusus untuk cowok yang gue cintakh! Ngerti?" Kata (namakamu) sinis, lalu menginjak kaki Bagas sebelum meninggalkan kelas. (Namakamu) bisa mendengar suara makian Bagas saat (namakamu) sudah berada di luar kelas.
"Lang, gimana sama usul gue kemarin?" Tanya (namakamu) pada Gilang, ketika sudah berjalan beriringan dengan Gilang dan Difa.
"Aduh, gue belom tau deh,"
"Ih, lo kok jadi nggak jelas gitu,"
"Gini ya, (namakamu), gue itu sibuk, gue banyak kerjaan tiap hari, jadi gue belum bisa nepati janji gue sama lo,"
"Sibuk apaan?" Suara (namakamu) mendadak cempreng. Dan itu membuat Difa yang berjalan di antara Gilang dan (namakamu) mengernyit sambil melempar pandangan ke arah (namakamu). "Biasa aja kali, Dip,"
"Nama gue Difa bukan Dipa," protes Difa.
(Namakamu) memutar bola matanya, tidak berniat untuk berdebat dengan Difa saat ini, yang dia inginkan saat ini hanyalah pembuktian janji Gilang yang sempat mereka diskusikan beberapa hari lalu.
"Janji apaan sih?" Difa menatap Gilang dan (namakamu) secara bergantian.
Tidak ada yang menjawab pertanyaann Difa, hanya keheningan yang tercipta setelah pertanyaan yang keluar dari mulut Difa. Difa menghela napas pendek lalu mempercepat langkahnya.
"Eh, jangan marah dong," (namakamu) menyambar tangan Difa sebelum lelaki yang tingginya setara dengan dia itu pergi menjauh.
"Makanya cerita! Lo berdua sih, main rahasia-rahasiaan segala,"
"Jadi gini," (namakamu) ingin menjelaskan tapi bingung harus memulai darimana.
"Sih (namakamu) nyuruh gue masuk latihan Taekwondo tempat cowok bodoh itu," sahut Gilang cepat, dia menatap (namakamu) kecut karena merasa gadis itu semakin hari semakin bodoh saja, dan tingkah bodoh gadis itu membuat Gilang semakin kesal dengan lelaki sok ganteng itu.
Sebelah alis Difa terangkat. "Lo yakin, (namakamu)? Ntar kalo sih Gilang di gebukin terus mati gimana? Gue sih males banget gali kuburan dia,"
"Tinggal di campak ke laut," (namakamu) terkekeh, dan di susul oleh Difa.
"Yaudah kalo gitu suruh orang lain aja, yang merasa dirinya paling kuat dan bisa ngalahin cowok tolol itu," Gilang mempercepat langkahnya, dan tak ada sama sekali yang menghentikan langkahnya karena (namakamu) dan Difa masih sibuk tertawa.
*
(Namakamu) merepet tidak jelas begitu dia tiba di gerbang sekolah dan tidak menemukan sosok Gilang disana. (Namakamu) pikir Gilang akan menunggunya disana, ternyata lelaki itu sudah pulang duluan. Kalau tidak mikir tentang rencananya yang sudah di sepakati oleh Gilang, (namakamu) tidak akan sudi mengemis-ngemis dengan lelaki itu. Dan gara-gara obrolan singkat tadi, (namakamu) jadi ketinggalan jauh oleh Iqbaal. Lelaki itu entah sudah sampai mana, tapi saat (namakamu) berlari berniat menyusul Iqbaal, (namakamu) mendapati Iqbaal tidak berjalan seorang diri melainkan dengan...
(Namakamu) menghirup udara banyak-banyak dan membuangnya dengan liar. Tidak menyangka gadis murahan itu akan menyolong startnya, dan ini adalah kali pertamanya (namakamu) keduluanan dengan gadis itu.
"Dasar cewek genit!" (Namakamu) menarik tangan gadis yang ingin bergelayut di tangan Iqbaal itu dengan kasar. Gadis itu tersentak dan menatap (namakamu) dengan garang. "Ngapain lo deket-deket sama Iqbaal, terus nempel-nempel nggak jelas gitu kayak parasit tau nggak lo!"
"Apaan sih lo!" Gadis itu menepis tangan (namakamu). "Lo tuh yang genit, dasar cewek nggak bener! Kerjannya gangguin orang pacaran mulu!"
(Namakamu) mendelik. Tangannya sudah gatal untuk menampol gadis di hadapannya ini. "Ngomong lo tinggi amat awas kesamber pesawat, nyet, mana mau Iqbaal sama cewek kayak lo! Lo bukan tipe Iqbaal secuil pun!"
"Terus kalo gue bukan tipenya Iqbaal, jadi yang lo maksud itu LO? Ngaca noh di comberan muka lo tuh kayak tukang tempe!"
"Yee! Dari pada lo kayak kang begal!"
"Nyolot banget lo!"
"Ya, jadi lo maunya apa? Ribut aja nyok!"
"Ayok!" Bella melipat lengan baju sekolahnya yang memang sudah pendek, bersiap-siap akan melayangkan tonjokan terbaiknya ke wajah sok cantik (namakamu).
(Namakamu) yang melihat Bella sudah mengambil ancang-ancang pun tidak tinggal diam. Dia langsung menjatuhkan tasnya, dan bergaya dengan sikap bertarung. Akan tetapi, baru saja mereka akan melayangkan tinju masing-masing seseorang dari kejauhan berteriak 'stop' dengan lantang, otomatis membuat kepala (namakamu) dan Bella menoleh secara serentak.
"Kalian ngapain sih, setiap hari selalu berantem mulu, dan penyebabnya selalu cowok sialan it,"
Dugh!
Secara bersamaan (namakamu) dan Bella melayangkan tinju mereka yang sempat tertahan tapi bukan ke arah orang yang ada di dekat mereka melainkan seorang lelaki bodoh, yang berteriak-teriak tak jelas barusan. Lelaki itu meringis, sedikit membungkuk menahan sakit akibat tonjokan dari kedua gadis gila ini.
"Sekali lagi lo berani ngejelekin cowok gue, gue nggak bakal segan-segan nampar lo pake kapak! Ngerti?" Ancam Bella hendak menerjang lelaki di hadapannya.
Cowok gue? Mata (namakamu) menyipit ke arah Bella, tapi dia mendelik saat menatap lelaki malang di hadapannya. "Bener kata sih Kang Begal! Awas aja lo berani ngejelekin suami gue, nasib lo bakalan sama kayak cabe yang udah di blender!"
Bastian. Lelaki malang yang sudah fix menetapkan hatinya pada (namakamu) dan Bella, selalu saja mendapatkan perilaku yang kurang senonoh dari kedua gadis itu, tapi meskipun begitu, cintanya tak akan pernah musnah pada keduanya, karena cintanya bak kuku tangan; meskipun terpotong akan tetap tumbuh kembali.
"Sori, ya, gue lagi nggak ada waktu buat ngurusin cowok nggak jelas kayak lo," (namakamu) menghentakan kakinya, berlalu meninggalkan Bella dan Bastian. "Ssh, gara-gara lo! Gue di tinggal suami gue!" (Namakamu) menggeram pada Bella setelah mengedarkan pandangannya dan tidak mendapati sosok Iqbaal.
"Kenapa lo nyalahin gue! Jelas-jelas lo itu yang udah ngerusak suasana romantis gue sama Iqbaal," Bella balas merempet, merasa tak terima dengan tuduhan (namakamu). "Padahal tadi Iqbaal hampir aja nyium gue," tambahnya dengan wajah menyesal yang sangat membuat (namakamu) jijik.
"Mulut lo bau pete, Iqbaal mana mau!"
Bella reflek menutup mulut dengan sebelah tangannya, tapi dia balas berteriak tiga detik kemudian. "Mulut lo tuh bau tong sampah,"
"Iya, gue tongnya, lo sampahnya. Impas?" (Namakamu) mendelik pada Bella.
"Udah deh, kalian jangan ribut-ribut. Gue tongnya, gue juga sampahnya, biar kalian jadi tempat tutup tong sampahnya biar kita saling melengkapi," suara Bastian membuat perdebatan (namakamu) dan Bella yang hampir memasuki babak kedua terhenti, kedua gadis itu menolehkan wajah mereka dengan sangar ke arah Bastian.
(Namakamu) membungkuk siap mengambil batu bata yang ada di permukaan beraspal itu, sementara Bella sudah mengepalkan kedua tangannya. Merasa sudah membangunkan singa dalam diri kedua gadis itu, Bastian langsung membenahi diri dan berlari sekencang-kencangnya.
*
(Namakamu) sedang berjalan di gang kecil dengan riang sambil sesekali bersandung kecil, plastik yang ada pada genggamannya saling bergesekan menimbulkan bunyi berisik yang tak terlalu menggganggu telinganya. Seperti hari-hari sebelumnya di bulan mei, hari ini langit begitu cerah, matahari duduk di atas cakrawala dengan menatap, menyinari bumi dengan angkuh. Semilir angin berdesir, bertiup ringan membuat beberapa daun yang sudah kering terlepas dari tangkainya, dan berterbangan mengikuti arah angin.
Tahu kalau sebentar lagi akan sampai pada tempat tujuannya, (namakamu) memperlambat langkahnya, semakin lama semakin pelan sampai akhirnya (namakamu) berhenti di balik dinding. Kepalanya sedikit menyembul untuk mengintip kosan sederhana, yang berada lima belas meter di hadapannya. Mata (namakamu) bergerak liar bak seorang detektif yang sedang menggencarkan rencannya. (Namakamu) menatap sekitar denga waspada, terutama pada kosan di ujung sana, untuk kesekian kalinya (namakamu) berharap kalau lelaki itu tidak ada sana. (Namakamu) menunduk, memandang arlojinya yang menunjukkan pukul tiga sore. (Namakamu) yakin seyakinnya kalau lelaki itu pasti tidak ada di dalam sana, lelai itu pasti berada di sebuah tempat, dengan tangan terkepal yang menghantam samsak berkali-kali.
Menghela napas, (namakamu) berjalan penuh hati-hati dengan pandangan yang masih tetap waspada. Dia tak ingin ketahuan oleh lelaki itu. Sebisa mungkin (namakamu) bertindak agar tidak ketahuan. Setelah hampir sepuluh menit berjalan mengendap-ngendap seperti maling, akhirnya (namakamu) tiba di depan pintu kosan itu. Tangannya langsung merayap ke gagang pintu lalu memutarnya. Terkunci. (Namakamu) mengangguk semangat, dan dugaan kalau lelaki itu sudah pergi latihan semakin besar. Kemudian (namakamu) menjejalkan tangannya ke dalam saku celana, mengambil kunci duplikat kosan ini, lalu setelah menemukannya, (namakamu) segera memasukannya ke dalam lubang kunci dan pintu terbuka.
Senyum (namakamu) mengembang, kakinya langsung melenggang masuk.
Jangan di tanya bagaimana (namakamu) bisa mendapatkkan kunci duplikat kosan milik Iqbaal ini. Ide gila itu terlaksanakan tiga bulan yang lalu, saat kelas sedang kosong karena kebetulan pagi itu mereka harus di jejalkan dengan pelajaran olahraga. (Namakamu) secara diam-diam masuk ke dalam kelas, memeriksa tas Iqbaal, dan menemukan dua buah kunci yang tergambung menjadi satu, tanpa banyak pikir karena memang (namakamu) tidak punya pikiran, (namakamu) langsung melepaskan satu kunci lalu keluar kelas sambil cekikian layaknya orang gila.
Dan sekarang, (namakamu) berada dalam kediaman Iqbaal dan selalu teringat dengan kejadian tiga bulan itu, yang selalu suses membuatnya tertawa geli.
(Namakamu) berjalan setengah berlari menuju kamar Iqbaal, dan segera menghempaskan tubuhnya asal-asalan ke tempat tidur lelaki itu. (Namakamu) membenamkan wajannya dalam-dalam di tempat tidur, menghirup aroma maskulin khas lelaki itu lalu tersenyum. (Namakamu) selalu membayangkan kalau saja Iqbaal tidak sedingin es batu dan tak terlalu mengasingkan yang namanya pertemanan, mungkin (namakamu) bisa lebih sedikit merasakan kebahagiaan karena lelaki itu. Dengan bagaimana membayangkan dirinya mengobrol dengan Iqbaal saja seperti hayalan yang sangat mustahil.
Setelah berlama-lama tiduran di tempat tidur Iqbaal, (namakamu) kemudian beranjak ke meja belajar lelaki itu, meraih buku tebal dengan sampul berwarna biru polos. Itu buku diary Iqbaal, dan tak pernah ada pun sedikit tulisan disana. Hah! Lelaki itu, selain pelit berbicara dengan sesamanya, dia juga tidak ingin mau membuang-buang waktunya untuk menulis kata-kata bodoh di dalam buku itu. Lantas, apa gunanya dia memiliki buku diary kalau tak di pergunakan?
Sambil mengembungkan pipinya, (namakamu) membuka lembaran pertama buku itu, dan....mata (namakamu) membelalak lebar, disana ada sebuah tulisan....yang...
'stupid'
Hanya itu. (Namakamu) menyipitkan matanya sebal, lalu membuka halaman terakhir buku itu. Disana ada beberapa kalimat yang (namakamu) tulis sebulan yang lalu. (Namakamu) tidak tahu apakah lelaki itu sudah membacanya atau tidak, yang jelas lelaki itu tetap membisu. (Namakamu) baru akan menekan tombol turn on pada CPU, saat sebuah suara mengerikan-langkah kaki-mengisi telinganya. Mata dan mulut (namakamu) terbuka lebar, jantungnya terpompa lima kali lebih cepat dari biasannya hingga (namakamu) bisa merasakan jantungnya akan meledak. (Namakamu) langsung beranjak, tangannya bergerak cepat, merapikan buku dan sprai tempat tidur yang berantakan, kepala (namakamu) tak henti-hentinya menengok ke arah luar kamar dengan hati-hati, setelah dia pastikan kalau kamar ini sudah tertata seperti semula, (namakamu) menyambar plastik yang dia bawah tadi dan langsung menjejalkan seluruh tubuhnya ke bawah kolong tempat tidur, (namakamu) memaki saat kepalanya terantuk kaki tempat tidur.
Lima detik berlalu sangat menegangkan.
Belum sempat (namakamu) bernapas legah, sebuah kaki yang (namakamu) yakini adalah milik Iqbaal berjalan masuk ke dalam kamar. Sebelumnya (namakamu) belum pernah mengalami hal yang seperti ini, yang (namakamu) tahu lelaki itu selalu pulang hampir menjelang malam, entah jam berapa (namakamu) tidak tahu, yang jelas ketika (namakamu) pulang dari kosan ini-jam 4-5-dia tak pernah menemukan Iqbaal, tapi sekarang, (namakamu) melirikk arloji di tangannya, dan mendapati jarum jam masih menunjukan pukul setengah empat. (Namakamu) menepuk keningnya pelan, merutuki kesialan hari ini; kecolongan start oleh Bella dan hampir ke geep Iqbaal.
"Perasaan tadi pintu udah gue kunci,"
(namakamu) menganga, bukan karena tindakan bodohnya yang lupa mengunci pintu atau telingannya yang mendengar Iqbaal bergumam tak jelas, melainkan saat sepasang matanya melihat jeans yang di kenakan Iqbaal sedikit demi sedikit mulai turun. Mulut (namakamu) semakin terbuka lebar saat jeans itu benar-benar terlepas dari tempatnya, di susul dengan kaos putih yang terjatuh di dekat jeans itu berada.
Bermacam-macam bayangan tolol sekarang mulai menyerang pikiran (namakamu), (namakamu) menggeleng saat sebuah ide sinting terlintas di kepalanya. Seperti ada setan biadab yang dengan sengaja mendorong kepalanya agar menyembul dari bawah tempat tidur, dan...sudahlah. Kemudian (namakamu) melihat kaki Iqbaal yang tanpa alas apapun itu berjalan ke arah kamar mandi, kepala (namakamu) terjatuh menyentuh lantai yang dingin, dan dia rasakan paru-parunya mulai bekerja dengan baik setelah itu.
(Namakamu) masih di kejutkan dengan kejadian beberapa menit yang lalu, meskipun tidak pro tapi tetap saja, isi dalam kepalanya yang kotor ini sudah melayang entah kemana-mana. Berselang beberapa menit kemudian, pipi kanan (namakamu) yang masih menyentuh lantai itu perlahan mulai terangkat, dan sekarang pandangan (namakamu) mengarah pada sepasang kaki yang berada di depan lemari pakaian. Tatapan (namakamu) melamun ke arah kaki putih bersih milik Iqbaal yang perlahan mulai tertutup dengan jeans, dan selanjutnya (namakamu) tidak tahu apa yang terjadi karena kalau dari sini, (namakamu) hanya bisa melihat kaki lelaki itu.
Suara ketukan dari luar membuat (namakamu) menolehkan wajahnya. (Namakamu) tahu kalau dia tidak bisa melihat siapa tamu yang datang, jadi dia mencibir dan detik berikutnya dia melihat kaki Iqbaal menghilang dari dalam kamar.
(Namakamu) bertanyan-tanya, kira-kira siapa yang datang mengunjungi Iqbaal? Seketika saja terlintas di kepala (namakamu) sosok gadis cantik bak Yoona SNSD berada di balik pintu tersebut, yang tak lain adalah gadis yang menyandang sebagai kekasih Iqbaal! Ya! Mungkin saja! Lelaki itu ternyata sudah punya kekasih, dia bersikap cuek selama ini karena tidak mau membuat kekasihnya sakit hati, dan tanpa sepengetahuan (namakamu)-Lo siapa (namakamu)? -__-"- ternyata Iqbaal sudah punya pacaaarrrr!!!! Memikirkan itu membuat (namakamu) ingin beranjak dari tempat bodoh ini lalu menghampiri mereka berdua dan mencakar-cakar waja gadis itu.
"....Mama ngapain sih kesini, udah aku bilang kan sama mama kalau aku baik-baik aja, mama nggak usah khawatir, nggak ada yang perlu di takuti, aku bisa jaga diri aku sendiri..." Suara itu terdengar bersamaan dengan langkah Iqbaal, yang sekarang lebih terdengar tergesah-gesah, dan langkah Iqbaal di susul oleh suara ketukan langkah sepatu beralas tinggi yang begitu kentara.
Mama? Memang sih, (namakamu) belum pernah melihat orang tua Iqbaal dan tidak terlalu memikirkan keberadaan calon mertuanya itu. (Namakamu) menyimpulkan kalau Iqbaal adalah lelaki yang mandiri atau sejenisnya lah. Intinya bagi (namakamu), Iqbaal adalah sosok lelaki yang perfect dimatanya. Akan tetapi saat mendengar nada bicara Iqbaal yang begitu ketus seakan tak pernah ingin mengharapkan sosok sang Mama membuat (namakamu) terdiam sejenak, lalu mengurangi satu persen dari kata 'Perfect' untuk Iqbaal.
"Kamu kok gitu sih, sayang, Mama kan jauh-jauh dari Bogor dateng kemari cuma mau ngeliat kamu," mama Iqbaal menjeda kalimatnya, (namakamu) yakin sekali wanita itu pasti sedang tersenyum pada Iqbaal sambil mengusap puncak kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Mama rindu sama kamu, meskipun kamu mengelak untuk mengatakan hal yang sama pada mama, mama yakin, di hati kamu yang paling dasar terselip hal yang serupa," suara mama Iqbaal sedikit bergetar, kemudian hening. Apa yang terjadi (namakamu) tidak tahu, mungkin saja mereka sedang berpelukan atau sang mama mengecup kening anaknya?
Sebenarnya mereka ini kenapa? (Namakamu) masih belum paham!
"Kamu masih belum bisa maafin mama? Papa?" Tanya mama Iqbaal tiba-tiba, ada jeda lama, mungkin wanita itu sedang menunggu jawaban dari Iqbaal. "Mama terima kalau kamu memang belum bisa maafin kami berdua, tapi satu hal yang harus kamu tau, sebenci apapun kamu sama kami, mama dan papa akan selalu tetap mencintai kamu sampai kapan pun itu,"
Hening. Tidak ada suara lagi setelah itu, berselang hampir setengah jam, (namakamu) mendengar suara berisik yang di hasilkan oleh plastik menarik perhatiannya, (namakamu) pikir itu miliknya, ternyata milik mama Iqbaal.
"Ini mama bawa makanan untuk kamu, dan perlengkapan lainnya. Mama susun ya?"
Tidak ada jawaban dari Iqbaal. Wanita itu segera beranjak dari posisi duduknya, dan melangkah ke dapur, mungkin untuk menyusun persediaan makanan di kulkas atau apalah itu, yang jelas setelah wanita itu pergi dari hadapan Iqbaal, (namakamu) melihat Iqbaal melangkah masuk ke dalam kamar, menutup pintu kemudian terdengar sebuah isakan yang tidak terlalu kentara. Hanya sekali, selebihnya (namakamu) tak mendengar apa-apa.
Bersambung...
@Aryaandaa.

My Stupid GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang