[5]

707 47 1
                                    

'My Stupid Girl' [5]
by Muhammad Aryanda.
-oOo-
Ini flashback-an (namakamu) tentang gimana caranya dia bisa tau mengenai masalalu Iqbaal.
*
Flashback
"....aku nggak bisa, Ma," penolakan itu di sertai dengan embusan napas lelah, seakan Iqbaal benar-benar sudah bosan mengatakan hal yang sama secara berkali-kali.
"Oke, kalau kamu nggak bisa, tapi gimana kalau kamu anter mama cuma sampai depan gang? Mudahkan?" Mamanya menawar, yang (namakamu) yakini pasti di iringi dengan senyuman pilu.
Sudah hampir lima jam (namakamu) terjebak di bawah kolong tempat tidur, mendengarkan pembicaraan mereka yang lebih banyak mamanya Iqbaal yang berbicara, bertanya tentang keseharian Iqbaal, yang di jawab malas oleh Iqbaal. Malah beberapa pertanyaan Iqbaal memilih diam, enggan menjawab. Menghela napas pendek, (namakamu) merasakan perutnya yang sedaritadi beradu dengan lantai yang dingin mulai bergemeru. Alarm perutnnya sudah berbunyi. (Namakamu) hanya bisa mengusap wajahnya menahan lelah, dia tidak bisa apa-apa lagi selain itu, dan mungkin hanya perlu berdoa kalau Iqbaal akan menerima tawaran sang mama.
Iqbaal mendesah sebelum menjawab. "Ya," singkat, seperti berbicara pada temannya.
Setelah itu (namakamu) mendengar derap langkah mereka menjauh, semakin tak terdengar hingga tiba waktunya (namakamu) mendengar suara pintu tertutup. Segera saja (namakamu) merayap seperti layaknya seekor spider wonder(?), menarik dirinya dengan susah payah dari kolong tempat tidur, dan setelah benar-benar yakin kalau tubuhnya sudah sepenuhnya keluar, (namakamu) menegakkan punggungnya, merenggangkan tangannya lebar-lebar bermaksud untuk merenggangkan otot-ototnya, yang selama beberapa jam terdiam seakan terbujur kaku.
(Namakamu) yang memang tak mau ketahuan oleh Iqbaal langsung berjalan menuju pintu utama, meraih saku celananya untuk mengambil kunci, lalu memasukkannya kelubang kunci dengan tangan gemetaran takut Iqbaal sudah kembali, dan pintu terbuka. Sebelum benar-benar keluar (namakamu) melemparkan pandangannya ke jam dinding yang menggantung, menunjukan pukul setengah delapan malam. Dengan sisa tenaga yang ada (namakamu) berlari menembus gelapnya sekitaran kosan Iqbaal. Ada untungnya karena keadaan disini lumayan gelap hanya bermandikan cahaya bulan, dan beberapa lampu teras yang bersinar redup.
(Namakamu) tiba di ujung gang, dan melihat Iqbaal dan mamanya ada disana. Mereka berpelukan lama, tapi Iqbaal hanya diam, seakan tak bermaksud membalas pelukan mamanya. Pandangan lelaki itu kosong ke depan, seperti melihat betapa bosannya hidup ini. (Namakamu) bersembunyi di balik pohon linden yang besar, mengintip secara hati-hati. Ketika mobil sedan berwarna hitam berhenti di dekat mereka, pelukan itu pun berakhir, wanita itu menyeka air mata yang mengalir di pipinya, tersenyum kepada Iqbaal, mengecup pipi lelaki itu dengan penuh kasih sayang sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. (Namakamu) meringis, melihat kepala mama Iqbaal menyembul hendak melambaikan tangan, tapi Iqbaal sudah lebih dulu berjalan pergi.
Iqbaal berjalan lurus layaknya sebuah robot yang sudah di atur.
Mata (namakamu) yang memang tidak bisa lepas dari pesona wajah Iqbaal hanya bisa melihat dari kejauhan, memandang lelaki pujaannya itu sambil meringis, dan satu keyakinan yang harus dia dapati malam ini adalah; 'masa lalu Iqbaal'
(Namakamu) berjalan cepat ke pinggir jalan, mengangkat tangannya ketika sebuah taksi melintas guna untuk menyetop benda biru itu. Udara malam begitu dingin, (namakamu) memeluk badannya sendiri saat masuk ke dalam taksi, lalu mengintruksi sang sopir supaya mengikuti mobil sedan yang ada di depan sana.
Selama perjalanan mengekori sedan mama Iqbaal, (namakamu) memaksa otaknya agar mendapatkan sebuah ide; apapun itu, bagaimana caranya dia supaya bisa berbicara pada mama Iqbaal, bertanya tentang masa lalu Iqbaal, dan apapun tentang Iqbaal. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, dan (namakamu) tidak akan menyia-nyiakannya. (Namakamu) juga mengingatkan pada sopir taksi itu supaya tidak terlalu dekat dengan sedan di depan sana, takutnya malah mengundang kecurigaan. Tiba saatnya ketika sedan di depan sana berhenti di pinggir jalan yang bersebelahan dengan mini market, ini seperti menemukan mutiara yang berceceran dan (namakamu) langsung memanfaatkan kesempatan itu dengan cara meraup seluruh mutiara; (namakamu) merasa beruntung karena mama Iqbaal berhenti disini, dan bersamaan dengan itu, sebuah ide melintas di kepala (namakamu).
"Pak, tunggu disini sebentar ya," kata (namakamu) pada sang sopir. Setelah mendapatkan anggukkan dari sopir taksi itu, (namakamu) segera melangkah menyusul calon mertuanya.
Berjalan sedikit tergesah-gesah ke arah mini market itu, (namakamu) sama sekali tak berniat masuk, karena dalam rencananya tak terselip bagian seperti itu. Dari luar, (namakamu) bisa melihat wanita yang notabenenya adalah mama Iqbaal sedang mengambil beberapa barang kemudian berjalan menuju taksi, tersenyum saat membayar lalu berlalu. (Namakamu) meraup udara banyak-banyak, tiba-tiba saja dia menjadi gugup, tapi itu tidak berlangsung lama. Ketika melihat tubuh mama Iqbaal keluar dari dalam, (namakamu) yang sejak tadi berdiri di sebelah pintu masuk langsung berjalan seakan tak melihat apapun, dengan akting kelas oscar (namakamu) terkejut dan berseru meminta maaf saat belanjaan yang di pegang calon mertuannya itu jatuh ke permukaan.
"Maaf," (namakamu) membungkuk mengambil bungkusan plastik besar tersebut. Kemudian menegakkan badannya untuk menyerahkan bungkusan tersebut, dan dia berakting lagi. "Tante....mamanya Iqbaal kan?" Dengan mimik wajah benar-benar tak menyangka kalau dia akan bertemu dengan mama Iqbaal.
Wanita itu lama memandang ke arah (namakamu), mencoba menggali isi kepalanya mencari-cari tahu apakah dia mengenal gadis ini? Dan tak menemukan apa-apa.
"Dari mana kamu tau?" Tanya mama Iqbaal seraya menerima bungkusan yang diberikan oleh (namakamu).
(Namakamu) tertawa kecil. "Aku temen sekolahnya Iqbaal, tante, namaku (namakamu)!"
Garis kebingungan langsung sirna dari wajah wanita itu. "Oh ya? Kamu temen sekolahnya Iqbaal? Gimana kamu tau kalau tante mamanya Iqbaal?"
(Namakamu) terenyuh, mungkin sudah lama sekali mama Iqbaal tidak melihat temen Iqbaal atau mengetahui siapa saja teman Iqbaal selama anaknya itu berpisah dengannya. Mungkin ini keberuntungan lain yang (namakamu) dapatkan.
"Iya, aku bahkan satu kelas sama Iqbaal. Iqbaal itu pinter banget loh, tante, dia juara kelas!" (Namakamu) berkata bangga, lalu melanjutkan kalimatnya yang sepertinya memang belum selesai. "Hmm, soal gimana aku tau kalau tante mamanya Iqbaal, aku pernah nggak sengaja nemu foto wanita yang mirip sama tante di tas Iqbaal," (namakamu) terpaksa bohong. Dia tak pernah melihat foto apapun di tas Iqbaal, bahkan di kamar lelaki itu tak ada satupun pajangan yang tertempel di dinding.
Senyum wanita itu merekah. "Gimana kalau kita ngobrolnya disitu?" Mama Iqbaal menunjuk ke arah taman kecil yang ada di dekat mini market. Tanpa pikir panjang (namakamu) langsung mengangguk menyetujui, dan berjalan mengekori calon mertuanya *GueUdahDipaksaSama(namakamu)SupayaNyebutMamanyaIqbaalJadiCalonMertua* -..-
"Mungkin pertanyaan tante sedikit aneh, kalau kamu nggak keberatan, sejauh mana kamu mengenal Iqbaal? Apa aja yang kamu tahu?" Tanya mama Iqbaal saat mereka berdua sudah duduk di kursi panjang yang ada di taman kecil tersebut.
"Banyaaaakkkk!!" (Namakamu) sampai merentangkan tangannya, membuat wanita yang duduk di sebelahnya tertawa pelan. "Iqbaal itu suka warna biru, tingginya 168 cm, beratnya 47kg, dia nggak suka sepak bola, tapi lumayan bisa main basket dan Iqbaal jago banget main badminton apalagi taekwondo. Hal yang enggak di sukai Iqbaal adalah perempuan, dia nggak suka perempuan karena menurut dia cewek-cewek yang ada di sekolah selalu ngeliatin dia, dan mungkin itu ngebuat Iqbaal risih. Iqbaal itu anaknya super cuek dan dingin banget tau, tante! Ngelebihi es yang ada di kulkas. Tante mungkin tau gimana cairin es itu?" (Namakamu) menjelaskan panjang lebar dan di akhiri sebuah pertanyaan.
"Kamu suka sama Iqbaal?" Bukannya menjawab, mama Iqbaal malah balik bertanya dan itu membuat (namakamu) salah tingkah, dan dalam hitungan detik saja pipi (namakamu) sudah merona, untung saja ini malam, jadi tidak terlalu terlihat.
(Namakamu) mengangguk tanpa beban. "Bukan cuma aku tante, banyak temen cewek di kelas yang suka sama Iqbaal! Mungkin kalau ada cowok yang cucok dikit mungkin bakalan suka sama Iqbaal! Terus ya tante beberapa waktu yang lalu ada kakak kelas yang nyatain cinta sama Iqbaal,"
"Diterima?" Mama Iqbaal menyela dengan mimik wajah yang begitu penasaran.
(Namakamu) tertawa. "Enggak! Dan aku seneng banget. Orangnya sok cantik gitu deh, tante,"
Entah apa yang di rasakan wanita ini ketika mendengar (namakamu) bercerita panjang mengenai anaknya, yang jelas wanita ini begitu senang karena ternyata banyak orang yang menyukai Iqbaal, dengan begitu berarti banyak juga yang perduli terhadap putranya itu.
"Oh ya, tante. Tante ngidam apaan sih waktu hamil Iqbaal? Kenapa anak tante bisa dingin begitu! Cuek banget! Kalau ngomong sama dia berasa ngomong sama tiang listrik!" (Namakamu) mengerucutkan bibirnya sebal. Mama Iqbaal lagi-lagi tersenyum namun kali ini sambil membelai bahu (namakamu).
"Iqbaal dulu enggak kayak gitu kok,"
(Namakamu) menahan napas, sepertinya babak untuk merekam seluruh percakapan ini di otaknya sudah dimulai.
"Dulu sewaktu Iqbaal masih kecil, tepatnya kelas satu SD, banyak kok temen-temen dia yang main ke rumah, mau itu cowok atau pun cewek tetangga. Iqbaal anaknya ramah dan baik, itu sebabnya dia punya banyak temen. Tapi itu dulu," mama Iqbaal menjeda ceritanya, bola mata hitam yang menyimpan akan ketenangan itu sepertinya dia wariskan pada Iqbaal. (Namakamu) bisa merasakan emosi ketenangan itu saat wanita ini memandangnya seraya tersenyum pilu, seakan dia baru saja membuka luka lama yang tak ingin di ingatnya. "Kejadian itu terjadi saat ulang tahun Iqbaal yang kedelapan tahun. Tante nggak pernah terpikir sedikit pun bahkan sampai saat ini tante masih belum bisa menerima kenyataan kalau tante sudah resmi berpisah sama papanya Iqbaal. Masalahnya sudah berlarut lama hanya saja kami berdua masih terus berusaha menyimpan masalah tersebut demi keutuhan keluarga, tapi pada satu waktu yang lama itu kami tak kunjung menemukan titik terang. Tante bercerai tepat di hari ulang tahun Iqbaal yang kedelapan," sekali lagi, wanita yang (namakamu) belum ketahui namanya ini menjeda ceritanya untuk mengusap beberapa titik air yang terdapat di sudut matanya.
"Sejak saat itu, tante bisa merasakan dan melihat perubahan sikap Iqbaal, dari dia yang nggak mau memilih salah satu dari kami dan lebih memilih tinggal bersama neneknya, sampai sikap ramah dan lembutnya yang menjadi tidak perduli pada siapapun. Tante merasa sudah gagal menjadi orang tua," mama Iqbaa mengakhiri ceritanya dengan senyuman pilu. "Oh ya, tante boleh kan minta nomor hape kamu? Kalau kamu nggak keberatan, tante mau kamu selalu ngawasi Iqbaal, kasih tau tante soal perkembangan dia." Tanpa di suruh pun (namakamu) akan melakukannya, secepat kilat (namakamu) mengangguk, lalu melafal nomor ponselnya agar di catat oleh wanita yang ternyata bernama Rifka.
"Berarti secara nggak langsung tante udah restuin aku sama Iqbaal kan?"
Mama Iqbaal tertawa kecil dan di susul oleh (namakamu). (Namakamu) hanya bercanda.
-Flashback Off-
"Salah kalau orang menilai jika cinta adalah kebahagiaan sesungguhnya, mungkin yang benar; Cinta adalah kebahagiaan yang menuju kesakitan. Tidak akan pernah ada akhir yang bahagia di dunia ini, akhir selalu menyedihkan dan menyakitkan. Dan kesakitan adalah akhir dari segalanya," Iqbaal tersenyum kecut. "Nggak ada gunanya menyalahkan kenyataan ini. Gue nggak tertarik dengan dunia ini, semenjak masa lalu itu mulai hilang," isi dalam kepala Iqbaal seperti teraduk, dan menemukan berkas yang tersimpan rapi di dalam sana, berkas yang menyimpan kenangan menyakitkan sepuluh tahun yang lalu.
(Namakamu) menghela napas pendek, melangkah satu langkah lalu duduk di ujung tempat tidur, memandang wajah kosong Iqbaal sambil tersenyum pilu. "Kalau yang lo maksud adalah perceraian kedua orang tua lo, gue nggak bisa ngebantu banyak. Karena kesakitan itu hanya diri lo sendiri yang bisa menyembuhkannya," sepasang bola mata Iqbaal langsung menusuk ke iris coklat mata (namakamu). Mulut Iqbaal nyaris ternganga. Dari mana gadis itu tahu soal..... "Lubang di hati seseorang akan terisi oleh orang lain yang berada di dekatnya, dan obat untuk hati yang terluka adalah sebuah kasih sayang. Yang perlu lo lakuin saat ini cuma mempercayakan orang-orang yang menyanyangi lo agar nggak melakukan hal yang sama seperti di masa lalu."
Detik itu juga wajah kedua orang tuanya terngiang di kepala Iqbaal.
"Lo nggak tau apa-apa," suara Iqbaal pelan seperti menepis gambaran kedua orang tuanya yang saat ini masih berusaha masuk lebih dalam ke kepalanya. "JANGAN BERTINGKAH SEOLAH-OLAH LO TAU SEGALANYA TENTANG GUE!!" Iqbaal berteriak marah, mengangkat wajahnya dan menghujami (namakamu) dengan tatapan penuh kebencian yang amat sangat.
Apa lagi yang harus (namakamu) lakukan agar Iqbaal memahami bagaimana (namakamu) benar-benar menyanyanginya? Perduli dengannya? Dan dalam hati (namakamu) yang paling terdalam terbesit sedikitnya harapan agar Iqbaal menghargai usahanya selama ini. Namun (namakamu) lebih memilih diam, tak membalas tatapan Iqbaal maupun ucapan lelaki itu, malah (namakamu) sekarang mencondongkan badannya ke arah meja kecil yang ada di sebelah tempat tidur Iqbaal, mengambil nampan serta beberapa obat yang masih ada disana.
"Dokter bilang sama gue kalau lo udah sadar, lo harus segera makan, terus minum obat," (namakamu) mengangkat botol kecil yang di dalamnya berisi beberapa kapsul, (namakamu) sengaja menggoyang-goyangkannya agar terdengar bunyi peraduan kapsul tersebut. "Lo harus minum obat ini juga, gunanya supaya menyembuhkan luka lo dari dalam, supaya lebih cepet, kalau yang ini," (namakamu) menunjukan obat-obat yang terkemas dalam plastik klip kecil. "Untuk demam lo yang belum redah," (namakamu) memberanikan diri untuk menyentuh kening Iqbaal dengan punggung tangannya, dan hasilnya masih sama seperti yang dia rasakan tadi pagi. Kemudian (namakamu) menyendok bubur yang masih hangat itu dan di arahkannya ke mulut Iqbaal.
Hanya butuh waktu dua detik bagi (namakamu) untuk melihat kejadian yang sama, kejadian dimana Iqbaal mengangkat tangannya untuk menghempaskan sendok yang hendak masuk ke mulutnya itu. Suara dentingan terbantingnya sendok itu di iringi dengan mangkok plastik yang menyusul ke lantai, nampan yang juga ikut terjatuh, dan parahnya Iqbaal merampas obat yang ada di tangan (namakamu), tanpa memikirkan bagaimana remuknya perasaan (namakamu) saat ini, Iqbaal menghempaskan obat-obat itu. Obat yang berada dalam botol itu berserakan di lantai, menghasilkan suara rintikan kecil.
Lima detik berlalu begitu menyakitkan, (namakamu) mengabaikan air matanya yang terus mengalir tanpa tahu kapan akan berhenti. Mengabaikan rasa sakit hati yang nyaris saja membuat (namakamu) menangis histeris saat Iqbaal beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi. Hal yang paling menyakitkan adalah saat dimana telapak kaki Iqbaal melintasi-menginjak bubur dan obat-obat yang berceceran di lantai tanpa berusaha sedikit pun untuk menghindarinya.
*
Malam yang hitam di hiasi oleh ribuan bintik-bintik bercahaya. Bulan separuh berdiri kokoh di atas bumi menggantikan mentari sejak beberapa jam yang lalu. Malam selalu identik dengan embusan angin yang dingin. Lenyapnya suara kicauan burung di gantikan dengan suara binatang malam.
(Namakamu) berjalan di pinggir trotoar dengan mata sembab akibat terus menangis, (namakamu) mengabaikan pandangan aneh orang-orang yang mengarah untuknya. Rasa sakit setengah jam yang lalu seperti tak tahu kapan akan sembuh. (Namakamu) lebih memilih jalan kaki daripada harus menunggangi taksi, dia tak ingin kembali ke rumah dalam kondisi kacau seperti ini. Tak akan terbayangkan bagaimana reaksi mama dan papanya.
Haruskah dia berhenti? Dan menghapus mimpinya untuk bisa masuk ke ruang spesial yang ada di hati Iqbaal? (Namakamu) mendesah dan menggeleng. Tidak, tidak akan, dia sudah melangkah sejauh ini, tak mungkin (namakamu) mundur begitu saja di saat rasa sakit yang dia rasakan jauh lebih menyakitkan dari pada perjuangannya selama ini. Satu tahun, dan sekarang hampir menginjak dua tahun, tidak mungkin (namakamu) membiarkan perjuangannya selama ini ibaratkan kertas tak terpakai yang harus di buang bila tak cukup untuk menulis lagi.
Ponsel yang ada di dalam saku (namakamu) bergetar, (namakamu) langsung meraihnya dan membuka pesan baru yang dikirim oleh mamanya.
'(namakamu), tolong beliin mama buku resep mknn yg sampulnya kyk yg mama tunjukan kmarn. Gausah nolak, di deket rmh gilang ada tuh toko buku!'
"Mama gue ya allah!" (Namakamu) menggeram kesal. Di saat seperti ini bisa-bisanya dia mendapatkan pesan seperti itu. Sungguh tidak tepat, mana mungkin (namakamu) masuk ke dalam toko buku dalam keadaan seperti ini. Ugh! Tapi, sudahlah.
(Namakamu) menggaruk tengkuknya malas, menghela napas pendek lalu memutar badannya menghadap jalanan yang di desaki oleh bermacam-macam kendaraan. Tangan (namakamu) terangkat setengah tiang ketika sebuah benda biru melaju di depannya. Taksi itu berhenti, dengan ogah-ogahan (namakamu) menyeret langkahnya menuju taksi tersebut. Dan taksi yang sekarang (namakamu) tunggangi melaju sederhana membelah keramaian malam, yang entah mengapa terasa hampa bagi (namakamu).
Selama perjalanan menuju toko buku mana saja, (namakamu) lebih banyak merenungi kejadian beberapa jam yang lalu. Iqbaal kejam, lelaki itu jahat, dan sangat tidak menghargai orang lain. Dalam titik ini (namakamu) merasa kalau harapannya hampir putus meskipun sudut hatinya berkata kalau dia tak boleh menyerah secepat ini, tapi, kegelisahan itu selalu datang mengharuskan dia untuk berhenti di titik ini. (Namakamu) mengigit bibir bawahnya, membayangkan hari-hari selanjutnya yang akan dia lalui kalau dia berhenti di tahap ini.
Pertama, dia tak akan pernah menunggu di depan gerbang sekolah lagi. Kedua, tak perlu membuat roti panggang. Ketiga, tak perlu berdebat dengan Bella. Keempat, tak usah mengkhawatirkan lelaki itu, sebisa mungkin mengabaikannya. Kelima, melempar kunci duplikat kosan lelaki itu. Keenam, sayang taksi sudah berhenti, (namakamu) tak akan bisa menyebutkan apa-apa saja aktivitas gilanya yang akan dia hentikan kalau dia berhenti mencintai lelaki itu.
"Makasih, neng," (namakamu) hanya mengangguk seraya tersenyum aneh. Tidak yakin kalau dia akan bersuara, (namakamu) yakin kalau suaranya akan terdengar seperti kodok.
Pelataran toko buku tidak begitu ramai, hanya ada beberapa kendaraan beroda dua dan dua mobil berbeda jenis yang terparkir di depan sana. Mobil jenis jepp dan lexus. Kedua mobil itu memilik warna yang sama; silver. (Namakamu) berjalan ogah-ogahan menuju toko buku berlantai dua itu, berharap dalam hati kalau malam ini pengunjung sedang tidak ramai.
Ketika (namakamu) masuk ke dalam toko buku itu, hal yang pertama kali (namakamu) lakukan adalah ke cermin yang ada di sudut ruangan. (Namakamu) berjalan menunduk, berusaha menghindari tatapan para pengunjun. Toko tidak terlalu ramai tapi tetap saja, di dalamnya ada orang juga, orang yang akan menoleh saat melihat makhluk aneh seperti (namakamu); pakaian sekolah yang lusuh, wajah berantakan, dan mata sembab. Untung saja barisan rak pertama dari kiri yang (namakamu) lalui tidak terlalu banyak orang, (namakamu) tiba di depan cermin dan segera mematut dirinya. Setelah itu berjalan ke rak buku bagian resep makanan.
Sepasang mata (namakamu) menangkap tulisan 'buku resep' di atas rak yang beberapa meter di hadapannya. Demi mempercepat semuanya, (namakamu) berjalan setengah berlari, mengabaikan orang-orang yang sedang memilah buku atau pun membaca menoleh ke arahnya dengan tatapan seolah 'berisik nyet!' Dan (namakamu) tidak perduli itu, dia hampir tiba di rak buku tersebut saat seseorang dengan kepala tertunduk melintas di hadapannya. Kejadian selanjutnya tidak perlu di jelaskan, (namakamu) yang sudah seperti orang sinting berjalan cepat-cepat di sebuah toko buku menabrak lelaki itu. Cukup keadaan dimana mereka saling menabrak saja yang memancing para pengunjung, tidak untuk bagaimana posisi (namakamu) yang menindih lelaki itu.
"Maaf," suara (namakamu) pelan dan nyaris tak terdengar, lalu dia beringsut dari atas tubuh lelaki itu hendak berdiri dengan kepala tertunduk. Malu.
"(Namakamu)?" Lelaki itu ternyata mengetahui namanya! Apakah mereka saling mengenal? Kalau iya, astaga kejadian memalukan barusan akan berlipat ganda.
(Namakamu) mengangkat wajahnya, mencoba memandang lelaki yang lebih tinggi darinya itu dengan rinci. Rambut hitam halus itu membingkai wajah apel lelaki itu, alis tidak terlalu tebal nan cekung itu terukir di atas mata yang sipit, hidung bertulang khas orang-orang eropa berdiri tegak di atas bibir tipis yang indah. Ah, (namakamu) bahkan mendeskripsikan wajah lelaki itu begitu detail, dan satu yang belum dia sebutkan; kacamata hitam berframe besar itu membingkai mata sipitnya. Mulut (namakamu) menganga, beberapa detik yang lalu dia baru sadar siapa yang ada di hadapannya ini.
Lelaki ini?
Kenapa dia disini?
Ah, disaat semua sedang kacau seperti ini?
Disaat (namakamu) sedang seperti ini? Kenapa bisa?
"Aku padahal mau ke rumah kamu setelah ini, tapi kita malah ketemu disini," kata lelaki itu. Lalu dia menunjukan buku yang tadi dia baca kepada (namakamu). "Kamu masih hobi bacakan?"
(Namakamu) mengangguk ambigu. Tunggu, ada yang ingin dia tanyakan. Sepertinya kesadaran belum sepenuhnya (namakamu) dapatkan.
"Kamu kapan balik dari jerman, Al?"
Yang di panggil Al-Aldi-hanya tertawa pelan seperti khas tawanya. Tawa itu tak berubah, seperti yang pernah (namakamu) lihat di masa lalu juga. Dan dunia rasanya seperti benar-benar kembali ke masa lalu, saat (namakamu) merasakan sebelah tangan Aldi terangkat, menyentuh puncak kepalanya dan dengan lembut mengacak-acak rambut (namakamu). Rasanya masih sama, sensasi ini seakan tak pernah hilang di makan waktu.
Bersambung...

@Aryaandaa.

My Stupid GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang