[13]

1.8K 55 4
                                    

'My Stupid Girl' [13]
by Muhammad Aryanda.
-oOo-

*
Lelaki yang Iqbaal tidak ketahui namanya siapa, membawanya kesebuah kediaman, yang Iqbaal sudah tahu siapa pemilik rumah itu. Iqbaal dan lelaki itu sedang menaiki anak tangga satu persatu, namun lelaki yang berjalan di belakangnya itu berkali-kali menolak punggung Iqbaal seolah menyuruh Iqbaal cepat. Sampai akhirnya mereka berdua tiba di depan pintu kamar, dan lelaki itu langsung membuka pintu kamar dan menolak Iqbaal masuk.
Suara pintu tertutup membuat gadis yang sedang menyenderkan punggungnya di tempat tidur dengan mata terpejam itu menoleh. Wajah pucat dan bibir kering itu menoleh ke arah Iqbaal, menatap Iqbaal dengan tatapan sarat akan kerinduan. Iqbaal balas memandang, menatap rinci gadis itu yang tengah di infus, dan yang membuat Iqbaal terkejut adalah saat gadis itu beranjak dari tempar tidur, berjalan lunglai menghampirinya dengan air mata yang membasahi pipi gadis itu membuat selang infus itu terlepas.
Sebuah pelukan langsung Iqbaal dapatkan dari gadis itu. Gadis itu memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya. Menangis sesegukkan di dadanya seolah mengadu, mengadu tentang kerinduan yang selama ini selalu bersemayam di hati gadis itu.
Kerinduan yang amat sangat.
"Maaf," kata itu terucap dari bibir Iqbaal layaknya bisikkan. "Maaf, (namakamu),"
Tidak ada perasaan lain saat ini selain nyeri di hatinya saat mendengar suara tangisan (namakamu) yang teredam di dadanya. (Namakamu) masih belum bersuara, tapi Iqbaal bisa merasakan pelukkan gadis itu kian mengencang, sedikit membuatnya kesulitan bernapas, namun tak masalah. Jika dengan begini bisa membuat keadaan (namakamu) membaik iu tidak akan menjadi masalah baginya.
Satu menit berlalu, akhirnya (namakamu) melepaskan pelukkannya. Mengangkat wajahnya untuk menatap lelaki yang sejak beberapa minggu yang lalu begitu dia rindukan. Kini, kerinduan itu sudah terbayar dengan hadirnya lelaki itu disini. Di dekatnya.
(Namakamu) mengerjap, menggerakkan tangannya ke wajah Iqbaal, merasakan ada sesuatu yang mengganjil di wajah lelaki itu. Warna biru keunguan itu lagi-lagi terlukis di wajah tampannya, apa Iqbaal berkelahi lagi? Dari pelipis, pandangan (namakamu) mengarah ke cuping hidung Iqbaal, ada noda merah disana, dan juga di sudut bibir lelaki itu.
"Kamu,"
"Aku nggak pa-pa," Iqbaal menyela ucapan (namakamu), menggenggam tangan dingin (namakamu) yang masih merayap di wajahnya sambil menatap haru ke wajah pucat gadis itu. Sebelah tangan Iqbaal yang bebas menyentuh bibir kering (namakamu). "Kamu baik-baik aja kan?" Pertanyaan ini akhirnya lepas dari tenggorokkan Iqbaal. Pertanyaan yang selama beberapa hari bersemayam di kepalanya.
(Namakamu) mengangguk. "Sekarang kita obatin luka-luka kamu," (namakamu) menjatuhkan tangannya, menarik pergelangan tangan Iqbaal dan menuntun lelaki itu ke tempat tidur, mendudukkan Iqbaal di ujung tempat tidur.
"Kamu mau apa?" Tanya Iqbaal yang melihat (namakamu) menarik laci nakas dan mengeluarkan kotak transparan berisi obat-obatan. "Aku nggak pa-pa," Iqbaal meyakini (namakamu).
Tapi sepertinya (namakamu) mengabaikan ucapan Iqbaal. (Namakamu) membuka kotak transparan itu mengeluarkan kapas dan betadine dengan gerakkan semangat tapi begitu menguras tenagannya. Mula-mula dia menggunakan kapas kosong untuk menyeka beberapa titik dari yang keluar, seperti di hidung dan sudut bibir. (Namakamu) mengusap luka-luka itu secara telaten dan hati-hati, berharap Iqbaal tak merasa kesakitan. Kemudian setelah itu, baru (namakamu) sedikit menuangkan betadine pada kapas dan kembali mengusap luka-luka itu. Kali ini terdengar suara ringisan kecil, membuat mata (namakamu) bergerak menatap ke dalam mata hitam itu, mata hitam yang ternyata sudah menatapnya sejak tadi.
Sepasang mata Iqbaal tak lepas memandang wajah pucat (namakamu), wajah pucat itu kali ini begitu dekat dengannya, wajah pucat yang saat ini penuh dengan kehati-hatian. Tangan (namakamu) bergerak pelan-pelan ke setiap luka memar yang lagi-lagi menghiasi wajahnya. Sesekali Iqbaal meringis dan membuat (namakamu) berhenti sebentar untuk menatapnya, tatapan yang seolah berkata 'jangan cengeng!'
"Aku bener-bener minta maaf soal kejadian malam itu," ucap Iqbaal tiba-tiba. Perkataannya membuat gerakkan (namakamu) terhenti, tapi kali ini Iqbaal bisa melihat tangan gadis itu bergetar. Iqbaal tahu kalau mengingatkan kejadian malam itu pada (namakamu) akan membuat gadis itu terluka, tapi Iqbaal hanya ingin minta maaf. "Kamu bener aku egois, aku cuma pentingi diri aku sendiri dan nggak pernah sedikit pun berusaha untuk melihat pengorbanan yang selama ini udah kamu lakuin untuk aku. Aku kekanak-kanakan, seharusnya aku harus lebih percaya sama kamu, seharusnya aku yakin kalau kamu nggak akan pernah ngelakuin hal buruk itu ke aku. Dan semua penyesalan terjadi setelah malam itu, membuat aku sadar kalau aku butuh kamu. Orang yang aku tahu sangat mencintai aku," ada sensasi aneh setelah kalimat panjang itu keluar dari mulut Iqbaal, sensasi yang begitu dahsyat yang membawanya pada puncak kalau dia sangat membutuhkan (namakamu), kalau dia tak ingin kehilangan (namakamu), kalau dia mengininkan (namakamu) selalu ada di setiap langkahnya, kalau dia begitu mencintai (namakamu).
"Setiap detik dan menitnya, hari-hari aku terasa sepi tanpa kehadiran kamu. Aku tau kalau kehidupan aku memang selalu kosong tanpa satu orang pun yang hadir, tapi selama kepergian kamu, aku lebih merasa kalau hidup aku bukan kosong lagi. Gelap yang pekat tanpa ada setitik pun cahaya," Iqbaal merasa kalau tangan (namakamu) sudah terjatuh dari wajahnya, gadis itu kini menatapnya dengan mata berbinar. Gadis itu hanya butuh pengakuan. "Aku sayang sama kamu, (namakamu), aku nggak mau kamu kenapa-napa, aku mau kamu baik-baik aja. Janji sama aku kalau kamu bakalan sembuh,"
(Namakamu) mengangguk, seolah menerima janji Iqbaal, tapi tiba-tiba saja (namakamu) terbatuk, dan dalam sekejap saja membuat Iqbaal panik. Iqbaal sedikit mencondongkan tubuhnya, meletakkan tangannya di bahu (namakamu) sambil memandang penuh kekhawatiran pada gadis itu.
"(Namakamu), kamu nggak pa-pa kan?!" Suara Iqbaal meninggi karena panik.
Secepatnya (namakamu) menggeleng, dan mengangkat wajahnya. "Aku nggak pa-pa. Aku cuma lagi seneng, seneng karena tau kalau kamu khawatir sama aku, seneng kalau kamu ternyata sayang sama aku," senyum terukir di wajah pucat (namakamu).
(Namakamu) mengerjap, seluruh dunia tiba-tiba saja seperti berputar dengan cepat membuat pandangan (namakamu) mendadak kabur, dan rasa pusing di kepalanya kembali menjalar, bersamaan dengan itu ada sakit yang amat luar biasa yang sekali lagi menghujam dadanya. Tangan kirinya (namakamu) gunakan untuk meremas dadanya, berharap dengan begitu rasa sakitnya akan hilang, namun nihil, rasa sakit di dadanya kian menjalar, mematikan hampir seluruh saraf di dalam tubuhnya.
"Apa yang sakit, (namakamu)?! Bilang sama aku dimana yang sakit?! Kamu udah janji kan sama aku bakalan sembuh! (Namakamu)!" bersamaan dengan kepanikan itu, tangan Iqbaal bergerak bingung entah kemana, sampai akhirnya dia merasakan tangan kanan (namakamu) mengganggamnnya.
(Namakamu) menggeleng. "Nggak pa-apa, kamu nggak perlu khawatir," meskipun penglihatan (namakamu) mulai redup, dia bisa melihat sorot kekhawatiran di wajah Iqbaal juga belum lepas. Kemudian (namakamu) menyenderkan punggungnya ke kepala tempat tidur, melepaskan genggaman tangannya. "Aku ada sesuatu untuk kamu," tangan (namakamu) bergerak menarik laci nakas, mengambil sebuah kertas yang sudah terlipat rapi dan menyerahkannya pada Iqbaal. "Jangan di buka, aku mau kamu buka kertas itu saat di perpisahan kelas tiga nanti, aku mau kamu baca isi kertas itu di depan banyak orang,"
Iqbaal yang memang sempat ingin membuka lipatan kertas itu mengurungkan niatnya, dia sedikit tersentak mendengar ucapan (namakamu). "Aku mau ngelakuin apa yang kamu suruh asal kamu ada disana," suara Iqbaal bergetar, wajah penuh kesakitan (namakamu) kini mendekat padanya, tangan dingin gadis itu merayap di bahunya. Iqbaal melihat (namakamu) mengangguk.
"Aku bakalan ada disana," janji (namakamu) lirih.
Sesuatu yang dingin nan kering itu mendarat di pipi Iqbaal, di susul dengan tangan (namakamu) yang kembali melingkar di lehernya, memeluk lehernya dengan erat, deru napas gadis itu begitu terasa menampar kulit lehernya yang telanjang. (Namakamu) kembali memeluknya, memeluknya seakan bersikap memang benar-benar menyanyanginya, benar-benar mencintainya, benar-benar tak mau kehilangan dirinya. Hati Iqbaal terenyuh, di balasnya pelukan (namakamu) secara perlahan, suhu dingin tubuh (namakamu) dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhnya membuat Iqbaal merasa sedikit takut, takut hal buruk akan terjadi.
Mata Iqbaal terpejam merasakan begitu nyamannya dunia ini saat (namakamu) memeluknya. Kenapa selama ini dia tidak pernah sadar kalau kebahagiaan sesungguhnya ada di dekatnya, kalau sesuatu yang bisa menghapus luka lamanya itu ada di dekatnya, dan semua itu ada pada (namakamu). Gadis yang entah saja kapan sangat dia butuhkan kehadirannya. Gadis yang dia cintai.
Ada yang tak mengganjil selama satu menit Iqbaal mendekap (namakamu). Gadis ini tak bergerak, tak terasa helaan napas lagi, bobot tubuh gadis ini menjadi begitu berat. Apa yang terjadi dengan gadis ini? Ketakutan mulai melanda pikiran Iqbaal. Iqbaal memejamkan matanya berusaha menenangkan dirinya, tangannya merayap ke pergelangan tangan (namakamu), dan tak menemukan denyut nadi disana. Air mata langsung lolos detik itu juga, ada yang terhempas dari dalam dirinya, sebagian raganya tiba-tiba saja seperti menghilang. Membuat tubuh Iqbaal lemas, dan semakin mengeratkan pelukannya pada (namakamu).
*
Waktu rasanya berlalu begitu lambat, pergerakkan jarum jam setiap detik seperti membawa luka yang mendalam, menyayat setiap hati siapa saja yang menangisi kepergian gadis itu. Waktu tetap terus berjalan dan hari-hari berikutnya masih harus di lalui, meskipun tanpa kehadiran gadis itu. Gadis yang selalu mengisi hari-hari setiap saudara, kerabat, teman atau siapapun yang di kenalnya dengan tingkah konyolnya, senyum tololnya dan tawa lebarnya sekarang sudah pergi. Semua itu hanya kenangan, kenangan indah tentang gadis itu yang hanya bisa tersimpan rapi di setiap kamar hati masing-masing orang.
*
Acara sudah berlangsung setengah, murid-murid kelas tiga yang malam ini layaknya tamu istimewa masih tetap duduk rapi di kursi paling depan-dibelakang kursi guru-guru dan Kepala Sekolah serta beberapa undangan-, menanti acara hiburan yang masih berlangsung. Di atas panggung berdiri seorang MC amatir berceloteh ria mencoba membuat lucu dengan menyelipkan setiap lelucon di setiap perkataannya, tak jarang para murid kelas tiga yang duduk paling depan itu tertawa, sementara kelas satu dan dua, yang duduk di kursi yang lumayan jauh dari panggung hanya bisa melengos. Mereka tak butuh lawakan itu. Mana hiburan selanjutnya!
"Penampilan berikutnya datang dari gabungan kelas dua IPA dan IPS, penampilan yang saya yakin bakalan heboh banget ini akan membuat para penonton terkesima!!" Suara MC itu semakin heboh, binar di matannya yang sarat akan kejutan membuat para penonton semakin menanti-nanti persembahan berikutnya. "Mari kita sambut! Bella, Celine, Tasya dan Vita!!"
Penonton berseru, lampu di stage mendadak padam, hanya menyorotkan khusus pada keempat gadis yang berdiri membelakangi penonton. Sedikit menggoyang-goyankan pinggul mereka secara serempak, alunan music Touch My Body dari Sistar menggema seseantero sekolah. Semua penonton kembali berseru, bertepuk tangan, meneriaki mana gadis yang menurut mereka paling menggoda di atas sana. Kebanyakan kaum adam yang menguasai segment ini, kaum hawa hanya menonton mencoba menikmati. Pertunjukkan berakhir dengan formasi ke empat gadis yang menatap penonton penuh percaya diri, merasa puas dengan apa yang sudah mereka tampilkan.
Tapi rasanya tidak dengan Bella, Bella hanya menunduk menahan sesak di dadanya, yang sejak beberapa menit lalu menggemeru ingin meloloskan air matanya. Bella masih tak percaya kalau rival abadinya yang selalu terlihat baik-baik saja pergi dan tak akan pernah kembali. Tepuk tangan penonton menyadarkan Bella dari singkat lamunannya. Seharusnya di antara penonton itu ada (namakamu), (namakamu) dengan wajah kesal yang menatap ke arahnya, tapi kenyataan mengatakan kalau (namakamu) sudah tiada.
Bella turun dari panggung di susul oleh ketiga temannya. Langkah Bella terhenti di anak tangga terakhir saat melihat Iqbaal berjalan hendak menaiki panggung. Lelaki itu tampak tak bergairah dengan mata merah karena mungkin saja tak berhenti menangis selama seminggu ini. Sampai akhirnya Bella merasakan tangan Iqbaal menyentuh pundaknya, menepuknya secara berkali-kali, baru setelah itu Iqbaal naik ke atas panggung.
Semua murid yang malam ini bertindak sebagai penonton langsung terdiam saat melihat seorang lelaki yang tak asing berdiri di atas panggung dengan gelagat aneh. Lelaki itu diam seakan tak tahu harus mulai dari mana. Sekarang giliran kaum hawa yang berdesis semangat, tentu saja mereka mengharapkan lelaki tampan itu memberikan pertunjukkan yang bisa membuat mereka nervous setengah mati.
Sebelum keheningan semakin panjang, Iqbaal memberanikan diri untuk mengucapkan sepatah kata. "Pertama-tama, saya ingin meminta maaf pada kalian semua, mungkin saja kehadiran saya di atas sini menganggu kalian, dan mungkin seharusnya saya tidak berdiri di panggung ini, tapi dari semua permasalahan itu, saya berdiri di atas sini hanya untuk menepati janji saya pada seorang gadis yang sangat saya sayangi, yang juga teman kalian," Iqbaal menjeda ucapannya, sedikit menengadahkan wajahnya agar air matanya tak kembali lolos. Semua murid sekarang sibuk berdesis, menanti-nanti apa yang akan Iqbaal lakukan di atas pangggung.
"Saya tahu kalau gadis itu sudah lama mencintai saya, setiap saat selalu mengusik hidup saya yang kosong ini. Menunggu kehadiran saya di gerbang sekolah, memberikan saya roti panggang setiap harinya, sudah menjadi rutinitas gadis itu. Dan itu membuat saya kesal dengannya, saya merasa dia gadis yang bodoh, yang selalu membuang-buang waktunya untuk saya. Tanpa saya sadari setiap apapun yang dia lakukan untuk saya sudah tersimpan di ruang khusus-di hati saya. Sampai suatu hari saya dan dia menjadi sepasang kekasih, entah apa yang saya pikirkan saat itu, yang jelas ada bagian terkecil di hati saya yang hampa dan menunjuk gadis itu sebagai pemiliknya.
"Tak sampai satu hari hubungan kami kandas karena sebuah kesalah pahaman, saya mengakhiri dengan sepihak, tanpa memikirkan perasaan gadis itu. Padahal malam itu, dia jauh-jauh datang ke kediaman saya hanya untuk menjelaskan kalau ada kesalah pahaman, namun saya yang egois ini tak mau mendengarkan. Dan untuk pertama kalinya saya melihat gadis itu berteriak marah kepada saya, mengatakan saya egois dan berbagai cacian lain, yang saya tahu sudah tersimpan rapi di hatinya agar tak keluar dari bibirnya. Tapi, saya tahu, meskipun dia berteriak seperti malam itu, dia tidak pernah membenci saya, dia hanya ingin saya tahu kalau dia sangat kecewa dengan tindakkan saya malam itu,"
Hening. Detik berganti menjadi menit, setelah merasakan dirinya akan baik-baik saja, Iqbaal mengeluarkan selembaran kertas yang terlipat di saku bajunya, mulai membuka lipatan itu dengan tangan gemetar. Membaca setiap kata yang di tulisakan oleh (namakamu) di kertas itu.
Tamat.
*
Epilog. *NgacoBangetPadahalKagakAdaProlog-_- tapi yasudahlah*
Ini malam saat (namakamu) di putusin sama Iqbaal.
*
(Namakamu) tidak tahu kapan suara tangis di kamarnya akan surut, tangis yang dia cipta sendiri sejak sejam yang lalu itu membuat dadanya sesak, terlebih saat tangis itu berangsur semakin lama membuat kepalanya berdenyut-denyut. Dengan posisi tangan terlipat di meja, (namakamu) menundukkan kepalanya dalam-dalam, berusaha sekuat mungkin untuk menghentikan tangisnya sendiri.
Bayangan saat lelaki itu mengakhiri hubungan mereka yang bahkan belum berlangsung selama satu hari itu membuat hati (namakamu) ngilu. Tangis (namakamu) kembali pecah. Kenapa lelaki itu tega melakukan ini padanya? Sebelumnya (namakamu) tidak pernah merasakan sakit seperti saat ini, walaupun berkali-kali lelaki itu menolaknya, (namakamu) tetap bisa menerimanya, namun sekarang rasanya semua berbeda. (Namakamu) tidak tahu kenapa semua menjadi berbeda, rasanya hati ini mendadak sensitif. Hati (namakamu) mengatakan kalau hanya lelak itu, tak ada yang lain. Hanya lelaki itu. Ya, lelaki yang telah membuatnya seperti ini.
Setelah (namakamu) rasa tangisnya mulai reda, tangannya bergerak untuk menarik laci meja belajarnya, mengambil sebuah buku dan bolpoin. Termenung selama hampir lima menit, akhirnya (namakamu) mulai menggoreskan tinta di kertas. Dengan tangan gemetar, dan sesekali rasa nyeri di dadanya meningkat, membuat beberapa titik air di sudut matanya keluar.
Bayangan wajah lelaki itu tampak jelas di kepala (namakamu), seiring dengan goresan kata-kata yang dibuatnya semakin menyakitkan untuk di tulis.
'Apa mendengar monolog sedih ini? rentetan kalimat yang menyalahkanmu, satu nama yang mendatangkan kesakitan saat aku menyebutnya; kamu
Saat ini aku melihat ke langit tanpa tujuan. Aku mencoba untuk menggambar wajahmu perlahan-lahan; bibirmu, matamu begitu indah hari ini. Aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak bisa melihatmu lagi.
Apa kamu mendengarkan hatiku?
Apa kamu melihat air mataku?
Apakah kamu tahu apa yang aku inginkan saat ini?
Apakah kamu tahu kesakitan yang kurasakan saat melihat punggungmu yang kian menjauh?
Airmata jatuh kemarin dan airmata jatuh lagi hari ini. Dengan kepala tertunduk, aku menatap bayanganmu. Cinta hadir tanpaku tahu. Tanpa alasan, kamu ada dihatiku-sendirian. Aku mengulang kata-kata ini sambil menangis.
Aku membutuhmu, kenapa kamu terus lari dariku? Mengapa kamu terus menjauh dariku? Tetap di sisiku, pegang tanganku, jika kamu mencintaiku.
Aku selalu memikirkanmu setiap detik, menit, jam, hari, bulan dan tahunnya. Bahkan jika ujung hatiku sakit seperti ini, bahkan jika ujung tanganku gemetar seperti ini. Aku hanya bisa memikirkanmu.
Kamu membuatku gila, kamu membuatku menangis, kamu dekat seolah-olah aku bisa mendapatkanmu, tapi ketika aku mencoba menggapaimu, kamu justru semakin menjauh seperti angin.
Cinta adalah apa yang kulakukan seorang diri. Cinta hanya daun air mata yang menakutkan. Cinta adalah kenangan bahagia kita layaknya batu berharga.
Bisakah aku memelukmu sekali saja? Dapatkah aku mengucapkan selamat tinggal untuk terkahir kalinya? Jangan lupakan kenangan yang penuh kasih, yang pernah kita buat. Kenangan bahagia itu.
Suatu hari nanti, ketika kita bertemu lagi. Mari kita tidak mengucapkan selamat tinggal.
Kamu harus mendengar kalimat yang hatiku ucapkan; aku mencintaimu, aku minta maaf. Tidak peduli berapa banyak aku mengatakannya.
Aku mencintaimu. Tak apa jika kamu tak mencintaiku. Jika aku hanya dapat menatapmu, itu tidak menjadi sebuah masalah.'
@Aryaandaa.

My Stupid GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang