'My Stupid Girl' [8]
by Muhammad Aryanda.
-oOo-
Berjalan dalam hening dengan tangan saling bertautan. Tak ada orang, Tak ada yang berbicara, tak ada topik yang muncul di kepala mereka, hening-sepi, hanya desiran angin yang bisa mereka rasakan, meniup-niup pelan ke arah mereka seakan sedang menggoda. Baik Iqbaal maupun (namakamu) hanya memandang lurus ke depan, sedikit terbesit di kepala mereka tentang kenyataan saat ini dan beberapa minggu yang lalu. Seperti melihat dua sisi magnet yang berbeda namun sekarang seperti berusaha menyatukan diri.
Beberapa langkah lagi koridor akan usai, kepala (namakamu) perlahan menunduk memandang tangannya dan tangan Iqbaal yang saling bersentuhan itu. Hati (namakamu) terenyuh, seperti ada yang dengan sengaja menggelitik membuat ujung bibir (namakamu) terangkat dan menghasilkan sebuah senyuman. Detik berikutnya (namakamu) merasakan Iqbaal mempererat genggamannya, lantas (namakamu) menolehkan wajahnya ke arah lelaki itu, yang ternyata sedang memandangnya sambil tersenyum menawan.
Mata itu indah, seperti biasanya. Dan senyum itu amat menawan. (Namakamu) rasa kalau dia sedang badmood, mungkin dengan mengingat bagaimana Iqbaal tersenyum detik ini, bisa memusnahkan kejelekan moodnya itu. Sejenis moodbooster.
*
Suasananya menjadi sangat aneh. Tidak seperti beberapa hari yang lalu. Rasanya berbeda, ada yang mengganjil, padahal semuanya akan menjadi baik-baik saja. Lalu apa yang salah? Apa yang aneh? Apa yang berbeda? Dimana hal yang mengganjil itu? Dan tentu semuanya menjadi baik-baik saja. « Ini akibat gak ada ide makanya paragrafnya aneh gini -__-
(Namakamu) mengetuk-ngetukkan jarinya ke kening secara berkali-kali, hal itu dia lakukan selama hampir lima menit. Ada yang tak beres dengan isi kepalanya. Iris mata coklatnya bergerak ke kanan lalu jatuh ke kiri, ke kanan lagi dan jatuh ke kiri, sebelah tangannya yang bebas dia gunakan untuk membuka halaman demi halaman. Menurutnya, posisinya begitu nyaman; duduk selonjoran di dinding kamar Iqbaal dengan novel karya Dan Brown-penulis favoritnya-berada di pangkuannya. Belum lagi menerima kenyataan kalau dia sekarang berada di kediaman Iqbaal. Lelaki idamannya yang sekarang sudah berstatus menjadi pacarnya, sial, padahal (namakamu) bermimpi-mimpi menjadi suami lelaki itu!
Fokus (namakamu) terganggu dengan sesuatu yang menekan-nekan keningnya. Mata (namakamu) yang mengarah ke bawah itu perlahan mulai bergerak ke depan, mencari tahu siapa yang dengan sengaja menekan-nekan keningnya.
Mata hitam indah itu berpendar seperti mencari tahu, kedua alis yang menyatu dan mulut sedikit terbuka membuat (namakamu) yakin kalau lelaki itu tengah melongo memandangnya. Mata (namakamu) bergerak semakin ke atas, menatap jari telunjuk dan jari tengah lelaki itu yang menekan telinganya. Dia sedang apa?
"Serius banget?" Tanya Iqbaal seraya menurunkan kedua jarinya, bukan, maksudnya bukan langsung turun, tetapi lelaki itu menurunkannya secara bertahap. Menyentuh hidung (namakamu), menekan-nekan hidung itu layaknya bel rumah, dan terakhir terjatuh di bibir (namakamu). Hei, apa yang dia lakukan? Tidak sadarkah tindakkannya membuat (namakamu) kesulitan bernapas? "Soal ciuman bodoh tadi, maaf,"
(Namakamu) melongo. "Eh?"
"Ya," Iqbaal mengangguk sambil mengulum senyum. "Aku baru baca salah satu artikel kalau cewek nggak suka di perlakukan sesuka hati, apalagi nggak sopan, dan menurut aku, tindakkan aku yang tadi sama sekali nggak sopan, tapi artikel lainnya mengungkapkan kalau cewek lebih suka mereka yang memulainya," mengangkat bahunya, Iqbaal kembali melanjutkan ucapannya yang belum sepenuhnya selesai. "Anytime, kiss me like you mean it,"
Apa? Apa yang lelaki itu katakan? Kenapa tiba-tiba (namakamu) merasakan wajahnya memanas? Terutama pipinya, rasanya aneh, nyeri dan berdenyut, seperti hendak terbakar. (Namakamu) tak bisa berkata apa-apa, dia cuma diam membisu, memandang tangan lelaki itu yang perlahan terjatuh ke bukunya, membalik ke halaman depan untuk melihat cover novel yang sedang (namakamu) baca.
"Dan Brown," Iqbaal mengucapkan nama si pengarang dengan sebelah alis terangkat. "Mungkin Agatha Christie," tambahan kalimat Iqbaal sejenis rekomendasi untuk (namakamu).
Agatha Christie? Rasanya nama itu tidak terlalu asing di ingatan (namakamu), kalau tidak salah dia pernah membaca salah satu karya wanita kelahiran inggris itu di perpustakaan kota.
(Namakamu) mengerjapkan matanya. "Udah selesai mandinya?" (Namakamu) sempat mendengar kalau Iqbaal mengatakan ingin mandi kepadanya lalu mengajaknya pergi ke tempat yang selama ini sangat (namakamu) nantikan. Tempat latihan Taekwondo Iqbaal.
Iqbaal mengangguk lalu melemparkan pandangan pada dirinya sendiri sekaligus menyuruh (namakamu) melihat kalau dirinya sudah berpakaian rapi, berbeda dengan sebelumnya yang masih mengenakan seragam sekolah. Kaos biru bermotif sederhana serta jeans hitam pudar melekat pada tubuhnya. Setelah itu, Iqbaal kembali menegakkan kepalanya, kembali memandang gadis, yang sekarang berstatus menjadi pacarnya ini dengan sikap memerhatikan. (Namakamu) mengenakan kaos putih berlengan, di tengah kaos itu ada gambar seorang gadis cantik yang tak Iqbaal ketahui namanya, tapi dengan sedikit lebih memahami kaos itu, Iqbaal melihat tulisan di bawah gadis yang ada di kaos (namakamu) bertulisn 'Kim Taeyeon' di susul dengan huruf hangul yang sama sekali tak Iqbaal mengerti. Jeans biru muda membalut kaki (namakamu).
Dua detik berlalu.
"Ayo," Iqbaal menarik pergelanan tangan (namakamu), gadis itu yang entah sejak kapan menunduk perlahan mengangkat wajahnya dan mengangguk.
"Belum sisiran," (namakamu) baru menyadari kalau rambut Iqbaal masih berantakkan. Lelaki itu mandi dan membawa pakain ke dalam kamar mandi? Lupa membawa sisir, hah? (Namakamu) ingin tertawa tapi tak bisa.
"Nggak pa-pa, ntar rapi sendiri,"
(Namakamu) mengangkat bahunya. Ya sudahalah. Kemudian merasakan pergelangan tangannya kembali di tarik oleh Iqbaal.
*
Siang ini tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin pula, matahari duduk di singgah sana dengan pongah. Sinar kekuningan yang di pancarkan oleh sang matahari tidak terlalu terik akibat kumpulan awan yang sedikit menutupi, tapi tak menghalangi sinar itu untuk memberikan penerangan bagi bumi. Suasana seperti inilah yang di nantikan banyak orang, keluar rumah di siang hari tanpa memperdulikan sinar matahari yang akan membakar kulit, di tambah sesekali tiupan angin bak sedang berada di pinggir pantai.
Sebuah taksi biru berhenti di depan gedung, yang di depannya terdapat pagar besi setinggi dua meter. Di dalam pagar itu ada halaman kecil yang di tumbuhi rumpunan hijau terawat, di tengah-tengah rumpun itu ada jalan selebar satu meter menuju pintu masuk gedung tersebut. Di sebelah kanan jalan itu ada sebuah patung mengenakan baju dobok lengkap dengan sabuk, bergaya sedang menendang, sementara di sebelah kirinya hanya di biarkan kosong, tapi entah mengapa sesaat menatapnya membuat hati begitu tentram. Di sebelah gedung itu ada sebuah bangunan kecil tanpa dinding, hanya ada atap saja, berjajar beberapa motor disana. Mungkin tempat parkir.
Pagar itu menggeser, menghasilkan bunyi decitan yang tak terlalu menganggu telinga. Kemudian tampak sosok Iqbaal dan (namakamu) melangkah masuk ke pelataran gedung tersebut.
(Namakamu) menghela napas pendek, menatap tangannya yang lagi-lagi bertautan dengan tangan Iqbaal. Kenapa? Sudut hatinya bertanya lagi, selalu seperti itu. Seolah ada yang salah dengan perlakuan Iqbaal terhadapnya. Padahal Iqbaal hanya menautkan tangan mereka bukan? Tidak terlalu masalah mengingat mereka adalah sepasang kekasih, kurang lebih tujuh jam yang lalu. Sekarang jam setengah empat. Sesampainya di depan pintu masuk, (namakamu) melihat Iqbaal menolak pintu yang terbuat dari kaca itu. Mereka masuk, dan di suguhi lorong panjang. (Namakamu) merasa langkahnya menggema di tempat ini.
Sebenarnya tadi mereka datang kemari ingin dengan motor, hanya saja, Iqbaal bilang kalau motornya berada di rumah neneknya. Mungkin Iqbaal nanti malam akan mengambilnya. Katanya dia ingin mengantar (namakamu) ke sekolah besok pagi.
"Kamu terus aja, aku mau ganti baju dulu,"
Iqbaal menghentikan langkahnya di depan pintu yang ada di lorong itu, di atasnya terdapat tulisan 'kamar ganti cowok', (namakamu) yang juga ikut berhenti menatap tulisan itu dengan kening berkerut. Kalau ada 'cowok' berarti ada kamar ganti cewek juga, bukan?
"(Namakamu)?" Panggil Iqbaal. Hei, sadar atau tidak sepertinya ini adalah pertama kalinya Iqbaal menyebut nama gadis itu. Kalau tidak salah sih. *soalnyaguelupa_-*
"Hm?" (Namakamu) mengangkat wajahnya.
"Kamu mau tetep disini atau mau masuk duluan?"
"Disini aja deh, emangnya mau ngapaian?" Kepala (namakamu) mengedar ke segala arah.
"Aku mau ganti baju," kata Iqbaal, tangan kanannya memukul pelan pintu yang ada di belakangnya.
"Oh," (namakamu) mengangguk-ngangguk. "Kalau kesana kemana?" Telunjuk (namakamu) menuding ke ujung lorong. (Namakamu) baru sadar kalau di ujung sana terdengar suara hentakkan yang begitu khas.
"Tempat anak-anak yang lain,"
"Yaudah, nanti nyusul ya?"
"Nggak usah di bilang aku juga bakalan kesana,"
"Oke," mengacungkan jempolnya, (namakamu) berjalan pelan ke arah ujung lorong. Suara-suara itu semakin terdengar jelas di telinganya, beberapa detik kemudian terdengar suara debaman.
*
(Namakamu) sudah lama ingin ke tempat ini, melihat Iqbaal dengan seragam doboknya memukul dan menerjang samsak hitam besar yang menggantung. Atau berbaris bersama para trainee yang lain, melakukan pemanasan yang serempak, dengan suara-suara hentakkan yang menggema. Dan mungkin, melihat mereka berkelahi satu sama lain. Yang terakhir tidak terlalu (namakamu) minati.
Ketika (namakamu) menembus lorong itu, ruangan yang ada di dalam sana membuat (namakamu) mengharuskan mengedarkan penglihatannya. Rasannya seperti berada di gimnasium sekolah-sekolah elit; lapangan lebar berlapis matras di kelilingi tempat duduk bertahap, semakin lama semakin tinggi. Tempat duduk penonton itu mengingatkan (namakamu) dengan trimbun penonton lapangan basket di dekat rumahnya. Setelah mata (namakamu) lepas dari tempat duduk yang meninggi itu, tatapannya terjatuh pada segerombolan lelaki yang mengenakan seragam dobok lengkap dengan sabuk. Sabuk mereka berbeda-beda, ada yang berwarna putih, kuning, hijau, biru, dan merah. Wajah dan sekitaran leher mereka tampak di hiasi dengan peluh, yang membuat (namakamu) bergidik. Di pinggir lapangan, ada empat orang pria duduk selonjoran sambil berbincang-bincang. Seperti tak ada yang menyadari kehadirannya.
"Emangnya berdiri aja nggak capek?" Sebuah suara dari belakang, yang (namakamu) yakini adalah suara Iqbaal membuatnya tersentak. Sekarang lelaki itu berdiri di sebelahnya, menarik pergelengan tangannya ke sudut lapangan.
"Mau kemana? Aku duduk di trimbun aja ya?" (Namakamu) mengernyit saat Iqbaal menolehkan wajahnya, memandangnya sambil tersenyum.
"Akhirnya kamu nyebut diri kamu dengan kata 'aku'" ucap Iqbaal, yang seolah menjawab kerutan di dahi (namakamu).
Ternyata lelaki ini menyadarinya.
"Duduk di trimbun sendiri. Mau ngapaian? Mending kamu duduk disini," Iqbaal menghentikan langkahnya, meletakkan tangannya di bahu (namakamu), dan dengan sekali gerakan dia membuat (namakamu) terduduk di kursi, yang ada di pinggir lapangan. "Ngeliatin aku," lanjutnya.
"SEONBAE!!!!" Teriakan itu berasal dari belakang Iqbaal, membuat (namakamu) sedikit memiringkan kepalanya untuk memandang jauh ke ujung sana. Segerombolan gadis berlari seperti orang gila menghampiri (namakamu) dan Iqbaal, bukan, tak ada kata dia seharusnya, melainkan hanya Iqbaal. Gadis-gadis itu berlari dengan mata binar yang menusuk ke arah Iqbaal, berlomba-lomba siapa yang lebih dulu sampai.
"Seonbae?" Tanya (namakamu) pada Iqbaal.
"Taekwondo berasal dari Korea bukan?"
(Namakamu) mengangkat bahunnya, tak tahu. Yang dia tahu seonbae adalah panggilan junior untuk senior.
"Cuma mereka yang panggil aku kayak gitu, sisanya paling senior atau Iqbaal,"
"K-popers," gerutu (namakamu).
"Kalau gitu udah bisa aku tinggalkan? Duduk sendirian disana nggak pa-pa kan?"
(Namakamu) mengangguk. Keributan yang di hasilkan oleh para gadis itu semakin dekat, dan gadis yang mengenakan sabuk warna hijau tiba lebih dulu, menarik tangan Iqbaal secara paksa agar masuk ke lapangan.
"Tunggu!" Gadis berkuncir dua yang mengenakan sabuk putih berteriak mengintruksi, menyuruh teman-temannya untuk tenang. Setelah melihat teman-temannya diam, gadis itu berjalan menghampiri Iqbaal yang tengah di seret-seret oleh gadis bersabuk hijau. "Dia siapa?" Tanyanya berbisik pada Iqbaal. Dia berbisik tapi bisa di dengar jelas oleh (namakamu). Payah!
Gadis-gadis yang lain, yang seolah baru sadar dengan kehadiran (namakamu) langsung berdesis-desis menggosip. Walaupun mereka tampak heboh dengan kehadiran (namakamu), tapi mereka tetap diam, tak ada yang menyuarakan suara mereka seperti sebelumnya, mereka sedang menunggu Iqbaal menjawab pertanyaann si kuncir dua.
"Pa..car," jawab Iqbaal kesusahan, bukan karena dia ragu dengan statusnya dengan (namakamu) melainkan tiba-tiba saja ada seseorang naik ke punggungnya, membuat Iqbaal kesusahan bernapas.
"APA?!!" Semuanya berkata serempak dengan ekspresi kaget yang serempak pula. (Namakamu) nyaris saja terjengkang dari posisi duduknya.
"Gue mau muntah,"
"Astaga, hatiku, sakit sekali,"
"Seonbae, ku pikir aku akan gila dalam waktu dekat,"
"Kepala ku sakit!"
"Aku mau pulang saja dan tak mau kembali,"
"Bukannya dia bilang dia akan pacaran kalau sudah kuliah?"
"Aduh, cewek itu emang cantik, tapi tetep aja, gue nggak bisa terima,"
"Seonbae sudah membohongi kami!"
"Bilang sama aku, kalau seonbae cuma bercanda!"
Dan sekarang semua gadis yang berjumlah sembilan orang itu secara bersamaan menarik seragam dobok Iqbaal, merengek sambil mengucapkan kata yang sama 'bilang kalau ini bohong' semuanya berkata seperti itu, membuat Iqbaal kelimpungan dan bingung harus membuat apa, terlebih (namakamu)yang hanya bisa duduk menyaksikan dengan wajah melongo.
Apakah dia dulu seperti itu? (Namakamu) bertanya pada dirinya sendiri.
"BERHENTI!" Teriak Iqbaal akhirnya, para gadis itu segera menghentikan aksinya. Iqbaal menghela napas pendek, menatap satu persatu anak didiknya itu yang memang selalu bertingkah ke kanak-kanakan. "Sekarang berbaris!" Perintahnya, masih dengan nada suara yang tegas. Mereka menurut dan membentuk dua barisan, salah satu barisan berisi lima orang.
Senyum (namakamu) mengembang. Melihat bagaimana para gadis yang tadinya sangat begitu semerautan dan sekarang berbaris tertib, seolah mereka benar-benar menghormati Iqbaal tak hanya menyukai lelaki ini karena parasnya yang tampan.
*
"Halo?" Sapaan yang keluar dari mulut (namakamu) terdengar sedikit canggung.
'(Namakamu), sekarang kamu dimana?' Tanya seseorang di seberang sana.
Sebelum menjawab, (namakamu) melirik ke arah pintu masuk, menatap waspada siapa tahu saja Iqbaal sudah selesai berganti seragam. Lelaki itu tadi menyuruhnya menunggu diluar, latihan sudah selesai lima belas menit yang lalu.
"Aku di rumah temen, Al," jawab (namakamu) akhirnya.
'Oh, aku nanti malem mau ngajak kamu makan malem di rumah aku. Mama sama papa aku yang ngundang kamu,'
"Aku harus dateng?" Entah dapat dari mana (namakamu) pertanyaan bodoh macam itu.
'Iya, kamu harus dateng. Selain makan malam itu, ada sesuatu yang mau aku bicarain sama kamu,'
Sesuatu apa? Jangan bilang kalau..
"Aku usahai ya,"
'Jam delapan aku jemput,'
Sambungan terputus. Aldi yang mematikannya. Oke, kalau sudah seperti ini apa yang sebaiknya harus (namakamu) lakukan? Tak ada salahnya kan kalau harus menerima ajakkan Aldi? Toh nanti malam di rumah dia tak ada kerjaan apapun, hanya saja, yang (namakamu) takuti adalah bagaimana kalau Aldi membahas soal kejadian beberapa tahun itu? Bagaimana cara (namakamu) mengatasinya. (Namakamu) menghirup udara banyak-banyak, sedikit memanjankan paru-parunya yang sepertinya akan meledak. Sosok Iqbaal tak lama muncul dari mulut pintu, dan berjalan menghampiri (namakamu).
"Ayo,"
Mengangguk, (namakamu) kembali merasakan jemari Iqbaal merayap di pergelangan tangannya. Punggung lelaki itu kian menjauh tapi tak pernah putus dari tatapannya. Karena(Namakamu) selalu berada di belakangnnya.
*
"Mau kemana?" Mama (namakamu) bertanya setengah kaget saat melihat (namakamu) keluar dari dalam kamar mengenakan gaun berwarna biru, sepatu hak yang di jinjing tangannya, rambut tergerai rapi serta wajah ber make up tipis.
"Kerumah Aldi," (namakamu) menjatuhkan sepatu haknya, menjejalkan kakinya secara paksa kedalam sana.
"Aldi?" Kening mamanya berkerut mengingat. Rasanya nama itu tidak asing di kepalannya. "Aldi pacar kamu sewaktu smp itu kan? Yang anaknya baik itu kan? Loh, bukannya kamu bilang dia ke jerman?" Niatnya bertanya iseng malah menjadi serius. Mama (namakamu) memang mengenal Aldi, karena dulu (namakamu) sering di antar pulang oleh Aldi, dan (namakamu) juga sering membangga-banggakan Aldi. Sebaliknya juga dengan Aldi, kedua orang tua Aldi sudah mengenal (namakamu).
"Iya," jawab (namakamu) entah untuk pertanyaan yang mana. Merasa kalau dirinya sudah mendekati perfect untuk malam ini, (namakamu) mendekati mamanya untuk bersalam lalu pamit pergi. Dia hanya perlu menunggu Aldi di depan rumah, (namakamu) yakin suara mesin motor Aldi, sebentar lagi akan terdengar.
Brum!
Dan benar, (namakamu) baru saja hendak menutup pintu rumahnya dan mendengar suara mesin motor di luar pagar rumahnya. Aldi. Tidak salah lagi. (Namakamu) mempercepat langkahnya, merutuki sepatu haknya yang ternyata malah mengganggu caranya berjalan. Padahal (namakamu) hanya ingin memakai benda pemberian Bagas ini karena mengingat dia tak pernah menyentuhnya.
Si badan besar itu memang menyebalkan, dia memberikan hadiah ini kepada (namakamu) saat (namakamu) berulang tahun. Padahalkan Bagas tahu sendiri kalau (namakamu) tidak pernah pakai sepatu berhak -..-
Aldi tersenyum saat melihat (namakamu) keluar dari dalam rumah, tapi tidak berkomentar. Mata lelaki itu hanya mengarah pada dirinya, menatap dirinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. (Namakamu) yang merasa risih buru-buru naik ke jok belakang, dan mencubit pinggang Aldi.
"Jalan! Cepetan!" Kata (namakamu), yang membuat Aldi terkekeh. Setelah itu (namakamu) merasakan motor ini mulai berjalan, meninggalkan jalanan di depan rumahnya yang tamaram.
*
Mama (namakamu) baru saja selesai merapikan meja makan yang tak di sentuh sedikit pun oleh (namakamu) dan suaminya yang ternyata harus pulang larut malam. Anak gadisnya itu entah darimana baru pulang pukul tujuh malam, pergi ke kamar sebentar dan tak lama keluar mengenakan gaun. Dan sedikit membuatnya terkejut karena ternyata (namakamu) mau pergi ke rumah Aldi. Seingatnya, Aldi adalah pacar (namakamu) saat smp.
Suara bel rumah yang berbunyi membuat mama (namakamu) beranjak dari sofa, yang baru dia duduki lima detik. Dengan perasaan jengkel setengah mati dia berjalan ke pintu utama. Mengira-ngira dalam hati mungkins aja itu (namakamu), yang pulang karena tak tahan mengenakan sepatu berhak. Memikirkan itu entah mengapa membuat mama (namakamu) tersenyum sendiri.
Pintu terbuka.
Bukan (namakamu), melainkan seorang lelaki.
"Permisi, tante, (namakamu)nya ada?" Tanya lelaki itu, yang mungkins saja teman sekolah (namakamu). Ya, lelaki itu mengenakan kemeja hitam lengkap serta jeans senada yang membalut kakinya.
"(Namakamu) baru aja pergi," jawab mama (namakam), dia kembali memerhatikan lelaki itu, awalnya dia tak terlalu respek dengan lelaki itu. Terlalu biasa. Tapi saat lelaki itu menyunggingkan secuil senyum, entah mengapa wajah datar tak bersahabat lelaki itu berubah begitu menawan. Manis. Pikirnya.
"Oh ya? kalau saya boleh tau kemana?"
"Pergi ke rumah pacarnya," jawab mama (namakamu) asal.
Seketika saja wajah lelaki itu berubah tanpa ekspresi.
"Kalau tante boleh tau, siapa ya?"
"Iqbaal. Temennya (namakamu)."
Mama (namakamu) mengangguk-ngangguk. "Oh,, yaudah nanti tante sampaikan kalau nak Iqbaal tadi kemari,"
Bersambung..
@Aryaandaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid Girl
Romance" Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping "