'My Stupid Girl' [11]
by Muhammad Aryanda.
-oOo-
Panggilan tersambung, hanya kurang dari enam detik bagi Iqbaal untuk mendengar suara gadis itu di speaker ponselnya.
"Halo?" Suara gadis itu untuk pertama kalinya kembali terdengar di telinganya paska kejadian beberapa hari yang lalu. Suara gadis itu memang sedikit berbeda, sedikit serak khas orang sakit.
"Halo? Ini siapa? Halo?!" Suara gadis itu sekarang meninggi, menahan kesal. Dan entah mengapa membuat Iqbaal tertawa pelan, di tambah lagi imajinasinya membayangkan wajah kesal gadis itu saat ini.
Sambungan terputus. Gadis itu yang mengakhiri, tapi entah mengapa Iqbaal tidak merasa kesal melainkan sekarang hatinya mulai tenang karena luka rindu di hatinya perlahan mulai terobati. Senyum Iqbaal perlahan mengembang.
*
"Ini obat apaan?" Difa bertanya pada (namakamu) saat gadis itu terlihat muncul dari balik pintu kamar mandi. (Namakamu) tadi memang sempat izin ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Di tangan Difa ada sebuah botol kecil berisi obat-obat berbentuk kapsul.
"Bukan apa-apa," jawab (namakamu) seraya mengambil botol kecil yang ada di tangan Difa, lalu menarik laci nakas dan menjatuhkannya disana. "Lo beneran cuma sendiri?"
Sepasang mata Difa yang masih mengarah pada laci nakas tiba-tiba mengerjap. "Eh?"
(Namakamu) menghela napas pendek, malas mengulang pertanyaannya. "Lo cuma sendiri?"
"Iya, Gilang bentar lagi dateng, tokonya lagi rame. Dia nggak bisa keluar,"
Orang tua Gilang memang memiliki sebuah toko kue, yang memang kalau malam minggu seperti ini selalu ramai di kunjungi pembeli. Jadi tak heran kalau Gilang nyaris menghabiskan malam minggunya hanya di toko saja. Malah tak jarang, (namakamu), Difa dan Bagas ikut membantu, tapi karena saat ini (namakamu) sedang sakit dan Bagas yang sedang pulang kampung, maka kebiasaan langka mereka itu tak bisa terlaksanaa. Rencannya malam ini Gilang dan Difa ingin 'main lagi' di rumah (namakamu). Hitung-hitung kumpul bareng sesama jones dari pada bikin macet jalanan.
Difa yang masih duduk di ujung tempat tidur dan sejak beberapa detik yang lalu hanya memperhatikan (namakamu) merasa kalau ada yang aneh dengan gadis itu. Selain wajah dan bibir (namakamu) yang bertambah pucat, Difa merasa kalau (namakamu) terlalu sering mengembuskan napas. Difa tidak tahu kenapa, yang jelas tingkah (namakamu) seperti itu membuatnya risih.
"Lo nggak pa-pa, (namakamu)?" Akhirnya Difa memberanikan bertanya. Dia menatap lebih rinci (namakamu) yang sekarang tengah duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan, sesekali gadis itu memijit pelipisnya.
(Namakamu) menggeleng. "Apa sih lo, sok khawatir gitu," senyum (namakamu) melebar, tapi itu malah kelihatan mengerikan, mengingat betapa pucatnya wajah gadis itu saat ini.
Beranjak dari posisinya, Difa berjalan ke arah (namakamu) dengan tatapan yang masih sama seperti beberapa detik yang lalu. Difa merasa memang ada yang aneh dengan (namakamu).
"Mending lo istirahat deh, (namakamu), gue rasa keadaan lo nambah parah, atau gue panggil mama lo aja?" Usul Difa yang langsung mendapatkan gelengan dari (namakamu).
"Gue nggak pa-pa, pea,"
"Tapi muka lo pucet, (namakamu), dan," Difa menjeda untuk meletakkan punggung tangannya ke kening (namakamu). "Suhu badan lo meningkat," suara Difa meninggi bersamaan dengan kekhawatiran yang saat ini mengusai dirinya. "Lo tidur aja ya? Ntar gue bilang sama Gilang kalau acara gak jelas kita ini di batalin," Difa memberanikan untuk menatap ke dalam mata coklat (namakamu) yang dia rasa semakin lama semakin redup.
(Namakamu) mengerjap. "Jangan, kasian Gilang, dia kan pengen sesekali malam minggunya nggak di toko terus," tolak (namakamu). Detik itu juga rasanya tenggorokkan (namakamu) mengecil. "Fa, tolong ambilin minum," pintahan itu keluar dengan susah payah dari mulut (namakamu).
Difa mengangguk cepat, lalu berjalan menuju dispenser yang ada di kamar (namakamu), mengambil segelas air untuk (namakamu), dan kembali hanya dalam waktu tak sampai dari satu menit. (Namakamu) menerima gelas berisi air itu dengan senyum kaku lalu cepat-cepat meminumnya, setelah itu rasanya tenggorokan (namakamu) jauh lebih baik.
"Makasih," kata (namakamu) selesai menegguk habis air dalam gelas sampai tidak tersisa.
*
Sejam kemudian, tepatnya saat jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Gilang datang membawa dua bungkusan plastik, dengan wajah kesal sambil merepet tak jelas. (Namakamu) dan Difa yang sejak sejam lalu hanya menghabiskan waktu menunggu Gilang dengan duduk di sofa sambil diringi obrolan ringan hanya bisa melongo melihat kehadiran Gilang. Gilang melempar dua bungkusan plastik itu ke arah (namakamu) dan Difa, baru kemudian dia melanjutkan ocehannya tentang kesialannya malam ini.
Mama dan Papa Gilang ternyata pergi saat itu juga, saat toko mereka sedang ramai. Gilang pikir kedua orang tuanya akan ikut serta, ternyata Gilang di biarkan mengurus toko sendiri bersama dua orang pegawai, yang tololnya melebihi mr bean. Bagaimana mungkin bisa mereka mengobrol di saat pengunjung sedang ramai? Atau suara ponsel mereka yang tak henti-hentinya berteriak. Belum lagi salah satu dari pegawai itu meminta pada Gilang untuk izin pulang cepat karena 'kekasih-tercintakhnya' sudah menunggu di depan toko. Gilang kesal setengah mati sampai akhirnya dia mendengar derum mesin mobil papannya di depan toko, tanpa banyak tingkah Gilang langsung menghambur pergi, mengabaikan teriakan mamanya yang sudah seperti tukang parkir.
"Lo nggak boleh gitu, mereka kan orang tua lo," Difa menasehati dengan nada mengejek.
Gilang yang sudah kesal semakin kesal mendengar ucapan Difa, yang jelas mengejeknya. "Diem lo!" Sembur Gilang sambil melempar bantal ke wajah Difa, dan dengan sigap Difa mengelak.
"Lagian ya, kerjaan lo itu cuma seminggu sekali,"
Gilang mengusap wajahnya, Difa memang benar-benar tak berniat damai dengannya. "Emang sih cuma seminggu sekali! Tapi kena harus di malem minggu?!"
Mendengar ucapan Gilang lantas saja membuat kening Difa berkerut. "Lo sadar nggak sih? Lo itu jomblo, jadi mau malem senin, jumat atau pun minggu sama aja. Nggak ada bedanya!"
Gilang melongo. Detik berikutnya terdengar tawa (namakamu) dan di susul oleh Difa.
*
(Namakamu) hanya bisa menatap kedua sahabatnya yang berada di balkon dari dalam kamar. (Namakamu) duduk di ujung tempat tidur sambil menghadap keluar. Dia tak sanggup berada terlalu lama di balkon itu karena angin malam yang begitu dingin dengan cepat membuat tubuhnya mengigil. (Namakamu) pikir isi dari bungkusan yang di bawa Gillang adalah roti, ternyata bukan, isi melainkan petasan yang entah dia beli dari mana. Padahalkan ramadhan masih sebulan lagi. Tapi sudahlah itu tidak penting. Dari sini (namakamu) bisa melihat kedua sahabatnya itu bermain petasan, mereka silih bergantian memegang petasan yang panjangnya hanya 30 centi, tapi tak jarang keduanya bertengkar, kebanyakan karena Gilang yang mengusuli Difa. Salah satunya, dengan sengaja lelaki yang memiliki gingsul itu menyalakan petasan yang bentuknya hanya sejari kelingking secara diam-diam, kemudian Gilang menghampiri (namakamu), dan tak lama terdengar suara ledakkan, yang membuat Difa merepet karena terkejut selama satu menit.
Langit hitam tanpa bulan dan bintang itu kini di hiasi dengan warna petasan. Dan tentu saja bau asap petasan itu membuat hidung mereka bertiga gatal ingin bersin.
Malam ini (namakamu) merasakan kalau dia kembali menjalani hidupnya seperti dulu meskipun tanpa kehadiran Bagas. Tapi tetap saja waktu berlalu begitu cepat dan melenyapkan suasana bahagia ini, kesadaran membawa (namakamu) tentang kenyataan saat ini, tentang kenyataan kalau dia merindukan lelaki itu.
Sekitar pukul satu dini hari, (namakamu) terbangun dari tidurnya. (Namakamu) yakin dia tidak sedang mimpi buruk melainkan ada hal lain yang membangunkannya. (Namakamu) mengerjap, berusaha bangun dari posisi tidurnya untuk mengambil segelas air, tenggorokkannya terasa sakit, rasa pusing di kepalanya juga semakin menjadi-jadi. Langkah lunglai (namakamu) akhirnya membawanya sampai di depan dispenser dan buru-buru menegguk segelas air. Tenggorokkannya membaik tapi tidak dengan denyut di kepalanya.
Menghela napas pendek, (namakamu) memutar badannya berniat kembali ke tempat tidur, sesekali dia memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing, tapi nihil, itu tidak berhasil. Ketika (namakamu) ingin membaringkan tubuhnya di tempat tidur, suara dering yang di hasilkan oleh ponselnya menarik perhatian (namakamu). Siapa yang menghubunginya tengah malam seperti ini? Difa? Gilang? Atau Bagas? Kalau memang mereka sangatlah tidak lucu kalau semisalnya (namakamu) terima panggilan itu, dan mendengar ucapan salah satu dari mereka mengatakan 'selamat malam'. Hal itu pernah (namakamu) lakukan pada mereka bertiga, saat semalam dia terjaga dan butuh teman. Tapi itu sudah lama sekali.
Ponsel (namakamu) masih berdering, yang empunya hanya memandang tanpa ada niat untuk meraih ponsel itu hingga tiba saatnya suara berisik itu tak terdengar lagi. (Namakamu) bernapas lega, dan segera membaringkan tubuhnya, tapi belum sempat matanya terpejam, ponselnya kembali berdering. Dengan kesal (namakamu) meraih ponsel itu, tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang menelponnya malam-malam begini.
"Difa? Bagas? Gilang? Sumpah ya, ini nggak lucu, lo bertiga tau kan gue lagi sakit, jadi please jangan ganggu gue malem-malem kayak gini. Kepala gue sakit!" (Namakamu) berteriak lirih, rasanya dia ingin menangis, terlebih saat seseorang di seberang sana hanya diam membisu. Kemudian (namakamu) menatap layar ponselnya, melihat hanya sebuah nomor yang menelponnya membuat kening (namakamu) berkerut. Apa mungkin ini sang penelpon tadi siang? Atau ini teror? Ah! Apapun itu tindakkan sang penelpon sangat mengganggu (namakamu). Ketika (namakamu) menatap kembali ke layar ponsel, panggilan sudah berakhir.
*
Ada perasaan yang tak bisa di jelaskan setiap kali Iqbaal mengingat tentang gadis itu. Antara ingin melihat dan takut tercampur menjadi satu. Sungguh, Iqbaal sangat ingin melihat keadaan gadis itu, bagaimana kondisi gadis itu, apakah gadis itu membaik atau malah semakin buruk. Dan ketakutan yang melanda dirinya saat ini adalah ketika menatap mata gadis itu; Iqbaal seperti melihat dengan jelas bagaimana kejadian beberapa hari yang lalu, kejadian yang sesungguhnya sangat membuatnya menyesal karena telah memberi luka pada gadis itu.
Iqbaal tahu tingkahnya selama ini selalu memberikan luka pada gadis itu, sadar atau tidak sadar dia melakukannya, yang jelas detik ini Iqbaal merasakan penyesalan yang begitu mendalam. Jadi, apa yang harus dia perbuat saat ini? Apa? Mendengar suara gadis itu beberapa menit yang lalu memang membuatnya sempat tersenyum lega karena rasa rindu di hatinya sedikit terkikis, namun di balik itu semua seperti ada luka lain yang tergores di hatinya saat mendengar suara lirih penuh kesakitan yang keluar dari mulut gadis itu.
Gadis itu baik-baik saja kan?
Apa perlu Iqbaal menengok keadaan gadis itu besok? Atau malam ini juga seperti yang pernah gadis itu lakukan untuknya?
Dan jawabannya tidak. Iqbaal tidak mendapatkan keberanian untuk mendatangi rumah gadis itu, detik ini atau pun keesokan harinya. Iqbaal hanya duduk diam di rumah sambil merenungi setiap kesalahannya pada gadis itu, yang tanpa dia sadari juga menimbulkan luka di hatinya dengan cara yang berbeda.
*
Hari ini adalah hari pertama ujian, (namakamu) merasa kalau dia masih sanggup untuk berdiri ataupun hanya sekedar melangkah. (Namakamu) di antar oleh papanya ke sekolah. Tidak seperti biasanya, mamanya yang menyuruh papanya untuk mengantarnya. Beberapa jam belakangan, sifat mamanya kepadanya menjadi sangat posesif. Mamanya bahkan menyarankan (namakamu) tidak mengikuti ujian, melainkan ujian susulan saja, tapi (namakamu) menolak. Dia mengatakan pada mamanya kalau tidak enak kalau mengerjakan soal ujian seorang diri, tidak bisa menyontek.
Walaupun langit malam selalu tanpa bulan dan bintang, tapi hari ini langit cerah seperti hari-hari sebelumnnya. (Namakamu) turun dari mobil, dan tak lupa untuk menyalim papanya sebelum benar-benar masuk ke sekolah. Langkah (namakamu) seperti terpaksa berhenti saat kakinya menginjak dataran gerbang sekolah. Hati dan logikannya berteriak. Sesuatu di masa lalu itu memaksanya untuk tetap berdiri disini, menunggu lelaki itu. (Namakamu) diam selama beberapa saat, isi kepalanya seperti teraduk membuat kepalanya kembali berdenyut, tiba-tiba saja seseorang dari belakang meraih pergelengan tangannya, dan menariknya masuk ke dalam.
"Sori, beberapa hari yang lalu gue nggak bisa ngeliat lo. Gimana keadaan lo sekarang? Mendingan?"
Ada sedikit rasa kesal dalam hati (namakamu) saat mengetahui yang menarik pergelangan tangannya bukanlah lelaki itu, melainkan Bagas. Tapi secepatnya kekesalan itu menghilang saat melihat Bagas tersenyum ke arahnya. Lelaki ini sudah tidak marah kan?
"Mendingan," (namakamu) berbohong, jelas sekali sampai detik ini dia merasakan tubuhnya begitu lemas, kepalanya sangat pusing dan sesekali kenyerian itu menampar dadanya.
"Syukur kalau gitu. Ngomong-ngomong lo ujian di ruang berapa? Gue harap gue satu ruangan sama lo, sumpah semalem gue nggak sempet buka buku! Pulang dari Sumedang gue langsung tepar! Capek banget!" Cerocos Bagas ketika mereka berdua sudah menginjak koridor. Koridor ramai, murid-murid masi berlalu-lalang, sebagian duduk sambil membaca buku.
(Namakamu) mengangkat bahunya. "Gue nggak tau, mama gue yang ngambil kartu ujian gue. Nggak sempet liat ruangannya,"
"Jadi lo nggak bawa kartu ujian lo?" Tanya Bagas kaget.
"Lupa," jawab (namakamu) asal.
Pandangan (namakamu) mengedar ke segala arah, mencari-cari sosok Gilang maupun Difa yang mungkin saja sudah datang lebih dulu. (Namakamu) merasakan kalau jemari Bagas masih menggenggam pergelangan tangannya. Tak masalah, mereka sering melakukan itu. (Namakamu) menghela napas pendek, dia hanya perlu berjalan ke kantor guru untuk menanyakan ruangannya pada Bu Indry selaku wali kelas. Detik itu juga (namakamu) merasakan seseorang muncul dari belakang, melintasi dia dan Bagas. Sesaat (namakamu) merasakan dunia seperti berhenti berputar, tapi entah mengapa lelaki itu terus berjalan tak berusaha berhenti kian menjauh. Ada sesak yang hinggap di dada (namakamu) saat ini, sesak yang lebih nyeri saat menyadari bahwa lelaki itu benar-benar mengabaikannya. Tidak peduli sama sekali.
*
Ada yang berdegup kian cepat di dalam sana, semakin cepat seiring terekamnnya kejadian beberapa detik yang lalu itu di kepalanya.
Memori kepala Iqbaal masih ingat betul bagaimana saat jemari lelaki itu merayap di pergelangan gadis itu lalu menariknya. Ada yang aneh, sesuatu yang begitu panas di dalam sana menjalar semakin cepat layaknya kobaran api. Iqbaal belum pernah merasakan hal seperti ini. Baiklah, biar Iqbaal perjelas, sebelumnya Iqbaal juga belum pernah merasakan kehilangan yang seperti 'itu', kehilangan saat gadis itu benar-benar lenyap dari hidupnya. Dan detik ini, dia merasakan sensasi baru, yaitu...cemburu. Begitukah? Orang-orang sering menyebutnya seperti itu, dan ini kali pertamanya Iqbaal merasakan kecemburuan yang amat sangat.
Langkah Iqbaal semakin cepat menuju sekolah, sebisa mungkin dia melangkah sesantai mungkin seperti biasanya. Tapi berkali-kali kepalanya terangkat, menatap kecut dua insan manusia di depan sana. Bagaimana mungkin bisa mereka berjalan sambil berpegangan tangan di keramaian seperti ini? Apa maksudnya? Dasar sinting. Atau mereka sudah menjadi sepasang kekasih? Tidak mungkin! Iqbaal sangat yakin, gadis yang berjalan di sebelah Bagas masih sangat mencintainya. Iqbaal Entah dapat darimana pemikiran seperti itu, yang jelas sedikit memikirkan itu membuat moodnya sedikit membaik. Hanya sedikit.
Rahang Iqbaal mengeras bersamaan dengan terkepalnya kedua tangannya di sisi tubuh. Dia sudah tidak tahan melihat pemandangan di depannya, lebih baik dia mempercepat langkahnya, meninggalkan kedua insan berbeda jenis itu sebelum emosinya memuncak, membuat dia berpikiran untuk mematahkan tangan lelaki itu.
Ketika Iqbaal benar-benar melintasi kedua manusia di depannya, rasanya seperti ada medan magnet yang berlawanan di depan sana, memaksa tubuhnya memutar balik untuk meraih pergelangan tangan gadis itu, menarik gadis itu agar ikut melangkah bersamanya. Akan tetapi, sekuat tenaga Iqbaal tidak melakukan itu. Ada apa dengan dirinya sebenarnya? Bukankah dia ingin menatap langsung gadis itu? Bertemu dengan gadis itu? Jadi, kenapa dia harus menghindar dari gadis itu? Sebagian tubuh Iqbaal memberontak agar dia berbalik menghampiri gadis itu, tapi rasa gengsi sudah membawanya masuk ke kelas dimana dia akan menjalankan ujian.
Ruang tujuh, entah ini kebetulan atau tidak, Iqbaal juga duduk di meja yang di atasnya tersemat kertas bertulisan nomor tujuh.
*
(Namakamu) menghela napas pendek. Setelah pergi ke kantor guru untuk menjumpai wali kelasnya, (namakamu) segera berjalan cepat menuju ruangannya. Kantor guru lumayan jauh, jadi cukup untuk membuat kaki (namakamu) menjadi keram untuk mencapai ruang tujuh. Gara-gara kejadian 'tadi' kepala (namakamu) menjadi sangat berat, lebih berat dari saat dia berangkat sekolah. (Namakamu) berhenti di ambang pintu kelas, sedikit membungkuk untuk menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Entahlah, akhir-akhir ini (namakamu) merasakan paru-parunya seperti membutuhkan banyak pasokan udara. Baru setelah itu (namakamu) melangkah masuk. Lumayan kesal saat mengingat kalau dia duduk di meja nomor enam. Itu berarti dia duduk di meja paling depan! Astaga!
Bersambung...
@Aryaandaa

KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid Girl
Roman d'amour" Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping "