'My Stupid Girl' [4]
by Muhammad Aryanda.
-OoO-
"Ini jaket buat lo,"
Gadis ini lagi. Begitu kira-kira ekspresi wajah Iqbaal saat ini. Dia memandang gadis yang tengah menyodorkan sebuah jamper abu-abu lengkap dengan pelindung kepala sambil tersenyum. Kemudian mata Iqbaal menatap sweter pink yang di kenakan oleh gadis bodoh itu.
Apa dia sengaja membawa jaket ini untuk Iqbaal? Begitu kah? Dan mengharapkan agar Iqbaal menerima tawaranya? Lalu besok mengembalikannya agar gadis ini bisa memiliki kesempatan yang lumayan masuk akal agar bisa berbicara dengan Iqbaal?
"Kalau lo keberatan balikin jaket ini karena nggak mau bicara sama gue, nggak masalah, lo nggak perlu balikin, bisa lo simpen sebagai kenangan atau lo buang. Mungkin opsi kedua lebih bagus," ucap gadis itu, senyum tetap terukir di wajah bodohnya.
Akan tetapi, Iqbaal adalah Iqbaal, lelaki dingin yang sama sekali merasa tidak pernah membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Karena dia merasa apapun yang dia inginkan bisa dia lakukan hanya dengan seorang diri. Iqbaal memutar badannya, dan berjalan meninggalkan (namakamu) yang masih mengangkat setengah tangannya. Seiring menjauhnya langkah membawa Iqbaal, perlahan senyum yang terukir di wajah (namakamu) mulai menghilang.
Ada keperihan yang tak bisa di jelaskan setiap kali lelaki itu selalu menolak apapun yang (namakamu) lakukan kepadanya. Padahal (namakamu) hanya berniat baik bukan? Apa salahnya dia menerima pemberian (namakamu) bahkan (namakamu) sudah memberikan opsi yang sangat menarik untuk Iqbaal kan? Iqbaal bisa membuang jamper pemberian (namakamu) kalau lelaki itu tidak ingin berbicara pada (namakamu). Hah, sudahlah, seharusnya (namakamu) tidak perlu berpikir terlalu jauh, toh, dia sudah paham dan terbiasa menerima penolakan dari Iqbaal setiap harinya.
*
Hujan terus turun membasahi setiap sela bumi tanpa menunjukkan tanda-tanda kapan akan berhenti. Butiran air yang terjatuh dari langit itu di iringi dengan embusan angin dan gemuru awan. Iqbaal masih berjalan di tengah derasnya hujan, membiarkan seragam sekolahnya basah kuyub, mengabaikan tiupan angin sedingin es yang menyengat kulitnya. Untung saja tas punggungnya memiliki pelindung hingga Iqbaal tidak perlu memikirkan bagaimana nasib buku-buku di dalam dan ponselnya. Setengah perjalanan sudah hampir Iqbaal lalui, dan sekarang Iqbaal hanya perlu bersabar sedikit lagi.
Jalanan sepi yang saat ini sedang Iqbaal lalui biasanya akan menjadi tempat favortinya. Di pinggir jalan ini di tumbuhi pohon cedar di sepanjang jalannya, pohon-pohon itu biasanya akan terlihat terlalu tenang dengan gumpalan awan bak kapas terbang di atasnya serta suara kicauan burung yang merdu, tapi kali ini, pohon itu tak setenang hari biasanya, angin yang bertiup semakin kencang seakan memaksa pohon itu enyah dari tempatnya. Iqbaal mengalihkan pandanganya dari pohon-pohon yang ada di tepi jalan sebelah kirinya ke depan, menatap kosong jalanan yang tertutup hujan itu sambil sesekali mengusap wajahnya.
Iqbaal tidak pernah benar-benar perduli tentang suara-suara di sekitarnya, dia terus melangkah seakan apapun yang ada di dunia ini sama tidak pentingnya dengan suara-suara itu. Tapi satu suara yang terasa begitu memukul gendang telinganya, sampai memaksa Iqbaal harus menolehkan wajahnya kebelakang-
-suara derum mesin motor itu tidak terlalu jelas karena tertimpa dengan guyuran hujan yang semakin deras. Tapi jarak yang semakin dekat membuat Iqbaal bisa mendengar raungan mesin motor itu seperti kilat yang menyambar di langit sana. Iqbaal sudah memutar badannya kebelakang, menatap tiga orang lelaki yang turun dari motor ninja dengan tatapan yang sangat tidak bersahabat, lalu Iqbaal menengadahkan kepalanya untuk memandang jauh ke langit hitam, yang detik itu juga menyambarkan kilatan mengerikan.
"Lo pasti belum pikun kan tentang kata-kata gue beberapa jam lalu kalau urusan kita belum selesai?!" Suara Farrel tersamarkan oleh hujan, Iqbaal tidak terlalu bisa menangkap kemarahan pada suara lelaki itu seperti beberapa jam yang lalu, tapi garis kemarahan di wajah lelaki itu berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Iqbaal memandang Farrel dengan iba. Lelaki ini sama bodohnya dengan gadis itu. Meskipun Iqbaal yakin belum ada orang yang kebodohannya setara dengan gadis itu. Dari Farrel, pandangan Iqbaal kini mengarah pada kedua teman lelaki itu, yang sepertinya lebih memilih untuk menonton tanpa mau ikut campur atau mungkin, kedua teman Farrel menganggap kalau mengurusi bocah ingusan yang notabenenya adalah adik kelas mereka tidak perlu sampai tiga orang.
"Dua menit, Rel," salah satu teman Farrel berteriak malas, entah kenapa tingkah teman Farrel yang songong itu membuat sudut-sudut bibir Iqbaal terangkat.
"Gausah senyum-senyum lo, tai!"
Seperti merasakan angin yang menggesek keras kulit wajahnya ketika menghindari pukulan Farrel yang tiba-tiba itu. Iqbaal tidak akan bisa membayangkan bagaimana kalau pukulan tadi mengenai wajahnya.
Gerakan menghindar Iqbaal tadi membuat Farrel terhuyung dan nyaris terjatuh, tapi dengan cepat lelaki yang notabenennya adalah kapten tim basket sekolah itu memposisikan dirinya senormal mungkin dan kembali melayangkan pukulan, yang kali ini mengarah ke perut Iqbaal. Dengan sekali gerakan, pukulan Farrel di tepis oleh kaki Iqbaal membuat Farrel kembali terhuyung. Apakah Iqbaal harus balas menyerang? Sungguh, cuaca semakin lama semakin buruk membuat tubuh Iqbaal semakin tidak tahan kalau harus berada diluar terlalu lama.
"Dua menit, Rel," teman Farrel mengingatkan sambil menggeram.
Bugh!
Setelah kalimat dari teman Farrel selesai, sebuah pukulan keras dari Iqbaal menghantam ke wajah Farrel, dan berhasil membuat lelaki itu kelimpungan.
Farrel mengerjapkan matanya berkali-kali, merasakan pandangannya begitu kabur sejak pukulan bocah ingusan itu mendarat tepat di wajahnya. Namun, belum sempat Farrel sepenuhnya merasakan pandangannya kembali normal, samar-samar Farrel melihat kaki Iqbaal melayang dan menghantam kebagian sisi kiri kepalanya. Rasanya dunia seakan hampir runtuh, setelah itu Farrel merasakan kedua kakinya tak lagi sanggup menahan bobot badannya. Farrel terhuyung dan jatuh terlentang.
Iqbaal merasakan napasnya lebih memburu dari biasanya, entah karena gerakannya yang terlalu berlebihan atau memang beberapa pukulan yang dia layangkan tadi dengan sekuat tenaga? Iqbaal berjalan mendekati Farrel, memandang kakak kelasnya itu yang sibuk meringis menahan rasa sakit di kepala dan wajah. Langkah Iqbaal berhenti tepat di atas kepala Farrel, sekali lagi Iqbaal memandang wajah penuh kesakitan itu sebelum akhirnya Iqbaal menatap kedepan, memandang dua teman Farrel yang masih shock dengan apa yang baru saja mereka lihat.
Sepuluh detik berlalu, Iqbaal kembali menunduk. "Lo lemah, kenapa lo lemah? Karena lo kurang sesuatu, yaitu kebencian,"
*
Hari ini langit kembali cerah seperti dua hari yang lalu, dan seperti hari-hari sebelumnya, (namakamu) selalu berdiri di depan gerbang sekolah sambil menunggu pujaan hatinya. (Namakamu) tidak tahu sampai kapan dia harus seperti ini, dan dia tidak pernah perduli tentang pemikiran seberapa lama dia akan seperti ini.
Dari kejauhan sepasang mata (namakamu) mendapati seorang lelaki yang sedaritadi terus mengisi pikirannya. Lelaki itu datang lebih awal, tidak seperti biasanya. Tanpa sadar bibir (namakamu) sudah menuangkan sebuah senyuman. (Namakamu) memandang lebih rinci pada Iqbaal yang semakin lama semakin dekat. Kening (namakamu) mengernyit saat melihat Iqbaal hari ini memakai jamper putih, padahal cuaca sangat bagus untuk berjemur di pantai.
"Hai," sapa (namakamu) seperti biasanya, dia berdiri tepat di hadapan Iqbaal; memerhatikan setiap lelukan wajah lelaki itu dengan penuh kekaguman, mata, hidung, dan bibir itu masih sama indahnya, hanya saja, ada yang sedikit mengganjil pada warna bibir lelaki itu. Yang semulanya merah menggoda seperti tomat yang baru di petik, kini putih pucat. Apa dia........
Entah mendapatkan keberanian darimana, (namakamu) meletakan punggung tangannya di kening Iqbaal lalu merayap ke leher lelaki itu. Hangat.
"Lo sakit?" Tanya (namakamu), memandang wajah Iqbaal yang memang tidak seperti biasanya.
"Bukan urusan lo," Iqbaal menepis tangan (namakamu) yang masih berada di lehernya. Tannpa memperdulikan bagaimana perasaan (namakamu) saat ini, Iqbaal langsung melenggangkan kakinya, berjalan sesantai mungkin seperti biasanya. Mengabaikan rasa pusing yang semakin lama semakin menyiksa kepalanya.
*
Bagas tak banyak bicara seperti biasanya, dia sepertinya masih tidak mau melupakan beberapa kata yang (namakamu) lontarkan untuk kakak kelas favortinya itu. Bagas lebih banyak menghindar dari (namakamu), mengabaikan Difa dan Gilang yang sok-sok-an membuat obrolan seru supaya Bagas ikutan nimbrung. (Namakamu) yang juga tak mau ambil pusing mengenai sikap Bagas, hanya berusaha mengikuti alur yang lelaki itu buat; kalau dia tidak mau bicara dengan (namakamu), baiklah, (namakamu) juga akan lakukan itu.
Sepanjang pelajaran pertama dan kedua, sepasang mata (namakamu) tak pernah lepas dari pemilik meja deretan ketiga di barisan paling belakang. Iqbaal kelihatan begitu gelisah, lelaki itu kebanyakan menyenderkan punggungnya lebih dalam sambil memejamkan matanya, malah kadang-kadang Iqbaal menangkupkan wajahnya pada tangan selama beberapa detik, seolah sedang menahan sakit. Ya, (namakamu) tahu kalau lelaki itu sedang sakit.
Ketika bel istirahat berdering, (namakamu) langsung melirik ke meja Iqbaal, Iqbaal tampak langsung beranjak dari mejanya, berjalan tergesah-gesah keluar kelas. Rasa khawatir yang sejak tadi pagi masih menguasai diri (namakamu), membuat (namakamu) melakukan tindakan yang sama; (namakamu) beranjak dari kursi, berjalan cepat menyusul Iqbaal, mengabaikan Gilang yang masih sibuk mengoceh tentang Harga Sembako Yang Terus Naik.
Koridor seperti lautan para murid, sewaktu (namakamu) menginjakkan kakinya di lantai koridor, (namakamu) langsung kehilangan sosok Iqbaal. (Namakamu) tidak tahu kemana lelaki itu melangkah. Menghela napas pendek, (namakamu) melenggangkan kakinya menuju UKS. Siapa tahu Iqbaal kesana, tidak mungkin kan dalam keadaan sedang sakit lelaki itu pergi ke halaman belakang, duduk bersender pada pohon seperti biasanya.
*
"Bu, sampe sini aja dong, berat nih! Capek!" Bella berhenti di depan bangunan yang berada di depan lapangan sekolah, bangunan yang jaraknya sangat jauh dari kelas IPS, yang berada di ujung dekat kantin. Terlebih saat Bella harus membawa tumpukan buku.
"Kamu ini kalau di suruh selalu aja ngeluh, tapi kalau di kelas; ngeliatin kaca, ngebedakin muka, kamu nggak pernah capek! Malah ibu yang capek ngeliatin kamu!" Kata Bu Ratna sambil mendelikkan matanya. "Bawa masuk bukunya!" Tegas Bu Ratna sambil berjalan masuk.
"Ih, bu!" Bella mengercutkan bibirnya dan menghentakan kakinya secara berkali-kali sebelum akhirnya dia menyusul Bu Ratna ke dalam. "Lagian kan kantor guru itu disana, ngapain ibu malah ke UKS. Ibu sengaja ya buat saya capek!"
"Bu Siska hari ini izin nggak masuk, kamu nggak usah bawel deh," jelas Bu Ratna.
Bella memandang ruangan ini dengan tatapan menilai, selama dia sekolah disini, Bella belum pernah sama sekali masuk ke UKS. Selain letaknya yang sangat jauh dari kelas IPS, Bella juga tidak terlalu suka dengan bau obat-obatan. Bella mengangkat tangannya, mengintruksi jari telunjuknya untuk menutup hidung kecilnya yang mulai mencium bau obat tak sedap.
Di dalam UKS hanya ada dua ruangan, ruang utama untuk guru-guru yang bertugas dan kamar untuk murid yang sedang sakit. Iris mata Bella menangkap seseorang keluar dari kamar.
"Eh, kebetulan ada kamu, Bell, beli obat di apotik sebelah sekolah gih, uks lagi kehabisan obat," kata guru yang baru saja menampakan dirinya.
"Kok saya sih, Bu,"
"Jadi siapa lagi saya suruh? Nggak mungkin kan Bu Ratna,"
"Bu Indry sendiri kan bisa, kenapa harus saya,"
"BELLA!" Bu Indry mendelik. "Jangan harap kamu tuntas pelajaran bahasa inggris ya!" Ancam Bu Indry sungguh-sungguh.
Kalau sudah menyangkut dengan nilai, Bella sudah tidak bisa memberontak lagi, jelas dia lebih baik mengalah dari pada di raportnya nanti tertera angka 50 yang begitu mengerikan.
"Iya iya iya," Bella menyeret langkahnya mendekat Bu Indry. "Emangnya siapa sih, Bu, yang sakit? Nyusahin aja tau nggak!" Dengan kesal Bella memandang ke arah pintu kamar yang setengah terbuka, dengan sekali dorongan Bella langsung bisa melihat siapa yang ada di dalam kamar itu. Mata dan mulut Bella segera menganga lebar ketika mendapati lelaki idamannya terbaring di atas tempat tidur kecil dengan mata terpejam serta....err, tiga kancing teratas terbuka. Lima detik Bella menatap rinci pada wajah lelaki itu yang lumayan pucat, serta kerutan di dahi Iqbaal yang sangat menandakan kalau lelaki itu tengah menahan sakit.
"Cowok gue," gumam Bella, dia langsung melangkah masuk, mengabaikan Bu Indry yang sedang ingin memberikan uang padanya.
"Bella!" Teriak Bu Indry kesal lalu melangkah masuk. "Ini uangnya, kamu itu kalau saya lagi bicara jangan main pergi aja,"
Bella mengabaikan ucapan Bu Indry. "Bu cowok saya sakit apa?"
Cowok saya? Kening Bu Indry berkerut resah mendapati kata itu terselip di kalimat Bella. Bukannya Iqbaal....
"Cowok kamu?" Bu Indry menyuarakan kebingungan saking tidak percayanya dengan ucapan Bella barusan. Bella mengangguk tanda mengiyakan. "Bukannya Iqbaal pacarnya (namakamu) ya?"
(Namakamu)?
Seperti mendapatkan sabaran kilat di siang hari, Bella langsung memutar kepalanya, menatap wajah Bu Indry dengan tidak percaya.
"IQBAAL ITU PACAR SAYA!!" Teriak Bella tidak terima, detik berikutnya Bella merasakan telinganya sangat panas akibat di sentil oleh Bu Indry. "SAKIT BU!!"
"Makanya kalau bicara itu nggak usah teriak-teriak! Kamu pikir saya bolot apa!" Bu Indry balas teriak sambil menarik telinga Bella, murid tidak sopan seperti Bella memang pantas mendapatkan perilaku seperti ini. Tangan Bu Indry masih tetap menempel pada telinga Bella walaupun mereka berdua sudah berada diluar kamar.
"Aduh, sakit, Bu, pelan-pelan ngapa nariknya," kata Bella seraya mengusap daun telinganya.
"Sekarang pergi cari obat!"
"Cari atau beli nih," Bella mengerucutkan bibirnya, dia benar-benar merasa tidak takut sedikit pun pada Guru Bahasa Inggris yang tingginya hampir setara dengan dia. Tapi saat melihat Bu Indry membungkuk hendak melepas sepatu berhak di kakinya, Bella langsung melangkahkan kakinya besar-besar, daripada besok dia mendapatkan bekas memerah bentuk sepatu di wajahnya, lebih baik dia menghindar.
Bella membungkuk, menghirup udara banyak-banyak saat dia yakini kalau pasokan udara pada paru-parunya nyaris kandas. Selama hampir satu menit Bella membungkuk seperti, hingga tiba akhirnya dia berdiri tegak, mengusap peluh yang menetes di keningnya akibat kabur dari serangan Bu Indry. Bella baru akan melangkahkan kakinya saat matanya mendapati (namakamu) berjalan ke arahnya - bukan - tapi ke bangunan yang ada di belakangnya.
"Ngapain lo?" Tanya Bella sinis ketika (namakamu) sudah berada di hadapannya.
"Terserah gue mau ngapain, apa urusannya sama lo!" (Namakamu) menatap Bella dengan sebelah alis terangkat, merasa aneh dengan gelagat gadis itu; seperti habis di kejar setan.
Bella menghela napas pendek, terbesit sebuah ide di kepalanya saat mengingat sosok Guru Bahasa Inggris yang ada di UKS.
"Kebetulan kita jumpa, gue lagi nyariin lo,"
"Nyari gue?" Wajah (namakamu) berubah bingung.
"Iya, Bu Indry titip pesan sama gue supaya nyuruh lo beli obat di apotik sebelah sekolah,"
"Kenapa gue? Kan lo bisa,"
"Mana gue tau! Tanya noh sama wali kelas lo, ngapain protes sama gue, yaudah gih sana beli, ntar lo kasih sama Bu Indry. Dia ada di UKS!" Bella menyerahkan selembar uang dua puluh ribu pada (namakamu), lalu memutar badan gadis dan menolaknya pelan. "Cepetan!"
Bella tersenyum puas setelah melihat (namakamu) berjalan semakin jauh. Lalu seperti rencana yang baru saja dia buat beberapa detik yang lalu, Bella hanya perlu memutar badannya dan berjalan kembali ke UKS. Menunggu Iqbaal di dalam sana sampai lelaki itu sadar. Eh, memangnya dia sakit apa?
*
"Permisi," (namakamu) mengetuk pintu UKS pelan, matanya memandang ke arah meja yang tengah di huni oleh guru matematika yang sepertinya masih fokus pada buku-buku yang ada di meja. Sekali lagi (namakamu) mengetuk pintu sambil mengatakan kata yang sama. Kali ini sepertinya membuahkan hasil, Bu Ratna tersentak, mengangkat wajahnya dan memandang ke arah (namakamu) dengan kening berkerut.
"Ada Bu Indry?" Tanya (namakamu) berusaha kalem.
Bu Ratna melirik arloji di tangannya sebelum menjawab pertanyaan dari (namakamu). "Bukannya dia ada di kelas kamu?"
(Namakamu) menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sehabis istirahat Bu Indry memang masuk ke kelasnya tapi bukannya tadi kata Bella kalau Bu Indry menunggu di UKS?
"Tapi kata Bella Bu Indry di uks, ini obatnya," (namakamu) mengangkat plastik hitam yang sedari tadi ada di genggaman tangan kanannya.
Bu Ratna memandang lama ke arah plastik hitam itu. "Oh, itu, taruh aja di dalam sana," Bu Ratna menudingkan telunjuknya ke arah ruangan yang pintunya tertutup oleh tirai putih.
(Namakamu) tersenyum, lalu melepas sepatunya dan berjalan ke arah tirai berwarna putih itu. Rasanya (namakamu) lumayan kesal dengan Bu Indry, bukannya tadi wanita itu menitip pesan pada Bella agar di sampaikan padanya untuk mengantar obat ke UKS? Tapi setelah (namakamu) beli obat dan kembali tiba di UKS, dia malah tidak mendapati wali kelasnya itu, sebenarnya tidak terlalu masalah, tapi jarak UKS yang emang agak jauh dari kelasnya lah yang menjadi masalah.
Sedikit risih dengan kehadiran tirai putih itu, (namakamu) menyibaknya, mengangkat tangannya untuk menyentuh gagang pintu lalu menekannya, dan pintu terbuka. (Namakamu) melangkah masuk sambil menunduk untuk mengecek obat dalam plastik di tangannya, ketike menengadah, ternyata di dalam ruangan ini ada penghuninya, dan saat menyadari siapa yang ada di ruangan ini dan sedang apa orang itu, (namakamu) langsung membelalakan matanya.
"DASAR CEWEK MURAHAN!" (Namakamu) tidak tahan untuk tidak teriak, kakinya bergerak kebelakang, menendang daun pintu agar segera menutup. (Namakamu) tak ingin pertarungan antara dia dengan gadis itu - Bella --- yang sepertinya sebentar lagi akan terjadi di ketahui ole Bu Ratna.
(Namakamu) tidak akan masalah kalau Bella berada di ruangan yang sama dengan Iqbaal, tapi yang jadi masalah saat ini adalah bagaimana (namakamu) melihat posisi Iqbaal yang sedang terbaring dengan mata terpejam, serta tiga kancing seragamnya terbuka, dan yang sangat menjijikan adalah bagaimanan Bella mengecup pipi Iqbaal dan memfotonya. Gadis ini......tidak bisa lebih mesum ya?
"Apa-apaan sih lo, dateng-dateng teriak-teriak segala lo kata ini rumah lo! Mana obatnya, cowok gue udah nungguin dari tadi!" Bella mendelik marah pada (namakamu), yang sekarang gelagatnya sudah seperti gadis yang tengah terbakar jenggotnya. Mendapati bungkusan di tangan (namakamu), Bella langsung merampas dan-
"Beb," bagaimana dengan centilnya gadis itu membangunkan Iqbaal, menepuk-nepuk pelan pipi Iqbaal dengan senyum tolol di wajahnya.
Ugh! Bahkan (namakamu) belum pernah menyentuh pipi Iqbaal! Tadi pagi dia hanya bisa menyentuh kening dan leher, tapi Bella sudah pernah mencium pipi Iqbaal!!!! Astaga! Perasaan macam apa ini, kenapa (namakamu) tiba-tiba sangat ingin menarik rambut Bella sampai lepas dari kepalanya?! (¬_¬")
Selama beberapa kali Bella menepuk pelan pipi Iqbaal agar lelaki itu terbangun, dan akhirnya membuahkan hasil. Iqbaal mengerjap selama beberapa kali, sebelum akhirnya matanya terbuka sepenuhnya.
"Ini obatnya udah ada, di minum ya?" Dengan akting kelas najis tingkat atas- menurut (namakamu)-Bella membuka bungkusan dan menarik obat dalam kotak tersebut, dan yang membuat (namakamu) semakin jengkel dengan gadis ini adalah bagaimana dia menginjak kaki (namakamu) sambil berkata. "Ambil minumnya, nyet."
(Namakamu) meringis, namun sebisa mungkin untuk tidak menjambak rambut Bella saat ini. Baiklah, dua kali menuruti permintaan Bella sepertinya tidak membuat (namakamu) kelihatan lebih tolol. Menghela napas pendek, (namakamu) berjalan keluar ruangan untuk mengambil segelas air minum.
Ketika kembali dengan segelas air di tanganya, (namakamu) mendepati Iqbaal sudah menyenderkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Wajah yang semakin memucat itu sekarang di hiasi dengan titik-titik keringat, (namakamu) yang memang belum pernah melihat Iqbaal sakit seperti ini malah semakin khawatir, yah, walau pun yang dia khawatirkan sama sekali tidak memperdulikan dirinya.
Bella mengambil alih gelas di tangan (namakamu), kemudian di serahkan pada Iqbaal. Tanpa banyak tingkah Iqbaal langsung memasukan obat itu ke mulutnya dan di susul dengan ujung gelas yang menangkup di bibirnya. Percaya atau tidak sepasang mata (namakamu) dan Bella tak pernah lepas memandang leher Iqbaal yang terangkat, memerlihatkan buah jakun yang menonjol, entah apa yang kedua gadis itu pikirkan sesungguhnya gue selaku author engga tahu sama sekali.
"Lo mau tetap disini atau mau balik ke kelas?" Tanya Bella ramah, sangat ramah malah sampai (namakamu) nyaris saja meraih gelas yang ada di nakas untuk di hantamkan ke kepala Bella.
Iqbaal mengerjap lagi, kening dan sudut-sudut matanya berkerut resah seakan rasa sakit yang kini dia rasa semakin memuncak. "Gue disini aja,"
Bellla mengangguk. "Kalau gitu gue temeni ya? Supaya lo kalau ada perlu apa-apa tinggal bilang sama gue,"
Iqbaal tidak menjawab, lelaki itu kembali merosotkan badannya ke tempat tidur lalu memejamkan matanya. Reaksi Iqbaal yang seperti itu sungguh tidak masalah bagi Bella, yang jelas gadis ini akan tetap berada disini.
"Lo ngapain masih disini!" Bella berteriak pada (namakamu).
"Iqbaal sakit apa?" Seakan tuli, (namakamu) lebih memilih untuk tidak meladeni teriakan Bella, mata (namakamu) masih tetap fokus pada Iqbaal yang sepertinya masih kesusahan untuk masuk ke dalam bawah sadar, dan tidak bisa di pungkiri kalau (namakamu) sangat khawtir dengan keadaan Iqbaal.
Ketika pulang nanti siapa yang akan menjaganya, merawatnya di kosan? membuatkannya makanan? Atau membersihkan kosannya? Memikirkan itu membuat rasa khawatir (namakamu) kepada Iqbaal semakin berlebihan.
*
(Namakamu) tidak habis pikir kenapa dia bisa-bisanya menuruti perkataan Bella dengan meninggalkan UKS saat itu juga, dan membiarkan Bella berduaan saja dengan Iqbaal. (Namakamu) yakin sekali pasti Bella akan menggunakan banyak kesempatan untuk melakukan tindakan aneh kepada Iqbaal yang sedang tidak sadar kan diri. Ketika bel tanda pulang berbunyi, (namakamu) yang biasanya tidak terlalu antusias membenahi alat-alat tulisnya, kini tangannya bergerak sangat cepat, memasukan semua alat tulis dan buku miliknya yang berantakan di meja. (Namakamu) terlalu cepat, sampai mengalahkan Gilang yang duduk di sebelahnya menganga.
"Gue duluan," kata (namakamu) terburu-buru, sekilas dia mendapati tatapan aneh dari Bagas.
Tadi saat Bu Indry masuk ke kelas ini, wanita itu memberitahu pada semua murid kalau Iqbaal tidak bisa mengikuti pelajaran karena sakit. Hampir sebagian murid di dalam kelas yang notabenenya adalah para gadis berseru khawatir, yang lelaki hanya mendengus malas, malah ada beberapa yan mengumpat untuk Iqbaal.
Tidak seperti saat jam istirahat, koridor saat pulang sekolah malah tidak sepadat ketika jam istirahat. Alasannya karena pada jam itu, masih banyak murid kelas tiga yang berkeliaran di perkarangan sekolah; padahal mereka sudah selesai melaksanakan Ujian Nasional, hanya tinggal menunggu pengumuman saja. Dan (namakamu) rasa, murid kelas tiga sudah enyah duluan.
UKS tutup. Itu yang (namakamu) simpulkan saat dia tiba disana, berusaha membuka pintu yang jelas-jelas sudah terkunci itu dengan geraman. Isi dalam kepala (namakamu) langsung teraduk dan menemukan nama Iqbaal disana, apakah Iqbaal pulang bersama Bella? Atau Bella meminta izin pada Iqbaal supaya gadis itu mengantarnya? Atau Iqbaal tidak mengizinkan Bella, dan lebih memilih pulang sendiri? Opsi ketiga sepertinya lebih bisa di terima (namakamu) mengingat bagaimana sifat Iqbaal selama ini.
Menghentakan kakinya, (namakamu) berjalan tergesah-gesah menuju gerbang sekolah. Jarak yang memang ibaratkan ujung kanan dan kiri itu membuat (namakamu) sedikit kewalahan dan sangat menguras tenaga. (Namakamu) tiba di gerbang sekolah yang hanya menyisahkan beberapa murid saja. Mengedarkan pandangannya berharapa menemukkan sosok Iqbaal, dan nihil. Atau jangan-jangan Iqbaal pulang dengan taksi? Opsi baru ini menurut (namakamu) lumayan masuk akal, dengan sekali gerakan, (namakamu) mengangkat tangannya, menyetop taksi biru yang melintas di hadapannya. Lantas dia segera masuk.
Taksi yang (namakamu) naiki melaju sederhana. Selama berada di dalam taksi, (namakamu) tak hanya duduk diam melainkan menengok keluar jendela sebelah kirinya, berharap menemukan sosok Iqbaal yang mungkin saja memang benar-benar jalan kaki. Ada hal lain yang (namakamu) pikirkan selain tentang 'dengan siapa Iqbaal pulang? Apakah lelaki itu baik-baik saja? Karena (namakamu) ingin Iqbaal pulang dalam keadaan selamat mengingat betapa lemahnya kondisi Iqbaal tadi pagi-siang'
Hal lain yang (namakamu) pikirkan adalah Mengapa Dia Melakukan Ini? Apakah penolakan dari Iqbaal masih kurang cukup untuk menghapus rasa peduli (namakamu) kepada lelaki dingin itu? Satu hal yang (namakamu) sesali dari Iqbaal adalah kemarin, kemarin lelaki itu menolak jamper pemberiannya. Kalau saja Iqbaal menerima jamper itu, mungkin keadaanya tidak akan separah ini. Sebelum rasa kekecewaan menguasai (namakamu), lebih baik (namakamu) hanya memikirkan saja kalau dia melakukan ini semata-mata karena dia mencintai lelaki itu, lelaki yang sedikit pun tidak pernah melihat ke arahnya, melihat cintanya, melihat pengorbananya, melihat apapun yang selama ini telah (namakamu) lakukan untuknya.
Mungkin Iqbaal sudah sampai rumah. Pikir (namakamu) ketika taksi sudah tiba di jalanan sepi yang di pinggirnya di tumbuhi pohon cedar. Dan saat itulah sepasang mata (namakamu) mendapati sekumpulan lelaki mengenakan seragam yang sama dengannya, terlihat mengerumuni sesuatu. Mata (namakamu) lebih fokus pada kerumunan itu, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa mereka bertingkah seolah-olah sedang....menghancurkan sesuatu. Ya, (namakamu) melihat gerakan menendang dan memukul dari mereka, sampai akhirnya (namakamu) mendapati tas milik seorang lelaki yang sejak tadi, kemarin, atau mungkin dua tahun belakangan ini mengisi kepalanya ada disana, terlihat jelas, (namakamu) tidak mungkin salah, itu tas milik...Iqbaal.
"Pak, berhenti!" (Namakamu) menepuk bahu sang sopir dengan kasar, oke, jangan di bahas soal tepukan (namakamu) yang barusan, (namakamu) hanya kelewat khawatir dan berharap kalau apa yang ada di dalam pikirannya tidak akan benar-benar terjadi. Sekali saja (namakamu) memohon agar doanya terkabul, sekali saja, untuk yang ini.
(Namakamu) keluar dari dalam taksi, berlari sekencang mungkin menghampiri kerumunan itu sambil berteriak agar mereka menghentikan aksi gila tersebut. (Namakamu) terus berteriak malah semakin histeris, jarak yang semakin dekat membuat dia bisa melihat sedikit demi sedikit seseorang di dalam sana. Jantung (namakamu) berdebar tak menentu karena takut, (namakamu) ingin menangis tapi rasanya terlalu sulit mengingat bagaimana ketika dia tiba disana dan mendapati dua orang mengapit Iqbaal, beberapa orang dengan senang hati mengayunkan tinjunya ke wajah dan perut lelaki itu, wajah pucat Iqbaal sudah di penuhi memar meskipun tak terlalu kentara tapi itu cukup membuat (namakamu) histeris.
"BERHENTI!" (Namakamu) berteriak lantang sambil menerobos kerumunan, dia menolak apapun yang berusaha menghalanginya, hingga (namakamu) tiba di dalam kerumunan itu dan mendapati kakak kelasnyalah yang sepertinya begitu menguasai perminan.
"Lo nggak usah ikut campur! Atau gue nggak segan-segan bakalan ngelakuin hal yang sama, sama lo!" Farrel melepas cengkramannya pada kerah seragam sekolah Iqbaal, memutar badannya menatap marah pada (namakamu), yang menurutnya telah mengusik kesenangannya.
Plak!
Dengan sekuat tenaga dan keberanian yang masih ada, (namakamu) melayangkan tamparan terbaiknya ke wajah seniornya itu. (Namakamu) tidak peduli dengan geraman yang sekarang terdengar di telinganya, atau rahang seniornya yang mengeras marah karena tindakannya yang barusan.
(Namakamu) bisa merasakan keheningan selama beberapa detik, teman-teman Farrel menatap ke arah (namakamu) dengan berbagai macam ekspresi, dan itu sangat mengganggu (namakamu). Keheningan yang berlalu di pecahkan dengan suara lantang yang amat parau, (namakamu) bisa mendengar dan melihat sopir taksi itu berusaha membubarkan kerumunan ini, dengan modal linggis di tangan.
"Urusan kita belom selesai," (namakamu) merasakan Farrel mencengkram kuat pergelangan tangan kanannya, sebelum akhirnya lelaki yang menjabat sebagai kapten tim basket itu menghambur pergi.
Dan ancaman Farrel langsung terlupakan saat mata (namakamu) tertumbuk pada sosok Iqbaal yang tengah terbaring tak berdaya di permukaan beraspal itu. (Namakamu) membungkuk, mencoba untuk tidak histeris saat melihat luka lebab di wajah Iqbaal dan noda merah di beberapa titik seragam sekolah lelaki itu. Dengan sisa tenaga, (namakamu) berusaha membangunkan Iqbaal, suara ringisan kesakitan tak henti-hentinya (namakamu) dengar dari mulut Iqbaal. Hampir satu menit (namakamu) kesusahan membangunkan Iqbaal sampai akhirnya sang sopir membantu (namakamu) dan menuntunya menuju taksi.
*
Tidak ada masalah pada tulang Iqbaal, dan luka pada bagian tubuh lelaki itu tidak terlalu serius. Begitu kata dokter yang biasanya menjadi langganan mamanya kalau keadaannya mendadak drop. (Namakamu) harus rela mengeluarkan uang sakunya selama empat hari untuk menembus obat dari dokter. (Namakamu) sekarang berada di kosan Iqbaal, setengah jam yang lalu dokter langganan mamanya baru saja pulang.
Iqbaal terbaring di tempat tidur dengan selimut tebal yang menutupi sebagian dirinya, sementara (namakamu) berada di ujung tempat tidur itu, terduduk, sibuk mengobati luka-luka memar di wajah Iqbaal dengan betadine. Dengan telaten (namakamu) mengobati luka-luka itu. Setelah itu (namakamu) meletakan kain basah di kening Iqbaal, mengingat suhu tubuh lelaki itu belum juga redah.
Entah mengapa (namakamu) tidak bisa menitikan air matanya, padahal di sepanjang perjalanan tadi (namakamu) sangat ingin menangis, entalah, (namakamu) rasa mengkhawatirkan keadaan Iqbaal jauh lebih penting daripada harus menangis di saat seperti ini.
Jarum jam terus berputar bersamaan dengan sinar sang matahari yang semakin lama semakin redup di telan malam. (Namakamu) masih mengenakan seragam sekolahnya, sama sekali tidak perduli dengan hal itu termasuk dengan perutnya yang belum terisi. (Namakamu) sudah memberitahu ibunya kalau dia mengerjakan tugas kelompok di rumah Gilang, dan harus di selesaikan hari ini juga, ya, walaupun (namakamu) harus membohongi ibunya, tidak ada cara lain, hanya cara itu yang terdengar masuk akal.
Mematikan gas, (namakamu) menuang bubur yang baru matang itu ke mangkok plastik lalu meletakannya di nampan, tak lupa (namakamu) mengisi segelas air dan meletakannya di sebelah mangkok tersebut. Iqbaal memang belum sadar sejak siang tadi, dan (namakamu) tidak tahu kapan lelaki itu akan membuka matanya. Mungkin saja saat Iqbaal membuka matanya, bubur ini sudah dingin.
Keluar dari dapur, (namakamu) melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan malam. (Namakamu) sudah harus pulang. Menghela napas pendek, dengan hati-hati (namakamu) melangkah masuk ke kamar Iqbaal.
(Namakamu) tak berharap Iqbaal akan sadar ketika dia ada disini, ada alasan yang tak bisa di jelaskan oleh(namakamu), tapi ketika dia masuk ke dalam kamar Iqbaal, sepasang mata (namakamu) mengarah pada tempat tidur dan mendapati sang empunya tengah menyenderkan punggungnya ke dinding. Langkah (namakamu) menjadi ragu dan terkesan tak ingin, tapi (namakamu) sudah masuk, mau tak mau dia harus melanjutkan langkahnya, berjalan ke tempat tidur lalu meletakan nampan di meja kecil yang ada di samping tempat tidur.
Biji mata (namakamu) bergerak kesudut mata, melirik Iqbaal yang melamun entah memikirkan apa, tapi sungguh, tatapan Iqbaal lebih tajam dan gelap, dan itu sangat menakutkan. (Namakamu) sudah membuka dua obat, dan mengambil gelas yang ada di nampan, berputar sedikit agar menghadap Iqbaal.
"Ini obatnya di min..,"
Jantung (namakamu) mencelos hendak keluar dan bagian ruang dalam hatinya seperti akan roboh saat tangan Iqbaal bergerak dengan kasar menghempaskan gelas dan obat yang ada di tangan (namakamu). Pandangan (namakamu) bergerak, mengikuti kemana gelas itu melayang lalu pecah. Perih. Itu yang (namakamu) rasakan saat ini.
"Pergi!" Kata Iqbaal tertahan, tangan dan rahang lelaki itu mengeras seperti hendak meledakan urat-urat di balik kulitnya.
(Namakamu) menunduk, berusaha menahan perasaan pilu yang semakin lama semakin dalam merabat ke kamar hatinya. Ada yang tak beres dengan kepala (namakamu) saat ini, tiba-tiba saja dia ingin sekali lupa akan segalanya, lupa kalau dia pernah begitu mencintai lelaki. Apakah perasaan cinta harus sesakit ini? Tidak! (Namakamu) menepis kalimat yang terlintas di kepalanya itu, ini hanya satu titik dimana dia harus berkorban untuk mendapatkan sebuah jawaban.
"Gue cum..,"
"Apa yang lo pikirin? Gue bilang pergi, gue nggak butuh sepatah katapun yang keluar dari mulut lo!"
Sekarang (namakamu) mengangkat wajahnya, menahan sebisa mungkin agar air matanya tak jatuh.
"Gue khawatir sama lo," akhirnya (namakamu) menuntaskan kalimatnya dengan suara gemetar.
Iqbaal berdecak. "Gue nggak butuh itu!" Iqbaal tak lagi menunduk, kepalanya sekarang terangkat agar bisa melihat reaksi gadis bodoh itu sekarang.
"Gue tau, lo memang nggak pernah perduli sama apapun yang udah gue lakuin untuk lo, dan itu nggak jadi masalah buat gue," (namakamu) tidak sedang membela dirinya sendiri, dia hanya ingin menyampaikan apa yang selama ini dia rasakan. "Karena gue tau meskipun kita berada dalam satu mobil yang sama tapi kita sedang melintas di jalan yang rusak, sekuat apapun gue memaksa lo untuk fokus ke depan, perhatian lo akan selalu teralihkan dengan guncangan,"
Hening selama hampir lima menit. Iqbaal mengalihkan pandangannya ke depan, memandang kosong pada daun pintu tersebut, kemudian tersenyum miring.
"Di antara semua cewek yang berusaha memperlihatkan ketertarikannya, hanya lo yang paling bego dari semuanya. Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo. Dalam matematika satu tambah satu sama dengan dua, dan lo selalu menjawab tiga, lo selalu mengulangi kesalahan yang sama, menulis satu buku soal yang sama dengan jawaban yang sama seolah lo nggak pernah belajar dari kesalahan, seakan lo nggak pernah mengerti arti kesakitan dan lebih memilih untuk mundur!"
"Karena gue tipe orang yang menghargai usaha yang udah gue bangun sejak awal. Lo boleh nganggep gue bego, karena menurut lo udah jatuh cinta sama lo, jatuh cinta sama orang yang salah. Tapi asal lo tau, besar cinta gue sebesar apa gue mempertahankannya," (namakamu) terisak, mengusap sudut matanya yang mulai berair.
Iqbaal terdiam selama beberapa saat tapi sorot matanya sama sekali tidak menunjukan kalau dia kalah dalam argumen ini.
"Salah kalau orang menilai jika cinta adalah kebahagiaan sesungguhnya, mungkin yang benar; Cinta adalah kebahagiaan yang menuju kesakitan. Tidak akan pernah ada akhir yang bahagia di dunia ini, akhir selalu menyedihkan dan menyakitkan. Dan kesakitan adalah akhir dari segalanya," Iqbaal tersenyum kecut. "Nggak ada gunanya menyalahkan kenyataan ini. Gue nggak tertarik dengan dunia ini, semenjak masa lalu itu mulai hilang," isi dalam kepala Iqbaal seperti teraduk, dan menemukan berkas yang tersimpan rapi di dalam sana, berkas yang menyimpan kenangan menyakitkan sepuluh tahun yang lalu.
(Namakamu) menghela napas pendek, melangkah satu langkah lalu duduk di ujung tempat tidur, memandang wajah kosong Iqbaal sambil tersenyum pilu. "Kalau yang lo maksud adalah perceraian kedua orang tua lo, gue nggak bisa ngebantu banyak. Karena kesakitan itu hanya diri lo sendiri yang bisa menyembuhkannya," sepasang bola mata Iqbaal langsung menusuk ke iris coklat mata (namakamu). Mulut Iqbaal nyaris ternganga. Dari mana gadis itu tahu soal..... "Lubang di hati seseorang akan terisi oleh orang lain yang berada di dekatnya, dan obat untuk hati yang terluka adalah sebuah kasih sayang. Yang perlu lo lakuin saat ini cuma mempercayakan orang-orang yang menyanyangi lo agar nggak melakukan hal yang sama seperti di masa lalu."
Detik itu juga wajah kedua orang tuanya terngiang di kepala Iqbaal.
Bersambung.
@Aryaandaa.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid Girl
Romance" Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping "