[10]

710 45 0
                                    

'My Stupid Girl' [10]
by Muhammad Aryannda
-oOo-
Mata hitam Iqbaal yang memancarkan kedinginan serta tidak bersahabat itu mulai redup.
"Aku tau, nggak seharusnya aku kayak gini, aku tau kalau aku harus percaya sama kamu. Selama satu jam lebih aku duduk di kamar berusaha menjernihkan isi kepala aku, dan menepis semua pikiran buruk terhadap kamu," menjeda, Iqbaal menggeleng. "Tapi rasanya, ucapan mama kamu selalu teringiang di kepala aku. Penghianatan yang aku rasain satu jam yang lalu itu nggak bisa aku usir gitu aja dari kepala aku. Mungkin aku butuh waktu,"
(Namakamu) mengusap wajahnya. "Berapa lama? Apa kamu pernah mikir tentang waktu? Tentang semua waktu aku selama ini habis hanya untuk kamu! Apa kamu pernah mikir itu?!" Suara (namakamu) gemetaran. "Ada banyak hal yang bisa di ubah oleh waktu! Dan kamu tau apa salah satunya itu?! PERASAAN AKU KE KAMU!!!" Untuk pertama kalinya, dan mungkin untuk yang terakhir kalinya (namakamu) berteriak marah pada Iqbaal. Benar-benar marah. Kaki (namakamu) bergerak mundur, matanya mulai kesulitan melihat sekitar karena air mata yang terus berlomba-lomba keluar. Lihat! Lelaki itu tak berusaha mencegahnya, hati (namakamu) tersenyum pilu. Jadi benar tentang ketakutannya selama seharian ini, lelaki itu memang tak pernah benar-benar mencintainya.
*
(namakamu) pikir dia harus benar-benar mengenyahkan nama lelaki itu di dalam hidupnya. Meskipun ini berarti seperti mengenyahkan bayangannya yang ada di cermin, namun sebisa mungkin akan (namakamu) lakukan.
Tidak ada yang salah, semuanya akan baik-baik saja, (namakamu) yakin hari-harinya akan berangsur membaik tepat saat dia memutuskan untuk melupakan lelaki itu. Setiap detik, (namakamu) selalu mengingatkan dirinya untuk tidak memikirkan lelaki itu; dimana dan sedang apa lelaki itu, dia benar-benar tidak perduli sekarang. Tapi kekonyolan selalu berusaha menyelinap masuk ke dalam pikirannya. Berkali-kali (namakamu) menepis bayangan wajah lelaki itu yang selalu mengantarkan luka pada hatinya, membuat lubang di hatinya semakin menganga lebar, sesaat setelah (namakamu) memandang tupperware biru yang ada di lemari dapur. (Namakamu) terpekur lama memandang benda biru itu, sampai akhirnya tangannya bergerak meraih benda itu dan di jatuhkannya ke tempat sampah.
(Namakamu) harus melupakan lelaki itu, ya, harus, tapi mengapa nama lelaki itu terus masuk ke dalam pikirannya? Kenapa air mata selalu jatuh saat malam tiba ketika ingatannya tanpa sengaja terbayang wajah lelaki itu; senyum itu, suara itu, dan tingkah lelaki itu yang selalu membosankan. Kenapa?
*
Dua hari berlalu tanpa tahu apa yang salah. Tanpa tahu kenapa ada yang berbeda, tanpa tahu kenapa semuanya begitu aneh, tanpa tahu kenapa ada sesuatu yang di inginkan namun malah terbesit sebuah pertanyaan. Apa? Apa yang di inginkan? Dua hari berlalu begitu saja seperti embusan angin yang melelahkan.
Iqbaal yakin tidak ada yang salah dengan hari-harinya, tapi mengapa dia seperti menemukan sesuatu yang salah? Entah itu saat dia memejamkan matanya saat ingin tidur atau pun ketika matanya terbuka kala pagi. Tidak ada yang salah, Iqbaal mengingatkan dirinya sendiri, dan berusaha melalui hari-harinya seperti hari-hari sebelumnya.
Satu harian ini Iqbaal berusaha fokus dengan rutinitas seperti biasanya, hanya saja saat pagi dia tidak perlu ke sekolah, mungkin hal itu akan dia dapatkan tiga hari lagi. Dan mungkin itu yang jadi masalahnya. Waktu paginya terlalu terbuang percuma, membuat isi kepalanya bingung ingin melakukan apa, waktu paginya hanya dia habiskan menonton acara televisi yang selalu membosankan. Tersebit untuk mengejar materi yang mungkin saja sudah di pelajari oleh murid-murid di kelas, tapi Iqbaal tak mampu. Isi dalam kepalanya mengatakan kalau dia tidak butuh itu, melainkan hal lain yang sampai saat ini belum Iqbaal ketahui apa jawabannya.
Dia terlalu naif.
Suatu pagi, ketika selesai mandi, Iqbaal menatap dirinya di cermin, memandang wajah seorang lelaki yang sangat mirip dengannya juga balas memandangnya. Ada yang salah dengan lelaki itu, lelaki yang ada di cermin. Mata hitam lelaki itu tak seperti biasanya, tak ada sinar, redup seperti malam tanpa bintang dan bulan. Ada yang salah dengan tatapan lelaki itu, seperti menginginkan sesuatu namun dia tahu itu salah. Tidak. Bukan salah, melainkan takut, tatapan lelaki itu memancarkan ketakutan. Takut akan kesendirian...
Apa yang salah? Selama ini Iqbaal selalu menghabikan waktunya sendirian, tidak peduli itu pagi, siang atau pun malam, dia selalu sendiri, dan merasa nyaman dengan kesendirian itu. Tapi mengapa, detik ini, saat ini, dia seperti merasakan ada suatu ketakutan saat dia sendiri.
Dia terlalu naif. Tak seharusnya dia selalu sendiri..
Iqbaal menepis pemikiran bodoh itu. Menurutnya sendiri lebih baik, tak akan ada yang dengan sengaja atau pun tidak, yang akan memberikan luka padanya. Iqbaal tak perlu bersusah payah memberikan kepercayaan pada siapapun ketika sendiri. Iqbaal tak perlu merasa takut kalau suatu saat merasa terhianti karena dia hanya sendiri, namun sudut hatinya mengatakan kalau dia membutuhkan seseorang, seseorang yang akan dengan senang hati mendengarkan segala curahannya, seseorang yang Iqbaal tak tahu 'itu' siapa.
Siangnya, Iqbaal lebih memilih merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Isi kepalanya di buat lelah dengan segala ke anehan yang menimpahnya selama dua hari ini. Iqbaal berusaha memejamkan matanya, berusaha melenyapkan rasa lelah yang tak nyata itu di tempat tidurnya, dan gagal. Isi kepalanya kembali teraduk seakan memaksa Iqbaal untuk kembali memutar otaknya tentang apa yang salah dengan hidupnya selama beberapa hari ini. Dan selalu berakhir dengan kenyerian. Iqbaal tak tahu jawabannya.
Dia terlalu naif. Tak seharusnya dia selalu sendiri. Dia membutuhkan seseorang....tapi siapa?
Malamnya, Iqbaal duduk diam dengan punggung yang menyender pada dinding. Menatap jendela kamar yang terbuka lebar, memperlihatkan kelamnya langit malam tanpa kehadiran bintang dan bulan.
Jendela? Menatap benda itu mengingatkan Iqbaal dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Gadis itu...dengan tingkah aneh yang tak tahu kenapa sangat dia rindukan saat ini. Kemana gadis itu? Apa gadis itu tak berniat memberikannya roti panggang bodoh setiap paginya? Sedang apa gadis itu? Apakah gadis itu sekarang sedang berusaha untuk membencinya?
Untuk pertama kalinya Iqbaal merasakan benar-benar
kehilangan. Dia yang kini merasa paling sendiri, paling sepi, paling sunyi, berdiri di tempat paling nyeri. Kehilangan gadis itu seperti kehilangan separuh hidup. Ya, mungkin gadis itu lah penyebab semua ini. Iqbaal seperti menatap tumpukkan puzzle yang sudah tersusun rapi tanpa dia sadar kalau ada satu cela yang tak terisi, seperti hatinya. Dan sebuah pertanyaan muncul. Siapa yang sepantasnya mengisi ruang kosong di hatinya itu? Dan jawabannya adalah...Iqbaal menggeram. Kejadian malam itu juga mengingatkannya dengan satu kejadian yang membuat hatinya lumpuh seketika.
'Pergi sama pacarnya' itu kalimat yang terlontar dari mulut mama gadis itu. Entahlah, saat itu rasanya Iqbaal seperti akan lenyap di telan oleh kesakitan. Tapi sangat kaget saat melihat gadis itu datang ke kediamannya-hampir tengah malam-berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan air mata berderai, gadis itu meneriakinya egois! Dan dengan bibir bergetar gadis itu membentaknya kalau dia tidak pernah memikirkan perasaan gadis itu!
Ini seperti melihat kalau kenyataan adalah mimpi yang kosong. Seperti harapan yang berakhir menjadi sebuah lelucon yang tidak lucu.
*
Tiba hari dimana Iqbaal melangkahkan kakinya keluar dengan menggunakan seragam serta tas yang tersampir di punggungnya. Sekilas Iqbaal menatap hampa ke jendela kosannya yang sudah benar itu, lalu matanya bergeser pada motor yang beberapa hari lalu dia ambil di rumah neneknya. Iqbaal tahu dia tak pernah membutuhkan itu. Iqbaal menghela napas panjang sebelum akhirnya dia benar-benar meninggalkan kosannya ini.
Hari ini langit tampak cerah, berwarna biru tanpa ada sedikit pun goresan kapas di atas sana, menandakan kalau hari ini akan begitu cerah. Embusan angin menerpa kulit Iqbaal dengan lembut saat langkahnya menembus gang kecil.
Ada yang berbeda dengan hari ini. Rasanya seperti mendapatkan hadiah berbungkus yang kita tidak tahu apa isinya. Hari ini sedikit berbeda, selain Iqbaal akan kembali ke sekolah, hal itu juga berarti Iqbaal akan kembali bisa melihat gadis itu. Ya, gadis itu. Sebisa mungkin Iqbaal berusaha melawan perasaan angkuhnya.
Sepanjang jalan Iqbaal terus kepikiran gadis itu. Apakah saat ini gadis itu sedang menunggunya di depan gerbang sekolah? Dengan wajah gelisah gadis itu mondar-mandir di depan gerbang tanpa memperdulikan tatapan aneh orang-orang yang mengarah padanya. Tapi bayangan itu segera lenyap, saat langkah Iqbaal sudah hampir dekat pada gerbang sekolah. Gerbang itu kosong, tak ada gadis itu, hanya saja sesekali beberapa murid turun dari motor, mobil dan jenis kendaraan lain untuk melintasi gerbang, selebihnya tak ada yang menetap di gerbang itu.
Kemana gadis itu?
Iqbaal menghela napas pendek untuk menenangkan pikirannya yang mulai terguncang. Terguncang saat mendapatkan kenyataan gadis itu benar-benar hilang. Mengabaikan pemikiran itu, Iqbaal melanjutkan langkahnya, kali ini lebih cepat, dia memasuki sekolah dan berjalan di koridor dengan tak santai. Tidak seperti biasanya. Seperti bukan dia saja, dan itu menarik perhatian murid-murid yang ada di koridor. Sebisa mungkin Iqbaal mengabaikan tatapan kurang senonoh para murid lelaki yang selalu menusuk ke arahnya setiap harinya, dan berusaha menghindari tatapan murid perempuan yang menatapnya penuh minat. Tapi tidak untuk kali ini. Semalam, sebelum tidur, Iqbaal sudah menetap kan hatinya untuk bersikap ramah pada siapapun. Dia merasa kalau hidupnya harus benar-benar berubah. Iqbaal tak menyangkal kalau ini dia lakukan semata-mata demi gadis itu. Ya. Gadis itu.
Dengan gerakkan kaku, Iqbaal memaksa sudut-sudut bibirnya terangkat, membuahkan hasil yang menurutnya cukup aneh, tapi begitu berakibat fatal bagi para murid-murid yang ada di koridor, terutama murid perempuan. Berbagai ekspresi Iqbaal lihat, dan itu membuatnya geli. Tapi sudahlah, dia hanya berusaha melakukan yang terbaik.
Iqbaal menghentikan langkahnya di ambang pintu kelas. Memaksa matanya untuk langsung menatap kursi milik gadis itu yang ternyata tak berpenghuni. Dimana gadis itu? Iqbaal yakin sebentar lagi telinganya akan mendengar suara bel tanda masuk, tapi mengapa dia tak melihat gadis itu? Seharusnya gadis itu sudah ada.
"Hei," suara Iqbaal tergagap saat berusaha menghentikan seorang murid perempuan yang ingin keluar kelas. Murid perempuan itu diam, mematung, dengan mulut terbuka tatapannya begitu mencerminkan 'sumpah lo nyapa gue?' "Lo ada liat (namakamu)?" Hati Iqbaal bergetar saat menyebut nama gadis itu.
Gadis itu diam tak bersuara namun sepasang matanya tak lepas memandang takjub ke arah Iqbaal. Separah inikah reaksi mereka? Pikir Iqbaal.
"Lo ada liat (namakamu)?" Tanya Iqbaal lagi, kali ini dia sengaja menekan suaranya berharap gadis di hadapannya lekas sadar.
"Eh, (namakamu)?" Gadis itu tersentak. "Dia udah nggak masuk selama tiga hari, dan tambah hari ini mungkin jadi empat," jelas gadis itu salah tingkah.
(Namakamu) nggak masuk selama tiga hari? Dan tambah hari ini menjadi empat hari? Pernyataan murid perempuan itu membuat Iqbaal ingin membuat tingkah gila. Seperti bolos hari ini juga, tapi bel sudah berkumandang, tak lama kemudian, Bu Indry muncul di belakangnya, memerintahkan dia agar segera masuk.
*
"...obatnya di minum! Biar cepet sembuh, ya ampun, (namakamu), kalau kayak gini, kamu kapan sekolahnya. Senin udah ujian kan?!" Mama (namakamu) mendesah, menggeram sekuat tenaga agar tidak meledak-ledak saat melihat (namakamu) mengelak setiap kali dia menyuapkan obat resep yang sudah di berikan dokter.
(Namakamu) berguling kesan-kemari berusaha menghindari mamanya yang dengan paksa menyodorkan beberapa obat bentuk permen kepadanya. Kemarin dokter datang memeriksanya, mengatakan pada mamanya kalau (namakamu) hanya kurang istirahat, kondisinya melemah dan perlu istirahat selama beberapa hari. (Namakamu) juga merasakan kepalanya memang pusing dan suhu tubuhnya menghangat.
"(Namakamu)!" Mama (namakamu) sudah seperti orang gila, akhirnya dia menangkup mulut (namakamu), mencengkramnya dengan sedikit kuat, lalu sebelah tanganya yang bebas berusaha menjejalkan beberapa butir obat ke mulut (namakamu).
(Namakamu) berusaha meronta minta di lepas tapi saat tiba-tiba mamanya mencubit perutnya, (namakamu) yang kesakitan pun meringis dan berteriak tertahan, dan...kesempatan itu di pakai mamanya untuk menjejalkan seluruh obat ke mulut (namakamu). (Namakamu) yang merasa tenggorokkannya tercekat pun cepat-cepat mengambil segelas air yang ada di nakas, dan meminumnya. Menghela napas pendek, (namakamu) merasakan tenggorokkannya sudah seperti semula.
"Mama mau bunuh aku!"
"Mama mau ngobatin kamu!"
"Tapi tadi aku hampir mati!"
"Masih hampir!"
"(¬_¬')"
(Namakamu) lebih memilih mengerucutkan bibirnya, lalu membanting badannya ke tempat tidur yang nyaman dengan asal. Obatnya memang tidak sempat menyecap di lidahnya tapi tetap saja, bayangan rasa kemarin masih terasa pahit sampai saat ini. Mamanya hanya bisa menggeleng melihat tingkahnya yang seperti itu. Tiba-tiba suara pintu terbuka membuat (namakamu) dan mamanya menoleh secara bersamaan ke pintu, dan muncul lah dua sosok lelaki yang membuat (namakamu) menautkan alisnya, sedangkan mamanya beranjak berdiri.
"Lo pada ngapain kesini?" Tanya (namakamu) pada tamunya.
Kedua lelaki yang baru masuk serta membawa beberapa kantung plastik itu mengernyit tak suka mendengar pertanyaan (namakamu).
"Kalau gitu mama ke dapur dulu," tidak ada yang memperdulikan ucapan mama (namakamu). Mengangkat bahunya, mama (namakamu) melenggangkan kakinya keluar kamar lalu menutup pintu.
"Kita bawa racun buat lo supaya cepet mati," jawab Gilang seraya melempar sebungkus plastik yang ada di tangannya pada (namakamu).
"Temennya dateng di sambut yang ramah dong, pertanyaan lo kayak orang nggak sekolah aja!" Kata Difa yang jengkel dengan sambutan (namakamu) tadi. "Lo sakit apaan? Bisa sakit juga lo, nyet?"
"Eh, Difa, sejak kapan mulut lo ketularan sih Bagas sama Gilang!" (Namakamu) mendelik pada Difa, lalu menimpuk lelaki itu dengan guling sampai Difa nyaris terjengkang.
"Sejak lo cuma pentingi cowok sialan itu, lo sekarang nggak asik! Kita pikir beberapa hari ini lo nggak dateng karena bolos nemeni cowok sialan itu, tapi ternyata lo sakit. Bersyukur juga gue sih," Difa mengembuskan napass lega, berjalan ke tempat tidur (namakamu) untuk mengambil satu buah jeruk di nakas.
Cowok sialan itu? Oke, (namakamu) tidak perlu membayangkan wajah lelaki itu lagi. Tidak perlu, dia sudah berjanji pada malam yang selalu menyaksikan dia menangis kalau dia akan melupakan lelaki itu. (Namakamu) menghela napas, dan tersenyum. Berselang dua detik, (namakamu) merasakan tangan Gilang menyentuh keningnya.
"Gila?" Dengan polosnya Gilang bertanya seperti itu.
"Apa sih!" (Namakamu) menepis kesal tangan Gilang.
"Lo berdua ngapa kagak sekolah! Udah pinter apa?! Senin kan ujian!" Pertanyaan lainnya yang sejak tadi ingin (namakamu) tanya kan pada kedua lelaki ini.
"Males," jawab Difa enteng. Mulutnya penuh dengan potongan apel.
"Nggak asik, di sekolah, pelajaran diluar kepala gue semua. Bosenin, apalagi si Ratna sama Bu indry, ya ampun, gila kali ya, mereka, kagak tau apa gue siapa?" Wajah songong terlukis jelas di wajah Gilang, lelaki itu kemudian menyenggol pelan Difa yang tengah menikmati apel. "Kasih tau, Fa, gue siapa,"
"Anaknya Albert Einstein, cucunya Newton, temennya Alexander Graham Bale, sepupunya Alva Edison," ucap Difa masih dengan mulut yang penuh dengan potongan apel. (Namakamu) yang melihat itu sampai menggidikkan bahu.
"Terus Bagas mana?"
Hening. Baik Gilang maupun Difa mendadak mematung, sampai akhirnya Difa tersedak karena apel barulah Gilang bersuara.
"YA AMPUN! GUE LUPA NGASIH TAU LO!" Wajah Gilang syok, dengan biadabnya dia mengguncang badan (namakamu). "BAGAS TADI PAGI BILANG SAMA GUE KALO DIA PULKAM KE SUMEDANG! NENEKNYA MENINGGAL!"
Entah karena efek obat atau memang guncangan Gilang yang begitu biadab, (namakamu) merasakan kalau perutnya mengantarkan signal aneh sampai ke tenggorokkannya, memaksa (namakamu) untuk segera mengeluarkan isi perutnya detik itu juga. Tapi dengan sekuat tenaga (namakamu)tahan, (namakamu) meletakkan sebelah tangannya ke mulut, berharap isi perutnya tidak keluar.
"Muka lo pucet, kenapa?" Kening Gilang berkerut resah, sejak tadi memang wajah (namakamu) pucat tapi tidak sekentaran seperti saat ini.
(Namakamu) menggeleng dengan tangan yang masih menutup mulutnya.
"Bagas titip salam buat lo," beritahu Difa sambil menatap ke arah (namakamu), sedikit mencondongkan badannya, Difa hendak mengambil satu bauh apel lagi namun tangannya ke buru di tepis oleh Gilang. "apasih!"
"Pamali makan buah orang sakit! Ntar lo juga ikutan sakit!" Omel Gilang.
Sebelah alis Difa terangkat heran. "Jadi maksud lo, lo mengkhawtirkan gue?"
"Bukan lonya,"
"So?"
"Kantong gue, kalo lo sakit ntar gue sama (namakamu) besuk lo. Dan dengan berat hati gue bakalan ngeluarin isi kantong gue buat beli kayak gitu," dengan bibir yang mengerucut, Gilang menunjuk ke arah bungkusan plastik yang masih di genggam oleh (namakamu).
"Dasar pelit lo! Awas aja kalo lo sakit! Gue bakalan bungkusin batu bata buat lo!" Ancam Difa, yang malah membuat Gilang menjulurkan lidah mengejek. "(Namakamu), buka dong plastiknya, kita makan sama-sama!" Kata Difa semangat.
"Roti doang pea!" Beritahu Gilang sewot.
Tapi Difa mengabaikan perkataan lelaki itu. "Yaudah, (namakamu), rotinya lo panggang aja, selainya lo buang. Gue yakin nggak enak tuh selainya, murahan punya,"
Gilang tercengang. "Maksud bacot lo apaan, nyet!"
"Oh ya, coba lo periksa dulu tuh bungkusan rotinya, siapa tau aja rotinya udah kadaluwarsa,"
"Lo pikir gue sepelit itu beliin roti kadaluwarsa buat temen sendiri!" Gilang berteriak lagi.
"Terus lo periksa tuh roti setiap incinya, mana tau udah berjamur," mata Difa mengerling sinis ke arah roti pemberian Gilang, yang sekarang sudah di buka oleh (namakamu). "Biar lebih yakin kalo nih anak setan nggak ngeracuni lo, lo cium roti itu, kalo baunya kayak ketek bopak! Lo sumpeli aja ke mulut nih anak setan sampe dia muntah!" Tanpa sadar, telunjuk Difa sudah menuding ke wajah bodoh Gilang.
Gilang yang mendapatkan penghinaan beruntun dari Difa itu mendadak bungkam. Rasanya aneh, perih dan nyeri di bagian hatinya.
Gue lagi......patah hati?
*
Tidak ada gadis itu. Tidak ada. Gadis itu seperti benar-benar menghilang dari hidupnya. Apakah gadis itu benar-benar kecewa atas sikapnya beberapa hari yang lalu? Apa gadis itu tidak akan pernah kembali seperti dulu? Apakah gadis itu benar-benar membenci saat ini?
Selama hampir seminggu, Iqbaal tidak melihat wajah gadis itu, tidak mendengar suara gadis itu, tidak melihat tingkah konyol gadis itu yang 'dulu' hampir setiap saat menjadi tontonan grastinya. Menurut salah satu teman sekelasnya, gadis itu sudah tidak masuk selama empat hari, dan tertera di buku absen siswa kalau keterangan gadis itu adalah sakit.
Sakit? Apa benar gadis itu sakit? Kalau iya, bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik saja? Apa gadis itu akan berteriak marah seperti beberapa hari yang lalu kalau Iqbaal datang untuk melihat keadaan gadis itu? Iqbaal menggeleng lemah saat kepalanya mengulang kalimat 'melihat keadaan gadis itu' dia tak yakin memiliki keberanian untuk melihat keadaan gadis itu. Tidak, Iqbaal tak pernah memiliki keberanian seperti gadis itu. Tidak akan pernah.
Pukul dua siang.
Iqbaal meraih ponselnya yang tergeletak asal di tempat tidur, menatap lama layar ponselnya dengan sikap berpikir, tak lama tangannya bergerak-gerak dengan lincah di layar ponsel, mencari-cari nomor ponsel gadis itu yang dia 'curi' beberapa hari yang lalu di ponsel gadis itu. Sedikit menghirup udara, Iqbaal kemudian mengeluarkannya secara perlahan, beriringan dengan sisa keberanian untuk menekan 'call' di sudut bawah layar ponselnya.
Dia ingin mendengar suara gadis itu..
Panggilan tersambung, hanya kurang dari enam detik bagi Iqbaal untuk mendengar suara gadis itu di speaker ponselnya.
"Halo?" Suara gadis itu untuk pertama kalinya kembali terdengar di telinganya paska kejadian beberapa hari yang lalu. Suaranya memang sedikit berbeda, sedikit serak khas orang sakit.
"Halo? Ini siapa? Halo?!" Suara gadis itu sekarang meninggi, menahan kesal. Dan entah mengapa membuat Iqbaal tertawa pelan, di tambah lagi imajinasinya membayangkan wajah kesal gadis itu saat ini.
Sambungan terputus. Gadis itu yang mengakhiri, tapi entah mengapa Iqbaal tidak merasa kesal melainkan sekarang hatinya mulai tenang karena luka rindu di hatinya perlahan mulai terobati. Senyum Iqbaal mengembang.
Bersambung...
@aryaandaa.

My Stupid GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang