'My Stupid Girl' [3]
by Muhammad Aryanda
- oOo -
"Kamu masih belum bisa maafin mama? Papa?" Tanya mama Iqbaal tiba-tiba, ada jeda lama, mungkin wanita itu sedang menunggu jawaban dari Iqbaal. "Mama terima kalau kamu memang belum bisa maafin kami berdua, tapi satu hal yang harus kamu tau, sebenci apapun kamu sama kami, mama dan papa akan selalu tetap mencintai kamu sampai kapan pun itu,"
Hening. Tidak ada suara lagi setelah itu, berselang hampir setengah jam, (namakamu) mendengar suara berisik yang di hasilkan oleh plastik menarik perhatiannya, (namakamu) pikir itu miliknya, ternyata milik mama Iqbaal.
"Ini mama bawa makanan untuk kamu, dan perlengkapan lainnya. Mama susun ya?"
Tidak ada jawaban dari Iqbaal. Wanita itu segera beranjak dari posisi duduknya, dan melangkah ke dapur, mungkin untuk menyusun persediaan makanan di kulkas atau apalah itu, yang jelas setelah wanita itu pergi dari hadapan Iqbaal, (namakamu) melihat Iqbaal melangkah masuk ke dalam kamar, menutup pintu kemudian terdengar sebuah isakan yang tidak terlalu kentara. Hanya sekali, selebihnya (namakamu) tak mendengar apa-apa.
*
Berbeda dengan hari kemarin, hari ini langit tampak lebih gelap meskipun tak terlalu kentara. Sinar matahari pagi yang biasanya selalu sukses menerobos dengan pekat ke setiap ventilasi rumah, kini terganti dengan udara dingin yang bertiup pelan.
(Namakamu) menghela napas pendek, mengusap kedua telapak tangannya berharap mendapatkan kehangatan disana lalu di usapkannya ke wajah. Baru setelah itu (namakamu) menyeberang dengan hati-hati. Sesekali (namakamu) meremas ujung sweter pink yang dia kenakan saat angin sedingin es tanpa sengaja menyengat kulit lehernya yang telanjang. Ketika sudah berada di depan pintu gerbang sekolah, (namakamu) sedikit menjenjangkan lehernya untuk melihat lebih jauh ke dalam; sekolah masih sepi padahal (namakamu) yakin sebentar lagi akan terdengar bel masuk, jadi (namakamu) putuskan untuk tidak langsung masuk, menunggu teman-temannya mungkin atau Iqbaal. Yeah, kebiasaan setiap harinya tidak akan pernah dia lupakan.
(Namakamu) baru akan memutar badannya untuk menghadap ke jalan saat tiba-tiba saja sosok seorang gadis menarik perhatiannya. Wajah gadis itu yang biasanya selalu nyolot, sekarang tergantikan dengan garis-garis kasar; murung.
"Muka lo kayak sampah belom di daur ulang," cibir (namakamu) saat Bella berjalan ke arahnya.
Kaget mendengar suara (namakamu), Bella yang sedari tadi hanya menunduk itu pun perlahan mulai mengangkat wajahnya. "Gue lagi males ribut!" Katanya.
(Namakamu) berdecak lalu mengangkat bahunya, menuruti apa yang baru saja di ucapkan Bella. Keduanya berdiri dalam diam sambil memperhatikan jalan dengan wajah yang berbeda; (namakamu) dengan wajah ceria seperti biasa menunggu calon suaminya sedangkan Bella tetap memasang siluet murung di wajahnya.
"Nyet, emang lo belom denger gosip terbaru ya?" Tiba-tiba suara Bella memecahkan keheningan yang sudah berlangsung selama hampir sepuluh menit.
(Namakamu) menolehkan wajahnya, memandang Bella dengan sebelah alis terangkat. Tidak biasanya gadis ini akan mengajaknya bergosip bersama.
"Gosip apaan,"
"Liat aja noh di mading! Lagi rame!" Dengan wajah kesal, Bella melemparkan telunjuknya asal ke arah sekolah.
"Ngomong terus kek, males banget gue ke dalem,"
Bella menghela napas lalu menatap (namakamu) dengan kesal. "Ada yang nulis artikel di mading, tentang cowok gue,"
Mulut (namakamu) menganga. "Maksud lo suami gue?"
"Gue yakin pasti ini kerjaanya temen sih Salsha deh! Yaelah males banget tau, berurusan sama orang kayak gitu. Sok cantik, sok berkuasa, sok lah pokoknya!" Bella nyerocos tak jelas, yang sama sekali tak ada satu kata pun dalam kalimatnya yang membuat (namakamu) paham.
"Lo lagi ngomongi apa sih!"
"Makanya lo liat noh di mading!"
Hening. Lama keduanya saling tatap menatap dengan ngeri, seolah selama beberapa detik keduanya saling berpandangan seperti itu sebuah laser dengan warna berbeda keluar dari mata masing-masing. Bibir keduanya pun semakin lama semakin mengerucut tak jelas, sudut-sudut mata mereka berkerut resah, dan finally, (namakamu) menghentakan kakinya kuat-kuat dan berlalu meninggalkan Bella.
(Namakamu) berjalan tergesah-gesah di koridor sekolah, pandangannya langsung mengarah pada mading sekolah yang berada di dekat kantin. Di ujung sana. Dan dari sini (namakamu) bisa melihat segerombolan murid berada di depan mading dengan wajah antusias, terlebih murid perempuan, seolah gosip baru yang kata Kang Begal menyangkut Iqbaal, sangatlah penting bagi kaum hawa di sekolah ini. (Namakamu) tiba di dekat kerumunan itu sedetik setelah bel masuk berbunyi, tanpa memikirkan murid lain yang sudah wanti-wanti ingin berada paling depan agar bisa melihat artikel dengan jelas, (namakamu) langsung nyerobot masuk, sambil menyingkirkan tangan-tangan yang berusaha menghalanginya. Setelah sudah berada di paling depan, (namakamu) lebih dulu membungkuk untuk menghela napas, baru setelah itu dia mengangkat wajahnya dan menatap artikel yang baru terbit itu dengan rinci.
IQBAAL SEORANG GAY!
Sebelah tangan (namakamu) langsung menangkup jantungnya, seakan dengan begitu (namakamu) bisa menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak sepuluh kali lipat dari biasanya, sementara tangannya yang bebas menutup mulutnya yang menganga karena shock. Setelah membaca judulnya, mata (namakamu) mengarah pada sekumpulan foto-foto yang sangat menjijikan. Tidak perlu di jelaskan karena memang foto itu sama percis seperti apa yang tertera pada judulnya, dan itu 100% editan!
Kekesalan (namakamu) semakin memuncak saat sederet kalimat di bawah foto itu menceritakan kejadian kemarin; paska Iqbaal menolak cinta Salsha, dan cerita itu juga 100% bohong!
"Iqbaal nggak bisa nerima cinta Salsha karena pemuda itu mengaku kalau dia seorang gay." Begitu tulisan yang tertera di akhir cerita bohong itu.
(Namakamu) yang sudah sangat kesal dengan berita pagi ini, perlahan namun pasti tubuhnya mulai bereaksi, dari mulai wajahnya yang berubah kemerahan hingga urat-urat di lehernya yang menyembul. Memutar badannya, (namakamu) menerobos kerumunan dengan liar, membiarkan murid-murid perempuan lainnya memaki dirinya. Setelah berhasil keluar dari kerumunan itu, (namakamu) langsung membungkuk, mengambil sebuah batu yang ukurannya dua kali lipat dari genggamannya.
"MINGGIR!" Teriak (namakamu), reflek semua murid perempuan yang ada di depan mading itu menolehkan wajahnya pada sumber suara, dan tak lama suara pecahan kaca pun terdengar begitu mengerikan. Murid-murid yang ada di depan mading menatap (namakamu) ngeri, satu persatu dari mereka mulai menyingkir. "Ini berita bohong! Semuanya bohong! Cerita sebenernya nggak kayak gitu! Dan foto itu jelas editan!" (Namakamu) menyeret langkahnya agar kembali ke depan mading itu, menarik artikel murahan itu lalu mereboknya. Semua murid yang melihat tindakan (namakamu) di buat tercengang. Dasar gadis gila!
"...lo harus liat artikelnya! Ini menyangkut nama baik lo!"
Pandangan murid-murid sekarang tak lagi mengarah pada (namakamu), melainkan pada kehadiran Bella yang mendadak heboh. Gadis itu menarik-narik lengan seorang lelaki yang namanya pagi ini menjadi topik hangat. Bella yang terlalu fokus pada Iqbaal pun sangat kaget begitu melihat mading dan mendapati (namakamu) dengan wajah basah merobek-robek sebuah kertas HVS dan foto. Kemudian tatapan Bella terjatuh pada pecahan kaca yang berserakan di sekitar kaki (namakamu), mulut Bella menganga saking tidak percayanya dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Gadis itu.....tidak bisa lebih sinting ya?
Bella menggoyang-goyangkan lengan Iqbaal, berharap lelaki itu mengatakan sepatah kata, tapi belum sempat Bella mendengar apapun yang akan di lontarkan oleh Iqbaal. Seorang guru lelaki keluar dari kantin, dengan tatapan tajam dia memerintahkan semua murid untuk bubar, tapi ketika tatapannya mendapati pecahan kaca yang berserakan dimana-mana....
"SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS SEMUA INI?!!"
Serempak semua telunjuk murid-murid yang ada di tempat kejadin terangkat dan mengarah pada (namakamu). Kecuali Bella dan Iqbaal.
*
"...(Namakamu)! Ibu heran sama kamu, selalu aja kamu yang masuk ke ruangan ini, memangnya peringatan dari Bu Masita sama kamu nggak bikin kamu takut, hah?! Kalau aja kamu bukan murid yang berprestasi mungkin jauh-jauh hari ibu udah ngasih surat peringatan sama orang tua kamu!" Di depan (namakamu) berdiri seorang guru cantik yang usianya masih bisa di bilang muda, tapi wajah cantiknya itu seolah terhapus begitu saja saat dia berteriak-teriak marah seperti orang gila saat ini. "Kamu pasti inget kan, tentang peringatan Bu Masita sama kamu yang terakhir?"
(Namakamu) yang sedaritadi menunduk perlahan mulai mengangkat wajahnya. "Tapi kan kali ini saya nggak berantem, Bu, cuma..,"
"Cuma?" Bu Indry menyela sambil mendelik.
"Cuma pecahin kaca mading sekolah," lanjut (namakamu) pasrah.
"Bagus! Dari tukang berantem sekarang kamu beralih profesi jadi tukang pecahin kaca? Iya? Besok apalagi?!" Suara Bu Indry naik dua oktaf.
"Bakar sekolah mungkin, Bu," (namakamu) bergidik.
"(Namakamu)!" Teriakan Bu Indry seperti peringatan.
"Iya, bu, saya minta maaf, janji nggak bakalan ngul..," kalimat (namakamu) terputus karena tiba-tiba saja dia merasakan telinganya tertarik kuat, dan hanya butuh waktu tiga detik setelah tangan Bu Indry enyah dari telinganya, (namakamu) bisa merasakan telinganya begitu panas seperti hendak terbakar.
"Sekarang keluar!!"
(Namakamu) mengangguk cepat, mengusap telinganya berkali-kali lalu menyalami Bu Indry sambil terkekeh, baru setelah itu (namakamu) ngacir keluar.
*
"Bego!"
"Idiot!"
"Tolol!"
(Namakamu) baru saja keluar dari ruang BP, ingin bernapas legah karena urusannya sudah selesai dengan wali kelasnya itu, tapi ketika (namakamu) baru menginjakan kakinya di lantai koridor, (namakamu) merasakan beberapa orang secara bergantian; menyentil telinganya, menarik telinganya, dan menginjak kakinya.
"Bagas! Gilang! Difa!" (Namakamu) langsung berteriak marah pada ketiga temannya itu. Tapi teriakan mengerikan (namakamu) seakan tak mendapatkan hasil, ketiga lelaki itu tetap menatap (namakamu) dengan ngeri, seolah cerita dari Bella tentang kebodohan (namakamu) untuk lelaki sialan itu membuat amarah Bagas, Difa, Gilang tak terelakan.
"Dasar bego ya lo, (namakamu), tingkah lo yang barusan itu bener-bener gila di atas gila!" Cerocos Bagas.
"Cewek paling sinting di antara manusia paling sinting!" Gilang menambahkan.
"Cinta ya cinta, (namakamu), tapi nggak gitu juga kale. Kesannya lo kayak cewek murahan," Difa ikut-ikutan seakan tak mau ketinggalan untuk menasehati (namakamu).
Bagas melihat mulut (namakamu) terbuka hendak melontarkan pembelaan, tapi dengan cepat Bagas menyela. "Cabe di pasar aja makin mahal, beda sama harga diri lo yang makin hari makin turun terus!" Di akhir kalimat Bagas menyempatkan untuk menjitak kepala (namakamu).
(Namakamu) meringis. "Ssh, kalian itu nggak ngerti yang namanya cinta!" Ucap (namakamu), dan langsung mendapatkan kekehan dari ketiga temannya.
"Cinta? Cinta apaan? Lo itu bukan cinta tapi terobsesi!" Sahut Gilang tajam.
Berkat jitakan Bagas tadi, (Namakamu) merasakan ada yang berdenyut-denyut di bagian puncak kepalanya. Gadis itu mengelus-ngelus bagian yang semakin memanas itu sambil menggerutu tak jelas.
"Yang namanya cinta itu saling memperjuangkan, kalau yang memperjuangi cintanya cuma satu pihak, itu sih sia-sia doang," Difa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap menyesal.
"Nggak gitu juga," (namakamu) menyeret langkahnya menuju kursi yang ada di depan ruang BP, kemudian duduk. (Namakamu) memandang ketiga temannya dengan pandangan kosong lalu dia alihkan ke depan, melihat segerombolan murid-murid yang tengah menikmati jam olahraga. "Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping. Gue nggak maksa Iqbaal untuk balas cinta gue, karena gue nggak pernah mengemis untuk cinta, gue emang suka dan cinta sama dia, tapi kalo ngemis? Engga deh,"
"Tingkah lo selama ini lebih dari kata ngemis," celetuk Bagas.
"Yang namannya mengemis itu, meminta! Meminta seseorang untuk membalas cintanya, kayak kakak kelas lo itu," (namakamu) tersenyum miring pada Bagas. "Sebodoh-bodohnya tingkah gue selama ini, gue nggak pernah ngelakui hal sebodoh itu. Nyatain cinta sama cowok? Nggak kebayang gue,"
"Lo munafik (namakamu), lo pasti ngarepin si Iqbaal bales cinta lo kan?" Bagas menatap sengit (namakamu), tidak bisa di hindari kalau dia tidak terima (namakamu) menghina orang yang dia sukai.
"Ngarep ya pasti. Tapi apa yang namanya harapan pasti butuh perjuangan, dan saat ini gue lagi memperjuangkan apa yang gue harapkan," tutup (namakamu). Setelah itu, dia beranjak dari posisi duduknya, berjalan meninggalkan ketiga temannya yang menatapnya dengan berbagai macam eskpresi.
*
Iqbaal menengadahkan wajahnya, memandang langit gelap yang setitik pun tak memperlihatkan sang matahari sejak pagi tadi. Langit yang gelap namun tak terlalu kentara itu, tampak hampa tanpa adanya kehadiran awan-awan disana. Iqbaal duduk di bawah pohon rindang yang ada di halaman belakang sekolah, duduk dengan menyenderkan punggungnya ke badan pohon sambil sesekali mengulang kembali materi yang ada di kelas tadi. Sedikit terganggu dengan kehadiran beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya berada, Iqbaal menyematkan headset ketelinganya. Iqbaal agak menyesal karena tadi pagi tidak membawa jaket karena sepertinya hujan sebentar lagi akan turun.
Alunan lagu yang berdentang di telinganya perlahan membuat Iqbaal merasakan kenyamanan yang amat sangat, matanya pun perlahan mulai tertutup membiarkan fantasi dalam lagu ini menguasai dirinya. Ketika lagu akan memasuki detik penghabisan, Iqbaal merasakan kalau ada seseorang berada di dekatnya. Apakah yang ada di dekatnya sekarang adalah gadis bodoh itu? Iqbaal tidak akan rela menghancurkan ketenangan yang sudah tercipta dalam pikirannya saat ini kalau dia membuka matanya dan mendapati wajah gadis itu berada beberapa centi di depan wajahnya lengkap dengan senyuman bodoh seperti biasanya. Iqbaal menahan matanya agar tidak terbuka, dia berusaha melenyapkan rohnya ke dalam alunan lagu berikutnya, namun gagal.
Iqbaal merasa kalau seseorang atau apapun itu, yang sekarang berada di dekatnya bukanlah gadis bodoh itu. Gadis bodoh itu tidak pernah diam atau bertingkah misterius, dia selalu ceroboh dan kelihatan tolol. Jadi Iqbaal membuka matanya, membiarkan kedamaian sejenak menghilang, dan di dapatinya...
"..ngapain lo tidur disini?! Nggak punya rumah apa lo! Dasar bocah!"
Satu sampai lima detik Iqbaal membiarkan matanya menatap keempat murid lelaki, yang ada di hadapannya dengan sikap mengamati. Apakah dia mengenal orang-orang ini? Tapi rasanya wajah mereka tidak terlalu asing di dalam ingatannya. Mereka.....adalah kakak-kakak kelas yang mementori murid lelaki pada saat MOS. Iqbaal mengenali lelaki yang paling mencolok di antara yang lainnya, lelaki bernama Farrel itu adalah ketua tim basket sekolah ini.
Iqbaal tetap pada posisinya, seolah tak terlalu perduli dengan kehadiran keempat seniornya itu. Dan itu jelas membuat Farrel sebagai ketua merasa di abaikan.
"Dasar homo," Farrel membungkuk dan tersenyum miring kepada Iqbaal. "Lo nggak usah besar kepala dengan kejadian kemarin, gue tau Salsha pasti keliru karena udah jatuh cinta sama lo, bocah ingusan!" Farrel seperti hendak ingin menolak kepala Iqbaal, tapi sepertinya gerakannya sudah terbaca dan di tepis oleh Iqbaal. "Jadi lo nantangi gue," amarah Farrel memuncak, tangannya bergerak melayang ke arah Iqbaal tapi seseorang menahannya.
"Ini sekolah, mungkin lo bisa nahan amarah lo sekitar beberapa jam lagi," kata lelaki yang menahann pukulan Farrel.
Farrel menepis tangan lelaki itu, lalu melempar telunjuknya tepat di depan wajah Iqbaal.
"Lo harus tau kalau ini baru aja di mulai, dan sampai kapan pun urusan kita nggak akan pernah selesai. Lo udah buat cewek yang gue sayang nangis, dan lo juga harus menanggung akibatnya. Ngerti!" Ucap Farrel, nada mengancam dalam suaranya terlihat jelas sekali, tapi tidak ada sedikitpun perubahan ekspresi di wajah adik kelasnya itu. Dan itu membuat Farrel semakin tertantang.
*
Hujan sudah mengguyur kota Jakarta satu jam yang lalu, dalam sekejap saja jalanan sudah basah oleh air, dan hujan juga membuat beberapa orang menepi ke pinggiran toko. Sedangkan Sekolah Menengah Atas Tunas Bangsa, bel tanda di bubarkannya sekolah sudah berdering setengah jam yang lalu. Murid-murid yang merasa tidak membawa perlengkapan untuk menghindari hujan pun terpaksa harus menunggu di koridor atau di dalam kelas, menunggu agar hujan sedikit mereda.
Sama dengan beberapa murid yang lainnya, Iqbaal terpaksa harus terjebak di sekolah karena tidak memiliki perlengkapan berupa payung atau sekedar jaket. Iqbaal masih duduk di dalam kelas, menatap hampa pada lantai kelas yang tak bergerak itu, dia sesekali menghela napas pendek, melemparkan pandangan ke arah luar jendela dengan sebal. Lebih baik basah sekalian daripada harus berlarut lama di tempat ini, jadi Iqbaal langsung menyambar tasnya, dan berjalan meninggalkan kelas. Iqbaal membiarkan tupperware biru itu tetap berada di mejanya tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun.
Koridor di penuhi oleh murid-murid, Iqbaal berjalan sehati-hati mungkin agar tidak menabrak salah satu dari mereka, terlebih murid perempuan, karena kalau itu terjadi urusannya akan sangat panjang. Iqbaal bisa mendengar beberapa murid lelaki berdesis ke arahnya, sepertinya artikel tadi pagi masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja. Ketika Iqbaal berada di ujung koridor, Iqbaal menghentikan langkahnya, mengangkat wajahnya untuk menerawang ke langit gelap yang terus menurunkan butiran basah itu. Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya, membuat Iqbaal segera memutar badannya.
"Ini jaket buat lo,"
Gadis ini lagi. Begitu kira-kira ekspresi wajah Iqbaal saat ini. Dia memandang gadis yang tengah menyodorkan sebuah jamper abu-abu lengkap dengan pelindung kepala sambil tersenyum. Kemudian mata Iqbaal menatap sweter pink yang di kenakan oleh gadis bodoh itu.
Apa dia sengaja membawa jaket ini untuk Iqbaal? Begitu kah? Dan mengharapkan agar Iqbaal menerima tawaranya? Lalu besok mengembalikannya agar gadis ini bisa memiliki kesempatan yang lumayan masuk akal agar bisa berbicara dengan Iqbaal?
"Kalau lo keberatan balikin jaket ini karena nggak mau bicara sama gue, nggak masalah, lo nggak perlu balikin, bisa lo simpen sebagai kenangan atau lo buang. Mungkin opsi kedua lebih bagus," ucap gadis itu panjang lebar, senyum tetap terukir di wajah bodohnya itu.
Akan tetapi, Iqbaal adalah Iqbaal, lelaki dingin yang sama sekali merasa tidak pernah membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Karena dia merasa apapun yang dia inginkan bisa dia lakukan hanya dengan seorang diri. Iqbaal memutar badannya, dan berjalan meninggalkan (namakamu) yang masih mengangkat setengah tangannya. Seiring menjauhnya langkah membawa Iqbaal, perlahan senyum yang terukir di wajah (namakamu) mulai menghilang.
Bersambung...
@Aryaandaa.
![](https://img.wattpad.com/cover/52199298-288-k134442.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid Girl
Romance" Cinta sejati itu rela berkorban untuk kebahagiaan pujaan hatinya, namun ia akan tetap tersenyum untuknya meski hatinya hancur berkeping-keping "