"Nomor urut lo diambil Dy." Ucap Ariska.
"Dasar Setan! Kenapa kita bisa punya sahabat sejahat elo!" Fanny berteriak.
"Hm... Terserahlah... Siapa siap selanjutnya?" Ariska menaruh telunjuknya ditangan.
"Gimana kalo Hilda dulu?" Usul Fajar Rizky.
"Hilda ya? Hm... Boleh deh. Bawa kesini Jar."
Fajar Rizky berjalan menghampiri Hilda. Cewek itu bergidik ngeri saat Fajar Rizky menghampirinya.
"Please, Jar? Lo sayang sama gue kan? Please Jar." Hilda memohon.
"Lo terlalu jahat buat gue." Fajar Rizky menyeret kasar bahu Hilda.
Finna berteriak histeris, begitu pun Fanny. Perlahan ruangan ini menjadi banyak menggemakan suara isak tangis yang memilukan.
Brak! Fajar Rizky menjatuhkan Hilda tepat disebelah Aldy.
"Awww." Hilda mengaduh.
"Cara apa yang kita lakukan selanjutnya? Kita lihat... ada apa didalam tas ini." Ariska merogoh tasnya kembali. Tak lama, ia mengeluarkan sebuah silet.
"Silet? Benda kecil ini. Bisa buat mematikan seseorang." Ariska berjongkok. "Geser dikit Da. Aldy nggak tahan." Ariska menggeser perlahan bahu Hilda.
"Mau rasa sakit dulu? Apa langsung baru sakit? Pilihan ada dua." Ucap Ariska.
Hilda tak menjawab, sibuk dengan perasaannya yang bergemuruh.
"Ada pesan-pesan terakhir?" Tanya Ariska.
Hilda kembali terdiam, isak tangisnya membesar. Sedih.
"Pipi ini terlalu besar untuk lo. Jadinya, gue kecilin ya? Biar keliatan lebih tirus."
Ariska menggesekan silet pada pipi kanan Hilda. Perlahan tapi pasti, gesekan itu berubah menjadi sayatan besar. Kulit pada pipi Hilda menghilang. Daging sedikit terlihat dari balik sana. Darah mengalir sedikit demi sedikit dari pipi Hilda. Tetapi... Cewek itu masih bertahan.
"Ariska... lo beda. Nggak kayak yang gue kenal. Awww." Sesekali Hilda mengaduh saat airmatanya mengenai luka sayatan dipipinya.
"Banyak banget omongan lo sih." Ariska menatap Hilda. "Mendingan langsung mati sekarang aja deh." Ariska menusuk pipi Hilda sengan siletnya, sampai benda tajam berukuran kecil itu tak nampak di permukaan luar pipi Hilda.
Tak lama, darah merah keluar dari mata Hilda. Perlahan, cewek itu ambruk dari pertahanannya. Dan jantungnya berhenti berdetak disaat itu juga.
***
Di lain tempat, Hafifah mengadahkan pandangannya kesekeliling hutan. Bingung. Sehabis buang air kecil tadi, ia lupa pada tempat awal mulanya ia berjalan. Dan... ia tersesat. Hafifah merasa sudah tiga kali melewati tempat yang sama, sendirian.
"Haduhh... Bego banget sih gue. Tadi kan udah lewat sini. Masa kesini lagi kesini lagi. Ah masa bodo." Hafifah terduduk lemas ditanah. Waktu telah menunjukan pukul 22.17 malam. Dan ia sendirian disini.
"Endang... Nggak muncul-muncul. Jahat, katanya mau nemenin gue." Hafifah berucap. Berharap Endang datang dari 'alam' yang lain.
'I'm here.'
Terdengar suara Endang seiring dengan hembusan angin yang lumayan kencang.
"Hei. Gue nyasar dari tadi. Gila... masa lo nggak nimbul-nimbul dari tadi."
'Hehe... maaf-maaf.'
"Bodo. Gue nyasar... bingung yang lain kemana."
'Hm....' Tiba-tiba Endang menampakan dirinya. Kini bukan hanya sebuah suara. Melainkan perwujudan asli sebuah arwah. Matanya masih sama, tangan, kaki, rambut. Masih tetap seperti semasa hidupnya dulu. Penampilannya selalu manis. Masih sama semuanya. Tanpa ada yang berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
What's A Game?
Mistero / Thriller[COMPLETED] (Cerita sedang direvisi) Disebut apakah permainan ini? Apakah permainan Kematian? Atau Permainan Maut? Yang jelas, Mereka ada dalam Target... ©2015 by HafifahKomariah