TWO: Escape

169 18 5
                                    

1
Hari ini, hari Sabtu. Harusnya ini adalah jadwalku untuk bersenang-senang, mengekspresikan, dan melepaskan segala kemerawutan dalam kehidupan kejam yang fana ini. Mungkin dengan sebatang tembakau atau hanya sekaleng bir murah. Tapi tidak untuk hari ini, ataupun Minggu.

Aku tak bisa mengabari Pat dan yang lainnya karena kau tahu sendiri, aku kini lepas dari ponsel. Tapi tak apa, ini bukanlah sebuah kendala yang besar untuk seorang, Jason Sullivan.

Mungkin Dad pikir aku akan tersiksa dengan segala hukuman yang ia berikan. Oh, kau salah besar, tuan. Semakin lama kau mengurungku, semakin aku menjadi seorang anak yang kreatif.

Tak akan kusentuh buku-buku berlabel; matematika, sains, sejarah Amerika, kimia, teori si-A, teori si-B, tak akan pernah! Aku akan membuang semua kekacauan ini dalam bait-bait lirik lagu yang aku ciptakan, atau petikan-petikan gitar yang aku mainkan dengan lagu seseorang. Aku tak akan kalah begitu saja, Dad. Aku tak akan kalah.

Aku membunyikan senar-senar gitarku yang aku beri nama, Bruno, dibawah jendela yang kini mulai panas akibat serangan terik matahari pukul 9:10 pagi. Mungkin cahaya matahari akan menyehatkanmu. Tapi tidak denganku. Aku benci cahaya. Aku hidup dalam kegelapan yang diselimuti kebencian. Cahaya pagi membuat kulitku terbakar seperti vampir. Tak segan-segan lagi aku menutup tirai jendela sebagai penghalang antara aku dan sang surya.

Seseorang dibalik pintu mengayunkan gagangnya hingga bilik pintu itu terbuka setengah. Kepala anak berumur 13 tahun melongok dari punggung bilik.

"Hey, Jas. Boleh aku masuk?". Jimmy, adikku bertanya, apakah aku boleh mengizinkannya masuk. Tentu saja Jim! Maka akupun menyuruhnya menutup pintu, dan ia melangkah masuk kedalam markas gelapku.

Jim mengadu dan bertanya, "Jas, gerombolan Gary tadi berniat memukuliku ditaman. Aku ingin melawan, tapi tubuh Gary sangat besar sehingga aku lebih memilih untuk berlari pulang. Apa yang harus aku lakukan jika Gary dan teman-temannya kembali ingin menghajarku?"

Aku bersiap untuk berpidato. "Jims, dengarkan aku. Bukankah aku pernah mengajarkanmu bagaimana cara untuk melawan rasa takutmu?". Jimmy mengangguk bersemangat, tanda bahwa ia masih ingat.

"Jika ada anak yang tubuhnya lebih besar darimu, kau jangan takut dan berfikir bahwa kau akan kalah. Kau harus menimbulkan kebencian dan amarah disana. Luapkan amarah itu kekepalan tanganmu dan jangan buang-buang waktu. Segera hajar dia sekuat tenaga dengan emosimu dan naikkan sedikit bukit jari tengahmu. Itu akan menimbulkan efek rasa sakit yang teramat. Lakukan itu berulang kali hingga lawanmu memohon untuk berhenti.." aku mengambil nafas, "tapi setelah ia memohon, jangan pernah lepaskan dia. Kau harus memintanya, untuk meminta maaf kepadamu, Jims.

Dan jangan pernah kau meminta maaf kepada lawanmu! Itu sama saja dengan menginjak-injak harga diri Sullivan. Jika kau sudah selesai berurusan dengan korbanmu, kau harus memberitahu mereka bahwa mereka tak boleh memberi tahukan perbuatan kejimu itu kepada orang lain. Atau mereka akan kau habisi hingga tewas".

Mata anak itu berbinar. Ia sungguh mendapat pencerahan dari pidato singkatku barusan. Aku tersadar. Jimmy didepanku, dan aku harus mengambil celah disana. "Hey, kawan. Bisakah aku meminjam ponselmu?".

"Tentu saja, Jas. Tapi jangan sampai ketahuan, Dad, atau kau akan menderita di SMU berasrama itu". Tentu saja. Dad adalah penghalang untuk celahku ini.

"Tapi tenang saja, Jas. Mom dan Dad sedang pergi ke festival barang antik di kota. Kau aman".
Mom dan Dad sedang pergi? Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan bagus seperti ini.

"Sampai berapa lama mereka di festival?"
"Aku tak tahu. Mungkin sehabis makan siang pukul satu mereka akan pulang". Aku melongok ke jam yang melekat ditanganku. 09:25 AM. Aku masih punya banyak waktu sampai makan siang tiba. Aku segera meminjam ponsel Jimmy untuk menghubungi Patrick. Pat berjanji akan tiba dirumahku 10 menit lagi dengan motornya.

New Girl On the BlockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang