Tempat penyimpanan abu ku mulai terlihat sepi. Hanya ada appa dan eomma saja yang memang berjaga jaga jika ada yang ingin mendoakanku.
Tapi tunggu, mana si wajah badut bermata unta itu? Beraninya dia meninggalkan kedua orang tuaku ketika aku sudah tak ada.
"Yeobo, istirahatlah. Biar aku yang akan menerima kunjungan. Kau sudah terlihat sangat lelah." Kutolehkan kepala ketika mendengar suara appa sedang membujuk eomma untuk istirahat.
"Geurae, aku istirahat dulu. Mungkin aku terlalu banyak menangis tadi." Eomma mengeluarkan senyumnya yang bisa menenangkan siapa saja.
Hufft, aku merasa tak berdaya sebagai anak mereka. Appa dan eomma kelelahan karna aku. Sedangkan aku sendiri hanya bisa termangu dan melihat mereka tanpa bisa menghilangkan gurat lelah di wajah orang yang kusayangi.
Deg.
Tiba tiba satu pertanyaan terlintas di pikiranku. Apakah dia ikut mendoakanku?
Cih, tau kalau aku sudah tidak ada saja mungkin keajaiban untukku. Apa pantas aku berharap lebih seperti ini? Meskipun pikiranku berkata begitu, namun rasa kecewa tetap membekas di diriku. Mengapa bahkan ketika aku sudah tidak berada dalam ragaku, harapan ini masih saja melekat?
Tunggu tunggu, aku sudah keluar dari tubuhku kan? Itu artinya aku sudah tak bisa di lihat lagi oleh manusia kan? Dan itu artinya juga aku bisa memperhatikan dia sepuas ku kan? Daeebak!
Mian eomma, appa. Bukan aku tak ingin melihat kalian lebih lama. Namun ada orang yang lebih ingin kulihat lebih lama lagi. Kedengaran seperti tipe anak durhaka, ya?
Biarlah. Yang penting aku sudah meminta maaf pada orangtuaku.
Kulangkahkan kaki keluar bangunan yang penuh dengan abu orang yang kebanyakan tak ku kenal.
Hujan. Dan aku lupa membawa payung atau sesuatu untuk menutupi tubuhku agar tak basah.
"Hei! Kau itu bodoh atau apa? Bukankah kau hanya arwah? Untuk apa kau takut basah? Bahkan air hujan saja tak berniat untuk meneteskan airnya di tubuhmu!"
"Kau.. arwah juga?" Tanyaku tanpa lupa dengan ekspresi terkejutku.
"Yeah, sama sepertimu. Aku orang baru disini. Baru di kremasi kemarin."
Kuperhatikan lawan bicaraku. Yeoja, dengan rambut coklat madu -sudah bisa dipastikan hasil dari keluar masuk salon- kulitnya yang putih, matanya yang untuk ukuran orang korea cukup besar, dan giginya yang berderet rapih terlihat ketika ia tersenyum ramah.
"Lalu, mengapa kau berada di luar sini? Kau tak ingin melihat keluargamu, huh?" Nada suaranya.. terdengar seperti mencibir di telingaku.
"Orang yang ingin menyapaku untuk terakhir kalinya sudah sepi. Hanya tertinggal eomma dan appa ku. Jadi aku memutuskan untuk keluar, berjalan jalan."
Heol. Setelah aku menjelaskan panjang kali lebar sama dengan luas, tanggapannya hanya angukkan kepala berulang kali?
"Kau sendiri?" Aku berusaha menampilkan mimik tersinis milikku.
"Ada urusan pribadi. Aku ingin melihat apakah namja chingu ku menangisi kematianku atau tidak."
"Kau punya namja chingu?" Mataku membulat. Ternyata urusannya mirip dengan urusanku.
"Eoh! Memang kenapa? Kau tidak punya?"
"Aissh, sudahlah. Aku ingin berjalan jalan. Dah, aku duluan." Kalian pasti berpikir bahwa aku sedang mengalihkan pembicaraan agar dia tidak tau bahkan aku tak mampu menyapa orang yang kusuka. Hahaha... sayangnya kalian benar. Dan yang saat ini ingin ku kunjungi adalah namja yang dengan senyumnya dapat membuatku tersenyum juga. Dengan kehadirannya dapat membuat jantungku bekerja beribu ribu kali lebih keras. Dan dengan kudengar suaranya dapat membuatku panas dingin serta getaran di kaki dan tanganku.
Sebutlah aku arwah lebay, atau berlebihan. Namun itu berarti kalian tak pernah menyukai orang sebegitu dalamnya, sama sepertiku.
Hey, mengapa aku jadi curhat colongan begini? Sekarang adalah waktuku untuk ke sekolah. Sekolah? Yap, sekolah. Namja yang kusuka adalah namja yang terlanjur rajin untuk seukuran siswa SMA saat ini. Ia selalu mengumpulkan tugas tepat waktu, pulang terakhir ketika sedang jadwalnya piket, dan selalu membaca buku pelajaran meskipun siswa yang lain sedang bergembira karna guru yang mengajar sedang tidak hadir.
Jadi, seharusnya kalian sudah bisa menyimpulkan bahwa namja yang kusuka masih berada di sekolah. Ini masih jam 2 siang lewat 46 menit. Dan sekolah kami baru bubar jam 4 sore. Itupun jika tak ada pendalaman materi.
Jadi daripada kalian -lagi lagi- mengira kalau aku adalah arwah cerewet, suka mengeluh, dan selalu curhat colongan, lebih baik aku segera menghampiri kelasnya karna aku sudah sampai di sekolah.
"Aku adalah jam tangan
Meskipun aku selalu melekat di tanganmu
Dilihat olehmu
Namun aku tetaplah aku
Hanya sekedar penunjuk waktu
Yang akan habis bateraiku jika terlalu lelah untuk berdetak."Bukankah itu...
"Bagus. Sangat bagus. Apa kau membuatnya sendiri?" Pertanyaan seonsaengnim diacuhkan begitu saja. Namja yang baru saja membaca syair yang begitu ku kenal nampak lebih memilih membiarkan pikirannya melayang ent ah kemana daripada menjawab pertanyaan sang guru.
"Kyungsoo-ssi?" suara guru sastra si namja mengembalikan pikirannya yang baru saja melayang bebas.
"Ah, ne? Juseonghabnida, seonsaengnim. Apakah aku boleh kembali ke tempat duduk ku?" Namja itu, Kyungsoo, beranjak menuju kursinya ketika pertanyaan tadi dijawab dengan anggukan oleh sang guru.
Dia yang sebelumnya kusebut sebut adalah Kyungsoo. Do Kyungsoo. Perawakannya bisa di bilang cukup kecil untuk ukuran namja berumur 16 tahun. Rambutnya hitam berponi yang selalu disisir rapi. Mata besarnya yang dibingkai dengan alis dan bulu mata yang tebal membuatnya memiliki kesan innocent. Bibirnya yang penuh dan selalu menyunggingkan sebuah senyum berbentuk hati makin mempermanis wajahnya. Astaga, mengapa aku jadi membayangkan senyuman Kyungsoo?
Kyungsoo juga termasuk dalam golongan siswa yang rajin. Memang ia tak selalu mendapat peringkat pertama, namun tak jarang Kyungsoo menduduki tingkat atas peringkat kelas. Dan itu yang membuatku merasa bahwa aku tertarik padanya.
Seperti saat itu, aku sedang mencari bahan untuk presentasi kimia di perpustakaan. Aku yang memang jarang ke perpustakaan langsung kebingungan mengingat perpustakaan sekolah kami memang menyamai luasnya lapangan sepak bola. Aku berinisiatif untuk bertanya pada Kyungsoo ketika melihatnya sedang mencari buku di rak yang tulisannya sosiologi.
"Maaf, apa kau tau dimana aku bisa mendapatkan buku untuk bahan presentasi kimia?" Terlalu formal bukan? Tapi biarlah. Oh Tuhan, setelah kuingat ingat itu adalah percakapan pertama kami.
"Entahlah. Aku jarang ke perpustakaan. Tapi ayo cari bersama."
Detik itu juga, aku merasakan bagaimana kagum pada orang yang bahkan hanya kuketahui namanya. Kejujurannya, kebaikannya. Entahlah. Mungkin aku menyukai semua hal yang berkaitan dengan Kyungsoo.
"Baiklah." Setelah itu kami memperkerjakan mata kami lebih keras agar menemukan apa yang kucari: rak buku bertuliskan kimia, sains, atau apalah itu.
"Ketemu!" Kyungsoo tak sadar berseru dengan suara yang tak bisa dibilang pelan. Namun saat itu aku yang sedang mengagumi komik Detective Conan koleksi perpustakaan tak terlalu mengindahkannya.
"Hei,"
"Aigo!" Tak sadar saking terkejutnya aku sampai menjatuhkan komik yang sedang kupegang.
"Mian. Aku tak tau kalau kau kagetan. Rak buku kimianya sudah ketemu. Itu disamping rak bertuliskan sastra kuno." Aku mengikuti tangannya yang menunjuk ke arah rak.
"Ah, gamsahabnida Kyungsoo-ssi."
"Ne, cheonma."
Dan senyum itu, membuatku ikut tersenyum bahkan sampai saat ini.
Tbc~
Wohooo, akhirnya bisa bikin ff lagi. Doakan update nya lancar yaa, vote dan comment jangan lupa
KAMU SEDANG MEMBACA
Earth
FanfictionKau adalah alasanku untuk berada di bumi. Namun kau juga lah yang membuatku ingin beranjak dari bumi Warning: Slow Update!