Passed Away

79 12 3
                                    

Sebelumnya kan penulis udah janji di chapter ini mau nulis kenapa Yoojung bisa jadi arwah. So, check this out!
.
.
.
Astaga, mengapa perutku terasa sakit sekali? Aku bangkit dari posisi tidurku.

Tok tok

"Eomma, eomma,"

Kuketuk pintu kamar eomma dan appa. Tuhan, aku tak tahan.

"Eomma, appa!" Aku mulai berteriak seiring keringat dingin keluar dari tubuhku.

"Waeyo? Astaga!" Itu suara eomma. Beliau memegang keningku, merasakan betapa dinginnya suhu tubuhku.

"Yeobo! Yeobo! Palli!" Eomma sekali lagi memanggil appa untuk mendekati pintu kamar mereka dimana aku tergeletak.

"Ya Tuhan! Jamkkaman, aku akan menghidupkan mobil," kudengar suara derap langkah terburu buru milik appa menjauh.

Dan setelahnya aku merasakan diriku melayang, terasa sangat ringan bagaikan permen kapas yang sering kubeli di taman.
.
.
.
"Juseonghabnida, anak anda terlambat kami selamatkan." Dokter berbaju warna hijau khusus untuk operasi itu memberitau eomma dan appa.

"Mwo? Andwae," kulihat tubuh eomma luruh begitu saja. Eomma dan appa menangis sambil berpelukan di lantai depan ruang operasi.

Tuhan, apa aku sudah... mati?

"Ini sudah takdir, yeobo. Jangan menyalahkan dirimu."

"Tapi bukankah ini salahku? Sebagai ibu aku tidak memperhatikan kesehatannya. Aku tidak memperhatikan apa yang dia makan. Aku bahkan tidak tau kalau Yoojung sering mengeluh perutnya sakit. Ternyata dia terkena usus buntu. Dan kita terlambat untuk membawanya ke dokter. Dimana letak yang bukan kesalahanku?"

"Geumanhe, kalau begitu ini salah kita berdua."

Aku tergugu ditempat. Menangis tanpa ada air mata yang keluar. Rasanya... aneh. Mungkin menjadi arwah adalah tidak memiliki raga dan rasa lagi.

Aku merasa melihat kilasan balik 16 tahun yang lalu sampai saat ini. Mulai dari menangis, tertawa, tersenyum, cemberut, merajuk, semua ekspresi kuperhatikan. Namun aku menanggapinya dengan datar.

Ekspresi itu berlanjut sampai proses ragaku di kremasi. Peti berisi tubuhku yang sudah kaku mulai dimasukkan ke dalam api dengan perlahan lahan.

Begitu pula ketika satu persatu orang yang kukenal datang untuk penghormatan terakhir, menepuk bahu appa dan eomma, lalu pergi dengan wajah berduka yang aku tidak tau ekpresi itu benar atau tidak.

Yang kutau adalah Jongdae ikut menemani appa dan eomma tanpa kulihat setetes pun air matanya terjatuh. Sebenarnya dia temanku bukan sih?

Dan saat itu pula aku menunggu orang yang sangat ingin kulihat saat ini. Do Kyungsoo. Apa yang kau harapkan, Kim Yoojung? Kau bahkan tidak seharusnya lagi punya harapan.
.
.
.

Jjang! Sudah jadi. Jadi ini pas dia sebelum jadi arwah sampai dia jadi arwah. Cerita di chapter ini harusnya ada sebelum chapter pertama. Tapi penulis masih amatir, jadi maklumi saja.

Mungkin para pembaca tercinta berharap Kim Yoojung meninggal gara gara sakit parah atau kecelakaan. Tapi maaf saja, penulis itu bukan tipe orang yang mainstream. So, sorry kalau chapter ini ga sesuai harapan.

Nah, chapter ini bukan lanjutan dari chapter sebelumnya ya. Jadi untuk "Day-3", akan dilanjutkan di chapter yang setelah ini. Maaf jadi berbelit belit.

Sudah bisa ditebak di chapter selanjutnya akan lebih membosankan dan lebih absurd. Jadi penulis ga akan memaksa para pembaca untuk melanjutkan membaca cerita ini. Kalau kuat, monggo dilanjutkan. Namun jikalau merasa sudah tidak sanggup lagi, lambaikan saja tangan anda ke kamera.

Budayakan meninggalkan jejak seperti vote dan comment.

EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang