Bab 4 - Radit

146 8 4
                                    

"Butuh tumpangan?" tawarnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Sial. Aku mengumpat dalam hati.

"Lo Go-Jek ya?" dengan sebal aku mengatakan hal itu kepadanya.

"Kalo buat lo sih, jadi apa aja gue rela," jawabnya dengan cengengesan.

Tiba-tiba aku mendengar suara peluit dari belakangku. Pasti itu Pak Satpam yang memergokiku berniat kabur. Ah, ini semua gara-gara Radit!

"Ayo cepet naik, ntar lo ketangkep," katanya.

"Rumah gue deket," kataku sambil berjalan cepat. Namun, kurasa Pak Satpam itu berlari hampir mendekatiku. Aku mempercepat langkahku menjadi berlari.

"Meskipun deket tapi tetep lebih cepet naik motor 'kan?" tanyanya sambil tetap mengikutiku menggunakan motornya itu. Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Pak Wanto sudah berjarak sepuluh meter di belakangku saat aku menaiki motor Radit. Ia langsung menancap gas dan segera menjauh dari area sekolah. Untung saja.

Tapi, "Gimana lo tahu kalo gue mau kabur?" tanyaku. Ia sudah memelankan laju motornya, jarak dari sini ke rumahku tinggal lima ratus meter lagi. Rasanya tidak enak jika harus diam saja selama perjalanan ke sana.

"Firasat aja, jodoh kali," katanya santai. Gila ini orang. Kenal aja nggak, udah main godain orang aja. Aku yang tidak tahan dengan perlakuannya selama ini akhirnya bisa melampiaskan kekesalanku. Ya, aku memukuli punggungnya.

Satu kali, "Ini balasan karena lo pernah ngagetin gue."

Dua kali, "Ini karena lo genit sama gue."

Tiga kali, "Ini karena lo selalu nyebelin."

Empat kali, "Dan ini, karena lo berani-beraninya ngebonceng gue! Dasar!"

Sebenarnya sejak aku memukulnya kali pertama, ia sudah mengerang beberapa kali. Tapi, ia tetap membiarkanku memukulinya. "Parah lo, sakit semua ini gue. Kekuatan cewek nggak ada tuh yang rasanya sekuat itu. Lagian gue ini senior lo, seenggaknya hormati gue," komentarnya.

Tak terasa, aku sudah sampai di depan rumahku. Apa?

"Lo tahu rumah gue darimana!?" aku segera turun dari motornya.

"Gue biasanya ngikutin lo pulang ke rumah, hehe."

"Dasar penguntit!" seruku lalu meninju lengannya dengan keras. Aku segera masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikannya yang berseru, "Nggak ada 'makasih, kak' nih?"

"Ya udah, sama-sama!" serunya lagi. Aku mengintipnya dari jendela. Ia tersenyum sekilas lalu pergi meninggalkan halaman rumahku.

***

Esok harinya, aku mendapat perlakuan aneh dari orang-orang di sekitarku. Sejak aku masuk ke area sekolah pagi ini, sepertinya semua orang melihatku. Saat itu juga aku bertemu dengan Gana, teman sekelas yang paling dekat denganku. Untunglah, karena rasanya canggung banget jalan sendirian dilihatin banyak orang.

"Gan, ini kenapa sih semua orang ngelihatin gue?" bisikku pada Gana dan menyejajari langkahnya berjalan bersama.

"Jadi, lo nggak sadar apa yang lo lakuin kemarin udah bikin heboh orang sesekolah?" tanyanya dengan raut wajah tak percaya. Memangnya kenapa?

"Emang gue kenapa? Bikin salah sama mereka?" tanyaku bingung. Aku sibuk mengingat-ingat apakah aku pernah berbuat salah kepada mereka semua. Dan seingatku, aku tidak melakukan apapun yang salah.

"Gue jelasin di kelas. Jangan lama-lama jalannya, gue juga males jadi ikut dilihatin." Gana menggandeng tanganku dan menarikku—menyeretku lebih tepatnya—agar bisa berjalan lebih cepat.

Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang