Bab 8 - Kabur

100 8 0
                                    


Aku kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran dengan perasaan malas dan bosan. Namun, tidak ada hal lain lagi yang kukerjakan selain mengikuti pelajaran. Setelah sekian lamanya aku mendengarkan penjelasan guru—bukan, tapi cerita masa lalunya—akhirnya bel istirahat kedua berbunyi juga. Perutku sudah lapar ingin makan mengingat istirahat pertama tadi aku belum sempat mengisi perutku.

"Ke kantin, yuk?" ajak seseorang saat aku masih merapikan barang-barang di mejaku. Aku menoleh dan seketika mendapati Niko berdiri di sebelah mejaku. Ternyata ialah yang mengajakku barusan.

"Gue sama Gana mau—" ucapanku terputus ketika menoleh ke tempat duduk Gana, namun ia sudah menghilang entah kemana. Yah, mungkin tidak ada salahnya pergi bersama Niko ke kantin. "Oke deh," jawabku akhirnya.

Aku sengaja memakai sepatu berlama-lama—di kelas dilarang memakai sepatu—agar Niko bisa berjalan duluan. Tapi, ia hanya berdiri di pintu dan menungguku. Tumben sekali dengan anak ini.

"Lo kalo ke kantin suka jajan apaan?" tanya Niko saat kami menuruni tangga.

"Apa aja kalo gue mah. Yang penting bisa bikin gue kenyang," jawabku.

"Oh.." jawabnya. Aku melirik Niko dan melihat sesuatu yang aneh di rambutnya.

"Bentar Nik, ada sesuatu di rambut lo," kataku lalu berhenti dan berjinjit untuk menggapai rambutnya dan menyingkirkan apa yang membuatnya janggal. Ia mendukkan kepalanya dan ikut membersihkan rambutnya. Ternyata, ada potongan plastik yang agak lengket menempel di rambutnya. Aku segera mengambilnya.

"Cuma plastik," kataku lalu menunjukkannya pada Niko yang tiba-tiba diam.

"Lo kenapa diem aja? Nggak usah grogi gitu, kali!" kataku tidak serius alias bercanda.

"Ah, enggak. Elo kali yang grogi jalan sama gue," balasnya.

"Ya enggak lah, ngapain juga gue grogi cuma gara-gara jalan—" kata-kataku terputus, kakiku tergelincir saat menuruni tangga yang menuju ke lantai satu. Dengan sigap Niko mengangkapku dengan tangannya. Untung saja, ia orang dengan refleks yang baik.

Jantungku berdebar tak karuan, membayangkan jika tadi aku benar-benar jatuh, apa yang akan terjadi.

"Kalo jalan tuh ati-ati dong!" sentak Niko. Aku yang baru saja hampir mengalami kecelakaan terkejut mendengar perkataan Niko. Mungkin karena aku tidak siap menerima bentakan itu, seketika langsung menangis.

"Aduh, lo jangan nangis dong. Maafin gue, gue cuma kaget aja. Refleks. Lo nggak apa-apa kan?" tanyanya kemudian dengan wajah panik. Ia mengamatiku, melihat apakah ada yang terluka. Wajahnya melembut.

"Udah, jangan nangis. Ntar dikira gue macem-macem sama lo. Ayo makan," ajaknya sambil menggandeng tanganku agar mengikutinya.

Sampailah kami di Kantin Tiga, tempat dimana kebanyakan pembelinya adalah kelas dua belas. Sekolah kami memang memiliki tiga kantin. Kantin Satu, kebanyakan berisi anak kelas sepuluh. Kantin Dua, kebanyakan berisi anak kelas sebelas.

Kebanyakan bukan berarti kami harus mendatangi kantin sesuai angkatan kami. Bukan. Boleh saja kelas sebelas pergi ke Kantin Satu atau Kantin Tiga, karena tidak ada larangan apapun.

Niko mengajakku duduk di meja depan penjual batagor. Sepertinya ia akan mengajakku makan itu. Jadi, kuturuti saja. Aku menghapus sisa-sisa air mataku. Rasanya seperti orang bodoh atau seperti anak kecil atau keduanya, anak kecil yang bodoh.

Ah, aku lupa akan sesuatu. Sesedikit aku menangispun, pasti akan membekas di mataku. Iya, mataku mudah sekali sembap. Walaupun aku hanya mengeluarkan dua tetes air matapun, pasti akan tetap berbekas. Bodoh. Untuk apa aku menangis?

Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang