Bab 11 - Niko Kepo

100 6 2
                                    


Hari Jum'at. Pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Indonesia, namun sudah dua puluh menit lebih belum ada guru pengajar yang memasuki kelas kami. Jadilah kelas menjadi ramai, mengobrol satu sama lain.

"Kelihatannya sampe nanti juga gurunya nggak bakal ada deh," kata Gana yang duduk di sampingku. Bukan, dia tidak berbicara denganku. Ia berbicara pada semua orang di kelas ini yang entah kenapa tiba-tiba sudah duduk sembarangan melingkari bangku kami. Berbicara pada semua orang, kecuali aku. Ya, Gana marah padaku.

Jika kalian bertanya apa yang kulakukan ketika Gana marah padaku, sudah pasti kujawab tidak ada. Tidak ada usaha apapun yang kulakukan untuk membuat Gana tidak marah lagi padaku. Lama-kelamaan juga dia pasti lelah mengabaikanku yang juga tidak memedulikan perlakuannya itu.

"Ya udah sih, kita ngobrol-ngobrol aja sekarang," sahut Naya yang duduk di meja tepat di sebelah kiriku.

"Ih, males banget ngobrol bareng elo Nay! Yang ada ntar lo jadi curhat terus lo baper," jawab Niko dengan cepat.

"Emang salah ya, kalo kita pengen cerita?" tanya Resty dengan polosnya.

"Ya enggak sih, cuma kalo Naya yang cerita tuh ntar jadi melenceng kemana-mana alurnya," jawab Niko yang segera disambut dengan anggukan Vino dan anak laki-laki lainnya.

"Ya udah gue nggak bakal cerita apa-apa lagi sama kalian!" seru Naya, sepertinya ia tersinggung dengan perkataan Niko. Kalau aku sih, tidak ada yang perlu diambil hati dari semua perkataan Niko karena aku tahu ia pasti hanya bercanda.

"Yah, ngambek. Cengeng amat sih lo, Nay!" seru Karsa yang sepertinya duduk di belakangku karena suaranya berasal dari sana. Naya menunjukkan wajah marahnya dengan cemberut di hadapan kami semua.

"Udah ah, jangan gitu," Lina mencoba menengahi. "Oh iya, kita kan mau Study Tour minggu depan. Rencana bawa apa aja? Yuk, diomongin sekarang aja mumpung nggak ada pelajaran," katanya dengan bijak. Ia memang anak perempuan paling rajin di kelas. Tapi, walaupun ia rajin bukan berarti ia orang yang menyebalkan. Justru Lina adalah orang rajin yang paling menyenangkan yang pernah kukenal.

"Ya bawa keperluan pribadi lah, mau bawa apa lagi? Dua hari sebelum berangkat juga pasti dibilangin kan apa aja yang harus dibawa," kata Ridho yang membuatku membuka suara.

"Maksud Lina itu, bawa keperluan buat kelas. Punya otak tuh buat mikir, Dho."

"Gue kan nggak tau maksudnya, Na. Lah dia sendiri juga bilangnya kurang jelas," jawab Ridho dengan tertawa. Ia memang orang yang bisa diajak bercanda, menyenangkan rasanya memiliki teman seperti Ridho. Dan, ia adalah salah satu orang yang menyebutku dengan panggilan 'Ina'.

"Iya, Ta. Mungkin gue yang kurang jelas ngomongnya," kata Lina dengan kalem. Sudah cantik, rajin, baik, kalem lagi. Rasanya semua laki-laki pasti menyukai perempuan sepertinya, bukan sepertiku yang bertingkah bagai berandal.

"Ah elo mah," hanya itu ucapanku untuk membalas kata-kata Lina.

"Jadi, sweater kelas kita apa kabar?" tanya Gana kepada Ridho yang minggu lalu memesankan sweater untuk dipakai waktu Study Tour minggu depan.

"Besok juga udah bisa diambil. Jangan lupa lunasin aja pokoknya. Bayar ke gue terakhir besok, mau langsung gue ambil bareng Dika," jelasnya. Bagus lah, sweater kelas sudah jadi seminggu sebelum keberangkatan kami.

"Siapin film yang banyak buat di perjalanan yang pastinya bakal ngebosenin," usul Resty dengan semangat. Aku tidak membayangkan betapa bosannya nanti ketika kami harus berada di dalam bis berjam-jam selama perjalanan.

"Gue punya banyak stok film. Mau yang genre apa?" tawar Vino dengan antusias karena setahuku ia memang penggila film.

Anak-anak di kelas langsung ramai mengusulkan film apa yang harus disiapkan Vino untuk perjalanan Study Tour. Aku yang merasa gerah akhirnya memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan mereka yang mash berdiskusi dengan seru tanpa menyadari kepergianku. Tapi, Niko menyadari keberadaanku yang sudah di depan rak sepatu dan hendak memakai sepatu.

"Mau kemana lo? Lo nggak mau ikutan bahas Study Tour minggu depan bareng anak-anak?" tanyanya yang kini sudah ada di hadapanku.

"Gue terima jadi aja deh, mau cari angin. Gerah banget disini," jawabku lalu membuka pintu kelas. Saat aku hendak keluar, Niko malah ikut keluar denganku. "Gue laper," katanya saat aku menatapnya seakan menanyakan apa yang ia lakukan.

"Gue juga laper nih, belum sarapan," kataku.

"Kalo lo sakit gimana? Sarapan itu penting," omelnya tiba-tiba saat kami menuruni tangga.

"Lo omelin gue tapi lo sendiri belum sarapan kan sama aja!" seruku. Tanganku berpegangan ada susuran tangga saat kakiku melangkah dari anak tangga satu ke lainnya.

"Gue udah sarapan," jawabnya dengan santai.

Tidak lama kemudian kami sudah sampai di Kantin Tiga, tempat dijualnya makanan-makanan enak. "Mau makan apa?" tanyanya ketika kami duduk di bangku panjang di dekat dinding pojok ruangan Kantin.

"Soto," jawabku lalu mengeluarkan smartphone dari saku rokku.

"Minumnya?"

"Sama kaya elo," kataku sambil mengutak-atik Pony—smartphone¬ku.

Niko sudah duduk di depanku setelah memesan makanan. Ia juga mengeluarkan ponsel dari sakunya dan dari sudut mataku, kulihat ekspresi wajahnya berubah saat melihat layar ponselnya.

Seperti teringat sesuatu, ia menatapku dan bertanya, "Jadi, lo beneran sama Radit?"

"Bukan urusan lo," jawabku. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun sepertinya ia kurang bisa menerima jawabanku. Segera setelah itu pesanan kami datang.

Sebelum menyentuh makananku, aku melihat satu notifikasi muncul di layar Pony. Pesan dari Radit, ia menanyakan apa yang sedang aku lakukan sekarang. Kuketik sebuah jawaban singkat,

Bolos.

Aku melihat Niko yang makan dengan lahap seperti orang kelaparan padahal sekarang masih jam delapan pagi dan tadi ia bilang sudah sarapan. Senang rasanya melihat Niko makan, membuat nafsu makanku juga naik.

Aku mulai memakan apa yang kupesan. Lalu, Pony berbunyi lagi. Balasan dari Radit.

Dimana? Begitu isinya.

Kantin Tiga. Balasku.

Aku ke sana. Katanya.

Aku tidak membalas pesan itu dan kembali melanjutkan makanku. Ternyata aku benar-benar lapar, apalagi setelah melihat Niko makan dengan lahap. "Seneng ya, lihat lo makan," kataku padanya saat ia sudah menyelesaikan makannya sedangkan aku baru akan melahap sendok keenam.

Ia meminum air mineral botol yang tadi dipesannya.

"Ya gitu. Lo nggak usah heran lihat gue makan banyak tapi badan gue segini aja. Mungkin metabolisme tubuh gue nggak bagus," katanya lalu memerhatikanku makan.

"Nggak sopan ngelihatin orang makan, tau."

"Udah tau," jawabnya.

Aku melanjutkan makanku dan membiarkannya melihatku makan. Beginilah cara makanku, cepat tetapi tidak secepat orang di hadapanku ini. Tidak lama kemudian, aku melihat sesosok Radit di ujung tempat masuk Kantin Tiga. Matanya mencari-cari keberadaanku dan akhirnya ia bisa menemukanku.

Ia segera menghampiriku dan Niko, tanpa Niko ketahui karena posisinya membelakangi Radit. "Dasar tukang bolos," kata Radit sambil tersenyum dan mengacak sambutku sesampainya di meja kami.

Niko sepertinya tidak menduga bahwa Radit akan datang dan bergabung dengan kami karena selanjutnya ia malah berdiri.

"Lo mau kemana, Nik?" tanyaku padanya. Radit sudah duduk di sebelahku.

"Gue pasti ganggu kalian kalo gue masih di sini. Gue pergi dulu ya, udah gue bayar semua kok," katanya lalu pergi meninggalkanku dan Radit.


***

Huaa, dua hari lagi Author mau ujian akhir semester dan sudah dipastikan sibuk!

Pengen banget tulis lanjutan cerita secepatnya tapi apalah dayaku.

Jangan lupa vote, kasih kritik dan saran yaa! makasih ^^



Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang