Bab 6 - Pernyataan Radit

100 7 4
                                    

Pagi ini aku datang terlambat, lagi. Seperti biasanya.

"Lari saja lima belas kali putaran lapangan," guru yang sedang piket menyambutku dengan hukuman.

"Sekali saja ya, Bu?" tawarku dengan wajah memelas.

"Tidak ada tawar menawar!" tegasnya.

"Tapi Bu, saya belum sempat sarapan." Tentu saja aku berbohong.

"Kalau hanya sekali putaran, kamu tidak akan pernah menyesali keterlambatanmu. Lihat, sudah berapa kali kamu terlambat?" tanya beliau sambil membuka catatan keterlambatan. Lalu, beliau menunjukkan buku tebal itu kepadaku. "Hampir setiap hari namamu tertulis disini, Tita."

"Ya, maka dari itu. Percuma saja Ibu membuat saya kelelahan hari ini agar menyesal. Toh, saya tidak akan pernah menyesal dengan keterlambatan saya. Besok pun saya pasti akan terlambat lagi, Bu." Aku tetap mempertahankan keinginanku.

Belum sempat guru itu menjawab, aku mendengar deruman sepeda motor besar dari arah gerbang. Berjarak tiga meter dari tempatku sekarang, pos satpam. Aku yakin ia tidak bisa masuk karena terhalang gerbang yang sudah ditutup.

Guru yang tadi mengomeliku kini melihat ke arahnya, begitupun aku. Radit. Mataku memicing ke arahnya. Dia lagi, dia lagi. Muak rasanya melihat wajahnya walaupun tampan. Ia memarkirkan sepedanya dan segera menuju ke arahku. Bukan, ke arah guru piket yang sedang bersamaku di pos satpam.

"Maaf Bu, saya terlambat," katanya dengan sangat sopan. Wajahnya sangat lembut saat berhadapan dengan guru ini.

"Ah, Radit. Tumben sekali kamu terlambat? Bukannya kamu tidak pernah terlambat sebelumnya?" tanya guru itu dengan lembut juga. Loh?

Ramah sekali guru ini pada Radit, berbeda denganku tadi.

"Tadi pagi tiba-tiba saya diare, Bu. Jadi saya harus bolak-balik ke kamar kecil."

"Ya sudah, semoga cepat sembuh. Sekarang, kamu segera ke kelas ya. Jangan sampai ketinggalan pelajaran," kata guru itu. Aku langsung melongo. Aku dihukum, sedangkan Radit tidak.

"Mana adil Bu? Saya dan dia sama-sama terlambat. Tapi kenapa yang dihukum hanya saya? Saya merasa diperlakukan dengan tidak adil," kataku tak terima.

"Radit itu murid yang tidak pernah melanggar peraturan sekolah, apalagi terlambat, dia juga bukan pembohong. Tidak seperti kamu. Lagi pula, dia ini anak yang berprestasi di bidang non-akademik."

"Tapi Bu, walaupun tidak pernah terlambat, nyatanya dia sekarang terlambat kan?" aku menyatakan ketidaksukaanku. Radit yang sedari tadi diam saja kini membuka mulutnya, "Sudah Bu, beri saja saya hukuman yang sama dengan dia."

Aku melirikkan mataku dengan ganas ke arahnya. Sok jadi pahlawan rupanya.

"Jangan, kamu kan sedang sakit. Nanti makin parah bagaimana?" jawab guru itu cemas. Aku makin sebal. Radit diperhatikan, sedangkan aku tidak?

"Diganti saja hukumannya Bu, biar dia juga bisa ikut dihukum," kataku pada akhirnya.

"Baik, saya ganti hukuman kalian. Berdiri di tengah lapangan. Setengah jam." Itulah keputusan final yang dibuat.

Dan, di sini kami sekarang berada. Di tengah-tengah lapangan, dengan tatapan banyak pasang mata yang lewat. Kenapa harus seperti ini? Kenapa harus dengan Radit?

"Panas ya?" tanya Radit di sebelahku. Wajahnya sumringah seperti tanpa beban. Berbanding terbalik dengan wajahku yang mungkin sudah tidak berupa manusia. Panas sekali di sini. Sungguh.

"Lo nggak bisa ngerasain sendiri?" jawaban itulah yang keluar dari mulutku. Bukan jawaban sebetulnya, tapi pertanyaan. Ya, jawaban berupa pertanyaan. Seperti itulah.

"Nggak bisa. Yang gue rasain sekarang cuma adem, sejuk gitu."

"Gila ya? Panas gini," kataku sambil mengipasi wajahku dengan tanganku. Keringat mulai bercucuran di dahi, padahal belum ada sepuluh menit kita berdiri di sini.

"Kalo ada lo di samping gue mah, semuanya kerasa adem. Hati gue jadi tentram gitu," jawabnya. Ia tersenyum kepadaku. Apa lagi ini? Ia lalu menunjuk wajahku dan berkata, "Yah, wajah lo merah."

Jantungku langsung berdetak cepat. Tidak, ini pasti aku yang mulai lelah berdiri. Bukan karena senang. "Ih, itu kan karena panas! Muka gue jadi merah kepanggang matahari," jawabku asal. Mencoba menutupi kegugupanku. Kenapa tiba-tiba seperti ini?

"Udah deh, nggak usah bohong. Kelihatan banget," katanya lagi. Senyuman itu masih menetap.

Aku memilih untuk tidak membalas perkataannya.

"Lo tahu nggak, gue tuh sebenernya suka sama lo. Tapi seharusnya lo tahu dong, gue udah sering jujur kan ke elo gimana perasaan gue," katanya tiba-tiba. Tubuhku serasa makin panas. Perkataannya membuatku bingung harus bagaimana. Aku tidak pernah mendapat pernyataan seperti ini sebelumnya.

"Lo nggak perlu jawab perkataan gue ini kok. Gue cuma mau elo dengerin apa kata gue aja," katanya sambil menatapku sesaat. Dan, entah kenapa tiba-tiba kakiku memaksa untuk berjalan menjauhinya. Bahkan, aku berjalan dengan sangat cepat meninggalkannya. Tanpa mempedulikan hukuman itu. Tanpa mempedulikan perasaannya.


***

Halo, senang sekali bisa meng-update ceritanya. Semoga kalian sukaa ^^

Kritik dan saran diperbolehkan, apalagi vote -nya hehe :D




Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang