Bab 7 - Perpustakaan

107 8 0
                                    

Aku berjalan menuju kelas ketika bel tanda pergantian pelajaran berbunyi nyaring. Aku mempercepat langkahku sebelum guru mata pelajaran selanjutnya memasuki kelas. Bukan karena tak ingin ketinggalan pelajaran, namun karena aku ingin menceritakan kejadian ini pada Gana. Yang kutahu seperti apa reaksinya nanti, histeris.

Namun, entah kenapa tiba-tiba sosok itu muncul di pikiranku. Sosok berpunggung bidang yang pernah berkata kasar padaku. Seseorang yang membaca buku sambil tetap menjawab pertanyaanku. Seseorang yang pergi meninggalkanku, setelah merasa terganggu olehku.

Fian.

Aku ingin bertemu dengannya lagi.

Aku bingung, kenapa yang kupikirkan adalah Fian, padahal orang yang bersangkutan dengan tragediku barusan bukanlah Fian. Jelas bukan. Radit dan Fian adalah dua orang yang sangat berbeda. Seharusnya aku memikirkan Radit yang baru saja menyatakan perasaannya padaku. Seharusnya seperti itu.

Sesampainya di kelas, aku langsung mengambil tempat di sebelah Gana.

"Telat lagi?" tanyanya yang lebih mirip seperti pernyataan. Aku tidak membalas perkataannya itu, malah memandang papan tulis yang berisi penuh dengan rumus-rumus. Entahlah itu rumus apa, aku tidak peduli. Pikiranku kembali melayang saat Radit mengatakan perasaannya.

"Lo kenapa? Tumben diem aja?" tanya Gana yang penasaran.

"Fian. Tiba-tiba gue ingin banget ketemu dia," jawabku tanpa terkendali. Maksudku, yang ingin kukatakan sebenarnya bukan ini. Sungguh, kenapa mulutku ini tidak bisa dikendalikan? Yang ingin kukatakan sebenarnya adalah kejadian tadi. Namun, karena aku sudah terlanjur mengatakan hal yang lain, apa boleh buat.

"Fian?" tanya Gana lagi. Aku melihat raut wajahnya seperti sedang mengingat-ingat.

"Ah! Gue tahu!" serunya kemudian.

"Alfian Mahardika. Sebelas ipa tujuh! Bener bukan?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. Entahlah, mana kutahu namanya seperti itu. Yang kutahu hanya namanya Fian, senang membaca buku sastra, dia seangkatan denganku, dan sudah dua kali aku menemuinya di perpustakaan. Hanya itu. Tidak lebih.

"Bukan, atau nggak tau?" tanya Gana, terlihat dari wajahnya bahwa ia gemas melihatku yang tak menjawab satu pun pertanyaannya. "Nggak tau," jawabku akhirnya yang membuatnya lega.

"Jadi yang lo tau apa?" tanyanya lagi.

"Lo temen gue atau wartawan sih? Banyak tanya deh."

"Gue tuh mencoba jadi temen yang baik buat lo. Gue siap mendengar cerita lo kapan aja," katanya lagi. Jadi, kuputuskan untuk mengatakan apa yang kutahu tentang Fian.

"Yang gue tau nama dia Fian, seangkatan sama kita, suka baca buku sastra. Udah itu aja. Nggak lebih," kataku padanya. Aku jadi teringat kembali ketika ia melarangku untuk tidur di perpustakaan.

"Ngapain lo senyum-senyum gitu? Gila ya?" tanya Gana. Sepertinya, aku tadi tersenyum tanpa sadar karena aku mengingat wajah seriusnya saat membaca buku itu. "Jangan bilang kalo elo suka sama Fian?" deg!

Perkataan Gana membuat jantungku berhenti sejenak. Benarkah begitu?

"Ngarang," jawabku sekenanya.

"Udah nggak usah bohong gitu ih, nggak baik."

"Siapa sih yang bohong? Kenal aja enggak," jawabku sewot.

"Lo nyebelin banget—" perkataan Gana terputus ketika guru mata pelajaran Bahasa Indonesia memasuki kelas.

***

"Gue mau ke perpustakaan, lo ikut?" tawarku pada Gana saat bel istirahat berbunyi.

"Akhir-akhir ini lo sering ke perpustakaan. Ada apa?" tanya Gana yang curiga melihatku sering pergi ke perpustakaan. Aku hanya menaikkan kedua bahuku, menandakan bahwa aku tak akan menjawab pertanyaannya. "Nggak deh, gue laper. Mau makan sama Nadya sama yang lainnya," jawabnya akhirnya.

"Ya udah, gue tinggal dulu ya."

Gana membalasnya dengan mengangguk. Aku meninggalkan kelas, tak lupa membawa smartphone-ku lagi. Dengan begitu, aku punya sesuatu untuk mengisi waktu kosong di perpustakaan. Jujur, aku pergi ke sini karena ingin bertemu lagi dengan Fian. Aku sangat ingin mengobrol dengannya lagi.

Dan, di sinilah aku berada sekarang. Di perpustakaan yang luas dan dingin. Kebetulan, penjaga hari ini adalah Bu Gandhi. Aku lega akan hal itu.

"Hai, tumben ke perpustakaan waktu istirahat?" tanya Bu Gandhi ketika aku menyapanya. Aku membalasnya dengan senyuman, tak ingin menjawabnya karena pasti alasanku yang sebenarnya akan ditertawakan.

Aku langsung mencari-cari sosok itu. Aku mencarinya di lorong-lorong yang tercipta karena rak-rak buku yang lumayan besar, namun tidak kutemukan. Aku mencarinya lagi di tempat membaca buku, namun hasilnya sama. Entah kenapa rasanya sedih tidak mendapatinya di sini. Rasanya aku sangat ingin menemuinya. Aku tidak tahu apa yang membuatku tertarik padanya. Mungkin hanya sebatas rasa penasaranku saja? Entahlah.

Kuputuskan untuk menunggunya di tempat membaca sambil memainkan smartphone-ku. Iseng, kubuka akun instagram-ku dan mengetik nama yang disebutkan Gana tadi di kotak pencarian.

AlfianMahardika

Terlalu banyak pengguna dengan nama itu, hingga akhirnya aku punya cara lain. Kubuka akun instagram kelas sebelas IPA tujuh. Siapa tahu ada foto Fian terpampang di sana. Setelah melewati beberapa foto, barulah mataku menangkap sosok Fian di salah satu foto yang diunggah di akun itu.

Foto Fian sedang memakai medali emas dan piagam yang tulisannya tidak seberapa jelas. Jadi, kubaca saja caption foto itu.

Selamat kepada Alfian Mahardika sebagai pemenang Olimpiade Sains Nasional. Wah, medali emasnya bagus tuh, boleh kali yaa admin pake.

Jadi, Fian adalah orang yang pintar. Sangat pintar. Aku tidak menyangka. Kukira ia hanya penikmat satra biasa, ternyata ia juga jenius. Wajahnya yang manis itu membuatku terlena. Ia terlihat sangat lelah namun menikmati hasil yang ia capai.

Ah, mengetahui kenyataan bahwa ia sangat pintar membuatku merasa rendah. Aku bukan orang yang pintar, aku biasa saja.

Hingga bel masuk berbunyi, aku tidak menemukan sosoknya muncul di perpustakaan. Dan, firasatku berkata bahwa jika sampai nanti pun aku menunggunya, aku tak akan bertemu dengannya hari ini. Akhirnya, kuputuskan untuk kembali ke kelas.

Saat hendak membuka pintu perpustakaan, Bu Gandhi bertanya sesuatu yang membuatku mengingat beberapa hari lalu.

"Sudah tau siapa si pengirim surat?"

Aku menggelengkan kepalaku, lalu pamit meninggalkan perpustakaan. Tiba-tiba saja, aku berharap pengirim surat itu adalah Fian.

***

Tunggu kelanjutannya yaa ^^

Vote dan komentar? Monggo..



Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang