Bab 16 - "Karena.."

67 5 1
                                    

Haaiii! Author kembali! Akhirnya bisa melanjutkan ceritanyaa ^^ Semoga suka ya :D

***


Setelah kejadian kemarin, aku jadi tidak memiliki keberanian untuk menemui Radit. Aku juga tidak melihatnya sama sekali sejak tadi pagi. Apakah Radit baik-baik saja? Apakah perkataanku kemarin masih diingatnya? Apa ia memaafkanku?

"Woy!" seseorang menegurku sambil menepuk bahuku, membuatku sedikit terkejut lalu menoleh sinis ke arah orang itu.

"Apaan sih?" tanyaku sebal pada Niko yang sekarang sudah duduk di bangku depan kelas. Bangku panjang yang cukup untuk dua orang. Bangku yang biasanya ditempati oleh teman-teman kelasku saat istirahat untuk ngerumpi.

"Kenapa lo? Pagi-pagi udah ngelamun aja," katanya.

Aku menggeleng dan tersenyum sebagai jawabannya. Niko tidak perlu tahu. "Oh iya," kataku teringat sesuatu. "Gimana turnamen lo kemarin?" tanyaku padanya.

"Turnamen apaan?" Niko malah balik bertanya. Lho?

"Futsal?"

"Tanding biasa kok. Bukan lomba formal," jawabnya.

"Ya udah terserah. Gimana? Menang atau kalah?" tanyaku lagi.

"Kalah," jawabnya.

"Wah, pasti tim lawan curang ya?" tanyaku mencoba menghiburnya.

"Nggak, gue kalah ganteng. Kalo mainnya sih tetep menang," jawabnya lalu tertawa, membuatku menepuk bahunya keras-keras tapi ikut tertawa. Dasar.

"Gue kira kalah beneran," kataku jujur. Ia menggelengkan kepalanya lalu menoleh ke arahku, seperti teringat sesuatu.

"Denger-denger, lo kemarin berantem sama Keira ya?"

"Kata siapa?" tanyaku.

"Kemarin anak-anak futsal pada ngomongin itu. Habis tanding kemarin kan kita main bareng. Waktu itu ada yang bilang kalo Keira habis berantem sama anak kelas sebelas."

"Berita tentang Keira emang cepet ya nyebarnya?"

"Iya, apalagi kalo dia bikin ulah. Udah mirip berita perang deh," jawabnya lalu tertawa. Aku hanya membalasnya dengan senyum miring. Entahlah, tiba-tiba saja jadi menyebalkan saat nama Keira terdengar di telingaku.

"Tapi lo nggak apa-apa kan?" tanyanya lagi.

"Iya, nggak apa-apa."

"Alhamdulillah kalo lo baik," katanya.

Aku mengangguk. Tidak lama setelah itu, terdengar langkah kaki beberapa orang dari tangga. Suaranya cukup nyaring. Lalu aku melihatnya lagi. Keira dan dua orang teman jahatnya. Ia langsung menuju ke arahku dan Niko dengan pandangan tajamnya itu.

Tapi, aku tak pernah takut dengannya. Seberapa keraspun sikapnya.

"Urusan kita belum selesai," katanya.

"Emang," balasku cuek. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan siapapun sekarang.

Tangan Keira sudah diatas kepalaku, mungkin ia hendak menjambak rambutku. Tapi, tangan Niko lebih cepat mencengkram pergelangan tangan Keira. Ia sudah berdiri di depanku, menghadap Keira.

Keira terlihat marah dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Niko, namun usahanya sia-sia.

"Lo siapa sih!? Berani banget sama gue!? Lo nggak tau siapa gue!?" tanyanya dengan lantang dan nyaring. Aku benci suaranya yang melengking payah itu. Kedua temannya membantu Keira melepaskan tangannya dan membuat Niko akhirnya melepaskan cengkramannya itu

"Gue yang harusnya tanya. Elo siapa?" tanya Niko dengan pelan, tetap terdengar tegas dan menekan.

"Gue pacarnya Radit! Dan cewek yang lo lindungi ini udah ganggu hubungan gue sama Radit!" teriaknya di hadapan Niko. Untung ini masih pagi, sehingga belum banyak orang yang datang ke sekolah.

"Pacar gue nggak pernah ganggu hubungan orang lain," kata Niko dengan tajam. Apa?

Aku langsung berdiri mendengar perkataannya itu. Ia menggenggam tanganku, seolah mengatakan bahwa yang harus aku lakukan hanyalah diam.

"Jadi, ini cewek lo? Jagain tuh cewek lo! Jangan sampe gatel sama pacar orang!" katanya dengan kasar. Apapun yang diucapkan Keira selalu bernada kasar.

"Inget ya, cewek murah," katanya padaku sambil menunjuk-nunjuk wajahku. "Sekali lagi lo deket-deket sama Radit, gue nggak bakal diem aja! Murah banget jadi cewek!"

"Dan buat elo," katanya pada Niko. "Cewek lo murah banget! Mending lo putusin aja! Kemarin dia ditolongin sama orang lain. Mungkin selingkuhannya! Hahaha," ia tertawa seperti nenek lampir lalu pergi dan turun ke bawah diikuti dua dayangnya itu.

Aku kembali duduk dan menghela napas panjang, tidak habis pikir dengan kelakuan Keira dan pengikutnya yang mirip orang sakit jiwa.

"Makasih," kataku pada Niko yang juga kembali duduk di sampingku. "Tapi lo nggak perlu bilang kalo lo pacar gue."

"Sama-sama. Itu kan biar mereka nggak gangguin lo lagi. Biar mereka sadar kalo ada gue yang bakal jagain elo," jawabnya.

Aku menggeleng, "Lo nggak punya kewajiban buat jagain gue kok."

"Itu menurut lo, tapi menurut gue iya."

"Maksud lo?" tanyaku yang bingung dengan jawabannya.

"Nggak. Oh iya, siapa kemarin yang nolongin elo?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Fian. Maksud lo apa?" tanyaku, tidak ingin niatnya mengalihkan pembicaraan berhasil.

"Lo yakin, mau tau maksud gue?" tanyanya, ia menyeringai.

"Kenapa nggak?"

"Ya menurut lo emang gue nggak punya kewajiban buat jagain elo. Tapi menurut gue sendiri, gue harus jagain elo," jelasnya.

"Kenapa gitu?" tanyaku.

"Karena.."

"Apa?" tanyaku gemas karena ia tak melanjutkan perkataannya dan malah masuk ke dalam kelas. Aku mengjarnya untuk mendapatkan jawaban. Tapi, ia malah menutup pintunya.

Pintu kelas yang tidak terkunci itu langsung kubuka, dan kepala Niko menyembul dari balik pintu. Ia mengatakan, "Karena gue suka elo!"

Aku langsung terdiam membeku. Lalu, refleks menoleh ke dalam kelas dan mendapat Vino, Naya, dan Ridho yang ternyata juga memperhatikanku dan Niko. Kenapa mereka sudah datang? Kenapa Niko berkata seperti itu dengan keras? Apa ia sengaja? Bercanda atau sungguhan? Sial.


Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang