Bab 15 - Radit dan Hatinya yang Patah

75 6 1
                                    

Aku membuka mata, rasanya masih sedikit pusing. Tapi aku ingin segera bangun dari tempat tidurku.

Ya, tiba-tiba aku sudah berada di atas ranjangku dan mendapati Ibu sedang duduk di kursi depan meja belajarku. Beliau menatapku dengan khawatir. Ibu langsung mendatangiku dan duduk di sebelahku ketika mengetahui aku sudah siuman.

"Sayang, kamu kenapa kok bisa pingsan lagi?" tanyanya sambil meletakkan telapak tangannya di dahiku, entah untuk apa.

"Padahal tadi pagi suhu badan kamu sudah turun. Ibu kira kamu sudah sehat. Tau begini, Ibu nggak ngebolehin kamu sekolah tadi," katanya lagi lalu mengangkat tangannya dari dahiku.

"Aku nggak apa-apa, bu."

"Nggak apa-apa gimana? Sampe pingsan begini kok kamu masih bilang nggak apa-apa. Kan kasihan Radit juga tadi gendong kamu sampe rumah. Pasti capek, kamu kan berat," kata Ibu lagi. Ah, Ibu. Masih saja memikirkan orang lain daripada anaknya yang sedang sakit.

Setelah Ibu mengatakan itu, seseorang mengetuk pintu kamarku. Ibu langsung mempersilakannya masuk. Namun, tidak denganku karena aku tahu siapa orang dibalik pintu itu.

"Jangan masuk. Ini wilayah pribadi gue. Kalo mau ngomong, di luar aja," kataku dengan volume yang pelan.

"Lho, nggak apa-apa Radit masuk aja. Ibu kan disini, jadi nggak dosa. Masuk aja Radit," kata Ibu tetap mempersilakan Radit masuk. Tapi, aku segera bangkit berdiri dan menyeret Radit yang ada di pintu sebelum ia masuk ke kamarku.

Ibu terkejut melihatku tiba-tiba berdiri, namun beliau tidak mengatakan apapun selain menghela nafas dengan cukup keras.

Aku mengajak Radit ke halaman belakang rumah. Tempat dimana aku suka bermain ketika kecil. Tempat dimana aku, Ayah, dan Ibu menghabiskan waktu bersama di malam akhir pekan. Biasanya, Ibu akan membuatkan makanan lezat untuk kami. Sedangkan Ayah akan mempersiapkan tikar dan merubah halaman belakang menjadi tempat piknik.

Atau biasanya aku dan Ayah yang membuatkan makanan untuk Ibu. Entah itu sate ataupun makanan lain yang cara memasaknya adalah dibakar.

Radit berdiri di hadapanku sekarang. Ia mengusap rambutku pelan, namun aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. Itu membuatku semakin pusing jika Radit yang melakukannya.

"Maaf, pasti gara-gara aku," katanya. Aku tidak tahu apa yang dibicarakannya. "Aku udah tau apa yang terjadi sama kamu tadi pagi," tambahnya. Ah, jadi dia sudah tahu. Bagus kalau aku tidak perlu menceritakannya sendiri dari mulutku.

"Iya. Semua emang salah elo," kataku dingin.

"Semua emang salah lo, yang dari awal deket-deket sama gue padahal lo udah punya pacar. Lo pikir lo itu siapa? Berani banget ngebohongin gue, bilang kalo pacar lo udah meninggal dua tahun lalu. Bullshit tau nggak? Lo kira gue bakal suka sama elo gara-gara lo idola sekolah, gitu? Lo pikir gue bisa dengan mudahnya jatuh cinta sama lo!?" ucapku dengan marah. Rasanya aku ingin menangis, nafasku sudah tidak beraturan. Aku tidak akan menangis hanya karena hal seperti ini. Ini terlalu mudah untuk dilalui bagi Nurina Titalasya.

Ia hanya diam, mungkin mencerna kata-kataku.

"Dan satu lagi, gue muak sama kata-kata 'aku-kamu' yang biasa lo sebut. Gue muak," tambahku. Kini, ia melihatku dengan raut wajah tak percaya. Membuatku berpikir apa ada yang salah dari ucapanku—semua kata-kata yang terpendam selama ini.

"Tita, dengerin gue. Oke, maaf kalo elo muak sama kata-kata 'aku-kamu'. Mungkin gue yang salah ngartiin kalo elo nerima gue waktu itu," katanya.

"Tapi, tolong dengerin gue. Keira bukan siapa-siapa. Cerita gue tentang pacar gue yang udah meninggal itu emang bener adanya. Gue nggak pernah berpikir kalo gue jadi idola sekolah, seperti yang lo bilang tadi. Gue udah berpikir dari awal, kalo dapetin lo nanti bakal susah. Dan, gue bener-bener sayang sama lo," katanya. Raut wajahnya mengatakan seolah-olah ia sedang bersungguh-sungguh.

Walaupun begitu, aku masih belum bisa mempercayainya. Lagi pula, dari awal aku memang tidak memiliki perasaan apapun padanya. Melihatnya seperti ini, aku jadi tidak tega. Tahan perasaan, ucapku dalam hati berkali-kali.

"Mending lo pulang sekarang," kataku padanya yang masih menatapku. Aku merasa risih ditatap seperti ini sedari tadi.

"Kalo emang lo belum bisa percaya sama gue, terserah. Tapi gue bakal buktiin kalo semua omongan gue itu bener. Dan gue bakal bisa buat lo jatuh cinta sama gue," katanya, lalu tersenyum. Setelah semua kata-kata kasar yang kuucapkan, ia masih bisa tersenyum. Terbuat dari apa hatinya ini?

"Gue pulang dulu. Pamitin ke Ibu lo," katanya lalu menepuk pundakku dan pergi dari hadapanku. Aku tidak mengantarnya keluar. Aku bisa melihatnya dari sini, ia berpapasan dengan Ibu yang terlihat bingung mengapa Radit pulang terlalu cepat dan tidak kuantar. Akhirnya Ibu-lah yang mengantar Radit sampai ke depan rumah.

Aku kembali ke kamarku dan berniat untuk istirahat, tapi betapa terkejutnya aku mendapati Gana duduk di ranjangku sambil menangis tersedu-sedu. Aduh, kenapa lagi ini?

Ia melihatku masuk ke kamar, lalu menimpukku dengan bantal yang ada di sebelahnya. Untung saja bantal ini berisi dakron yang ringan. "Ada apa sih!?" tanyaku dengan sebal pada Gana yang muncul dan melempariku dengan bantal tiba-tiba.

"Lo jahat banget sama Radit, tau nggak!" jawabnya lalu mengusap air matanya yang jatuh di pipinya.

"Gue salah apa, coba!?" aku tidak habis pikir dengan kelakuan temanku ini. Aku juga tidak tahu kapan dia datang, kapan dia masuk ke kamarku, dan kenapa ia menangis dan marah padaku.

"Gue udah dateng dari tadi. Gue dikasih kabar sama Radit kalo elo pingsan, ya udah gue kesini. Pas lo ngajak Radit ke halaman belakang, gue lagi ada di dapur buat ngambil minum. Gue udah denger semua omongan kalian. Dan, lo jahat banget sama Radit!" jelasnya dengan kesal lalu menimpukku lagi dengan bantal.

"Lo gila ya? Gue baru siuman, udah lo timpukin. Ntar kalo gue pingsan lagi gimana!?" seruku sebal melihatnya seperti ini.

"Nggak sebanding sama sakit hatinya Radit, Ta!" katanya, balas meneriakiku.

"Emang lo siapanya dia sih!? Peduli amat! Dia emang salah, Gan. Lo lihat tadi kita diapain sama Keira gara-gara dia? Lagian kan dari awal elo yang bilang ke gue, jangan ngebuka hati gue buat Radit."

"Tapi nggak gini caranya. Radit nggak pernah bohong sama elo," akhirnya ia berkata dengan lembut.

"Termasuk soal Keira?" tanyaku lalu duduk di sebelahnya.

"Kalo soal itu gue nggak tau. Tapi, Radit nggak pernah bohong soal pacarnya yang meninggal itu."

Aku langsung tertegun. Menyadari betapa jahatnya kata-kata yang keluar dari mulutku ini. Pasti sakit sekali hatinya ketika kukatakan bahwa semua ucapannya adalah bohong.

"Gue salah ya, Gan?" tanyaku lirih. Aku menundukkan kepalaku, rasanya ingin menangis lagi. Kali ini karena menyesal telah mengatakan hal-hal buruk tentang Radit. Aku salah, tidak seharusnya aku mengatakan hal itu. Tidak seharusnya aku bilang bahwa Radit pembohong. Tidak seharusnya aku mengusirnya.

"Lo boleh nolak Radit dan terus berjuang buat dapetin Fian, Ta. Tapi nggak gini caranya," kata Gana lalu merangkulku. Ia sudah tidak menangis, kini giliranku yang terisak.

"Lo emang manusia paling bego dan nggak peka yang pernah gue kenal, Ta," katanya lagi. Membuatku tersenyum di sela-sela isakanku, menyadari kobodohanku.

***

Halo! Maaf yaa, cerita kali ini lebih pendek dari biasanya. Semoga suka sama jalan ceritanya yaa ^^ Jangan lupa vote bab yang kalian suka :)



Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang