Bab 9 - Membuka Hati

94 7 3
                                    

Hai, maaf sebelumnya karena telat update cerita dikarenakan jadwal yang mulai padat. Semoga pembaca bisa mengerti keadaan Author yang seperti ini adanya. Semoga suka ya, jangan lupa vote dan comment!  ^^

***

Hari sudah malam dan aku sedang berbaring di kasur, hendak tidur. Tapi bukannya mengantuk, aku malah teringat akan kata-kata Radit tadi sore saat ia menemuiku di rumah. Ia hanya mengajakku bicara tentang apa yang ia rasakan, apa yang ia inginkan.

"Gue suka sama lo, Ta."

"Ya.. terus?"

"Udah. Gue cuma mau bilang itu. Sebenernya banyak yang mau gue bilangin ke elo. Tapi mungkin itu dulu aja cukup," balasnya.

Kami duduk di kursi yang ada di teras rumahku saat itu. Ibu ternyata membuatkan minuman untuk Radit sesaat setelah beliau masuk ke rumah.

"Cerita aja sekarang. Gue nggak berharap di sekolah ketemu lo lagi dengan alasan masih ada yang harus lo kasih tau ke gue."

"Lo nggak mau tanya, sejak kapan gue suka sama lo? Emang lo nggak penasaran?" tanyanya sambil menaikkan alisnya. Membuatnya terlihat maskulin di mataku.

"Enggak," jawabku.

"Ya udah deh, terserah elo mau tau apa nggak. Tapi, gue mau cerita sesuatu kalo emang besok-besok lo nggak mau ketemu sama gue lagi."

"Apa?"

"Gue suka sama elo. Udah setengah tahun ini gue diem-diem perhatiin elo, yang ternyata sama sekali nggak peka. But, it's okay. Lo udah pernah denger kalo gue sebelumnya punya pacar?"

"Hmm," jawabku seadanya namun sebenarnya mulai tertarik mendengarkan.

"Iya, dulu gue pernah pacaran waktu kelas tiga SMP. Semua berjalan baik-baik aja, sampe Tuhan ngambil pacar gue waktu akhir-akhir kelas sepuluh." Aku melihat wajahnya yang tiba-tiba berubah menjadi murung. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.

"Kalo boleh tau, pacar lo meninggal karena apa?" tanyaku sehalus mungkin agar ia tak merasa sedih. Aku menyentuh pundaknya dan menepuk pelan punggungnya, ingin memberinya energi positif yang kumiliki.

"Dia sakit," katanya. Ekspresi wajahnya sudah membaik, mungkin ia menyadari bahwa tidak ada gunanya menangisi apa yang telah pergi. Karena ia tidak akan pernah kembali lagi. Aku tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu.

"Gue pikir gue nggak bakal bisa jatuh cinta lagi sama orang lain. Gue pikir Nana juga nggak bakal seneng kalo gue suka orang lain. Tapi, ternyata gue salah. Presepsi gue selama ini salah. Waktu gue ngelihat lo, gue tau gue salah. Gue jatuh cinta lagi. Sama seorang Tita. Dan, Nana nggak mungkin sedih kalo orang yang disayanginya bahagia. Walaupun bukan sama dia."

Aku paham sekarang. Nana mungkin adalah nama pacarnya yang sudah meninggal itu. Dan, aku sedikit merasa simpati pada Radit karena mengalami ini semua. Mungkin, memang tidak salah jika ia menerima kebahagiaan. Mungkin, memang tidak seharusnya ia mengalami keterpurukan terus-menerus. Ia juga harus bahagia.

"Gue.. nggak tau harus ngomong apa," kataku jujur. Aku memainkan jari-jariku.

"Lo nggak perlu ngomong apa-apa, kok. Dan, kalo emang lo nggak mau ketemu gue lagi ya nggak apa-apa. Lo mungkin keganggu sama kehadiran gue. Maaf ya. Mulai besok gue nggak bakal muncul lagi kok di hadapan lo. Jadi, lo nggak perlu lagi ngerasa risih," katanya lalu tersenyum ke arahku. Senyumnya itu selalu membuat hangat orang yang melihatnya, tapi bukan aku.

Aku terdiam. Mana mungkin aku membiarkannya sakit hati setelah ia merasakan kehilangan yang begitu menyakitkan. Aku tidak bisa menerimanya. Tapi, "Tetep muncul di hadapan gue. Tetep gangguin gue semau elo. Gue seneng lo ngelakuin itu."

Tiba-tiba saja aku mengatakannya. Mulutku berbicara sebelum otakku mengizinkan. Radit tersenyum, kali ini lebih lebar. Sepertinya aku lebih suka melihatnya tersenyum daripada murung seperti tadi. Aku ikut tersenyum.

"Ini senyum pertama lo buat gue, makasih ya," katanya sambil mengusap kepalaku.

"Iya," jawabku.

"Gue pulang dulu ya," katanya lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pagar. Seakan teringat sesuatu, ia berhenti dan menoleh padaku yang berjalan di belakangnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Belum pamit ke Ibu kamu," katanya. Nah, ia sekarang memanggilku dengan sebutan 'kamu'. Apa artinya ini?

"Iya, nanti gue pamitin. Biasanya jam segini Ibu lagi repot-repotnya," kataku.

"Iya, repot soalnya kamu nggak bantuin," godanya sambil melanjutkan berjalan keluar pagar. Aku mengantarkannya sampai ke depan pagar.

"Bantuin Ibu kamu tuh, 'kan kasian harus ngurusin kerjaan rumah sendirian," katanya sambil memakai helm-nya.

"Ih, gue mah pasti bantu-bantu ya," cibirku. Ia sudah menyalakan motor besarnya itu.

"Udah, jangan cemberut gitu ntar cantiknya ilang. Aku pulang dulu ya. Besok pagi aku jemput jam enam," katanya lalu pergi sebelum aku sempat menjawab perkataannya.

Aku membuka smartphone-ku dan menemukan satu notifikasi aplikasi chat, Line. Dari Radit, padahal aku tidak merasa pernah menambahkannya sebagai teman.

Kangen.

Itu isinya. Sesingkat itu. Aneh, baru saja tadi sore kita bertemu. Aku meng-klik tulisan add.

Hehe.

Hanya itu jawabanku karena aku bingung harus membalasnya seperti apa. Kuputuskan untuk tidur walaupun pesanku tadi mungkin akan dibalas karena sekarang sudah ada tulisan read di samping pesanku.

Dan, benar saja. Bunyi notifikasi itu muncul sesaat setelah aku memejamkan mata. Aku tidak berniat untuk membalasnya. Jadi, aku mengabaikannya dan mencoba untuk tidur.



Ms. Naughty and The Three MusketeersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang