Part 9

102 8 0
                                    

Semakin aku tidak mau berjuang, semakin kamu jauh untuk kugapai.

Riana POV

Mama bilang hari ini, tepatnya nanti malam, aku akan bertemu orang yang akan dijodohkan denganku. Ada perasaan penasaran, karena aku sama sekali tidak tahu identitasnya. Ada juga rasa nervous, kalau saja dia tidak menyukaiku saat pertama memandangku.

apa yang akan aku lakukan jika itu benar - benar terjadi?

Tidak , aku tidak perlu merubauh tampilanku. Bukankah aku sudah melakukannya tempo hari?

Ya benar. Aku hanya perlu tenang menghadapi nanti malam. Karena aku pernah mendengar dari temanku jika kepercayaan diri bisa merubah seseorang menjadi good looking.

Lalu apa yang bisa aku siapkan untuk nanti malam selain mental? Oh mungkin aku harus menyiapkan pertanyaan apa saja yang akan aku tanyakan padanya nanti.

Duh ribet sekali aku ini!

Oke oke. Aku akan bersikap biasa saja. Let it flow,Na....

"Apa yang kamu pikirkan nona dingin?"

Aku tersentak dari lamunanku karena goyangan meja yang menandakan kalau ada yang bergabung di mejaku.

Aku melirik siapa yang sudah bergabung di mejaku, tidak biasanya ada yang mau bergabung denganku.

"Kamu ini ditanya diam saja. Kamu kenapa nona?"

Oh ternyata yang bergabung adalah bos baruku yang bipolar. Sebenarnya aku malas berbicara dengannya, tapi karena mood ku hari ini sedang baik jadi tak apalah jika dia bergabung.

"Tidak. Saya hanya sedang memikirkan sesuatu yang tidak penting, Pak"

Aku sedikit menarik ujung bibirku. Hanya sedikit.

Dia mengangguk lalu tersenyum simpul. Selanjutnya suasana menjadi sepi tanpa ada yang berniat membuka topik pembicaraan.

Dia asyik menyeduh kopinya seakan kopi itu adalah minuman terenak sedunia.
Aku terus memperhatikannya. Dia pria yang sangat menarik. Dia memang tampan, bahkan sangat tampan, tapi bukan ketampanannya yang membuatnya begitu menarik.

Aku terus memperhatikannya, mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang membuatnya begitu menarik. Apa matanya? Tidak, matanya indah, namun biasa saja. Kuperhatikan lagi setiap inchi wajahnya.

Ah! Aku tahu sekarang!

"Apa kamu begitu tertarik denganku nona?"

Dia tersenyum mengejek dan mengedipkan matanya. Seketika aku tertawa terbahak karena menurutku pria sepertinya tidak cocok berekspresi seperti itu.

"Haha! lihat muka anda! anda sangat tidak cocok ber-ekspresi seperti itu! haha"

Dia terlihat kesal karena aku menertawakannya. Sekarang ekspresinya berubah, dahinya berkerut, bibirnya mencebik lucu. Aku tak urung semakin tertawa dibuatnya.

"Hey kau! berhenti menertawakanku!"

Aku meredam tawaku. Rasanya tidak enak menertawakan bos sendiri. Dia tersenyum senang ketika aku berhenti tertawa.

"Bagus. Aku suka ketika kamu tersenyum dan tertawa, karena itu sangat jarang. Tapi aku tidak ingin kamu menertawakanku, aku ingin kamu tertawa karenaku."

Setelah mengatakan itu dia langsung pergi meninggalkan aku yang masih mencerna kata - katanya.

*****The Right Guy*****

Aku duduk didepan kaca, melihat pantukan diriku di kaca itu. Aku mengenakan gaun yang sangat cantik milik mama dulu. Gaun warna biru muda yang menyejukkan mata ketika dipandang.
Rambutku kugelung rapi, dan tak lupa sedikit memulaskan make up pada muka.

Baiklah, aku sudah siap.

Aku berjalan keluar kamar, di luar mama dan papa sudah menungguku. Pertemuan keluarga ini memang akan diadakan di restoran.

"Kamu cantik sekali,Na"

Aku hanya tersenyum malu - malu sebagai balasan pujian mama. Aku ini memang sudah 25 tahun, tapi aku masih suka malu ketika ada yang memujiku.

Hanya membutuhkan sekitar 30 menit perjalanan dari rumah ke restoran. Hatiku semakin tak karuan, pikiran - pikiran negatif bermunculan di benakku.

Tarik napas....
Buang...

Aku mencoba trik itu untuk mengusir rasa nervous ku.

Aku merasakan sebuah tangan menggandengku masuk ke dalam restoran, memberikanku kekuatan. Mama menggandengku sambil tersenyum mencoba menenangkanku.

Aku melihat ada tiga orang dimeja itu, satu laki - laki paruh baya seumuran papa, satu perempuan yang masih cantik walaupun aku tahu kalau usianya seumuran mamaku, satu lagi seorang laki - laki yang kemungkinan berumur 30 an.

Dia menundukku memainkan ponselnya, membuatku tidak bisa melihat wajahnya.

Papa memperkenalkanku pada keluarga di depanku. Aku menjabat tangan mereka. Disitu aku tahu ternyata mereka adalah Pak Herman, Bu Eni, dan satu lagi, pria yang kini menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa kutebak, namanya Arfa.

Kami terlibat perbincangan ringan. Pak Herman dan Bu Eni sangat ramah. Beberapa kali mereka mencoba mengajakku berbicara. Sedangkan Arfa tidak banyak bicara hanya tersenyum mendengarkan kami.

Tiba saat dimana Pak Herman menyampaikan maksud dari pertemuan malam ini.

"Gimana Arfa,Riana? Apa kalian setuju dengan perjodohan ini"

Aku dan Arfa refleks saling bertatapan.

"Bolehkah aku dan Riana berbicara berdua di luar?"

Semua mengangguk mengiyakan permintaan Arfa. Aku berjalan keluar restoran mengikuti Arfa.

"Apa kamu tidak keberatan dengan perjodohan ini?"

Arfa bertanya padaku dengan wajah yang serius.

"Tidak"

Aku menjawab dengan tegas pertanyaannya. Dia mengerutkan dahinya pertanda bingung, mungkin dengan jawabanku atau ketegasan ucapanku.

"Aku yakin aku akan bertemu dengan laki - laki yang tepat, yaitu jodohku. Dan semua itu butuh proses bukan? Lalu aku juga tidak tahu apakah kamu laki - laki itu atau bukan. Jadi aku tidak akan menghindari perjodohan ini, karena pasti ini bagian dari proses itu."

Dia diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirku.

"Lalu jika aku bukanlah pria itu?"

"Maka kita tidak perlu melanjutkan perjodohan ini. Lebih baik kita mencoba"

Aku tersenyum menyelesaikan kalimatku. Dia terlihat lebih rileks dari pada tadi.

"Baiklah. Mari kita mencobanya"

Tanpa kusangka, Arfa menggandeng tangan ku masuk ke restoran. Orang tuaku tersenyum melihatku masuk bergandengan tangan dengan Arfa.

"Pa, Ma, Om, Tante, Arfa dan Riana sudah memutuskan untuk mencoba dulu, apakah kita cocok atau tidak. Jadi kita tidak menjamin hubungan ini akan sampai pada tahap pernikahan"

*****The Right Guy*****

The Right GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang