Part 11

79 7 0
                                    

Awalnya kita saling mengenal, lalu dekat, merasa nyaman, dan akhirnya hati kita bertautan

Arfa, Arfa, dan Arfa.
Nama itu selalu berhasil membuat Ana tersenyum sendiri. Perhatian dan sikap manisnya berhasil memikat hati Ana seperti lalat yang terpengkap dalam lengketnya kertas abu coklat. Ana benar - benar mabuk dengan perhatian dan sikap Arfa.

Bukankah seperti itu cara kerja cinta?
Atau mungkin semua itu hukum tarik menarik?
Engkau seperti magnet, dan diriku seperti besi di berserakan. Tak peduli diriku ini serpihan besi ataupun besi yang utuh. Yang kutahu hanyalah keharusan untuk datang padamu, kedalam pelukan daya tarikmu yang begitu membiusku ini.
Aku tak peduli kemana kau akan membawaku, membawa hatiku, yang kutahu hanya kenyataan bahwa besi ini 'tlah menyatu dengan magnetmu. Salahkah diriku terlalu cepat tertarik seperti ini? Tidak.
Jangan salahkan aku, magnetmu yang terlalu kuat menarikku.
Ya,,, Arfa... Aku 'tlah tertarik olemu.

*****

Siang begitu terik, panasnya menerpa gedung perkantoran itu. Di dalamnya tak ada yang merasakan terik matahari, karena kemajuan jaman membuat semuanya terasa baik - baik saja. Namun tidak untuk Bani, siang ini rasa penasaran mengusik batinnya, meneriakinya untuk segera mengakhiri rasa penasarannya dan mendapatkan jawaban atasnya. Di sisi lain Ana tengah asyik dengan pekerjaannya dan mungkin juga dengan perasaannya yang dipenuhi bunga - bunga bermekaran.

"Ekhm,, Siang ini panas sekali. Apa kamu tidak merasa gerah,Na?" Bani mengibas-ibaskan tangannya seolah mencoba mengusir panas.

"Tidak. AC disini dingin." Bani merasa canggung karna yang dikatakan Ana benar. Disini tidak panas, ia hanya mencari - cari alasan untuk mengobrol saja.

"Ehm,, kamu berbohong padaku Na" Ana nampak kebingungan dengan pernyataan bosnya itu.

"Iya, kamu bohong. Kamu bilang enggak punya pacar, tapi kemarin dijemput laki-laki" Seakan mengerti kebingungan Ana, Bani menjelaskan tentang apa yang dilihatnya kemarin, yang membuatnya dilanda penasaran.

"Oh itu, dia memang bukan pacarku. Dia orang yang dijodohkan denganku. Wajar bila dia menjemputku." Dengan satu tarikan nafas Ana menjelaskan mengapa ia dijemput laki - laki kemarin.

"Oh..." Bani segera keluar dari ruangan itu.

Ia merasa ada perasaan aneh yang mendera hatinya. Perasaan tak rela. Perasaan tidak enak. Ia merasa sesuatu akan direbut darinya.

Ia berusaha menghirup napas dalam - dalam. Berusaha mengenyahkan perasaan itu.

Perasaan ini tidak benar.

Bani berusaha merapalkan mantra itu dalam hatinya, berharap semua akan baik - baik saja seperti semula.

Dia bukan type mu Ban! Kamu tidak akan pernah menyukainya!

Bani terus mengucapkan kata - kata itu dalam hatinya.

Setelah merasa lebih baik, Bani memutuskan untuk kembali ke ruangannya dan melanjutkan pekerjaannya. Ia berjanji pada dirinya bahwa ia tidak akan memikirkan Ana lagi, kecuali untuk urusan kerja.

*****

Bani benar - benar melaksanakan janjinya itu. Demi mengenyahkan Ana dari pikirannya, Bani tidak mengajak Ana bicara kecuali untik urusan pekerjaan.

Ana yang tidak peka, tidak merasakan perubahan dalam diri bosnys itu. Memang ia merasa bosnya tak lagi berisik. Tapi ia sama sekali tak mengambil pusing dengan itu. Ya, seperti itulah Ana, cuek dengan sekitar.

Keheningan terasa di dalam ruangan itu. Hanya terdengar suara alunan tangan yang menari - nari diatas laptop saling bertautan, menciptakan irama tersendiri bagi keheningan ruangan itu.

Drrt Drrt...

Suara getar Hp memecah keheningan di ruangan itu. Getar itu berasal dari Hp Ana. Dengan gerakan cepat Ana meraih Hpnys dan membuka pesan di dalamnya.

From : Arfa

Sudah jam makan siang, jangan lupa makan, Okay?

Ana tersenyum sendiri sambil mengetikkan balasan untuk pesannya itu. Jari - jari Ana yang awalnya asik menari diatas laptop diri berpindah.

Sedangkan di seberang sana, ada seseorang yang mati- matian menahan dirinya untuk tidak penasaran dengan isi pesan itu.

*****

The Right GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang