I Will Never Let You Go

50 1 0
                                    

Orang yang tepat bukanlah orang yang selalu kita pilih. Dia bisa saja datang ketika kita mengalami banyak masalah. Mengalami banyak kebimbangan. Disaat kita sudah meninggalkannya, dia datang menolong. Membawa kehidupan yang baru.

***

Sebuah hotel tempat gue menginap malam ini di Sabang, salah satu kamarnya menjadi ruangan gue berbincang di telfon dengan Ayu. Perbincangan yang lama hilang. Tapi masih tetap hangat. Karena kedua insan ini masih memiliki perasaan yang kuat untuk saling memiliki.

Dimana sebelum itu, semalam pagi gue ketemu doi di pantai.

Penampilan Ayu tidak sama seperti dulu. Sekarang doi udah agak gemukan. Lebih seriusan. Tak banyak bicara. Wajahnya seperti menyimpan luka yang lama ditanam.

Tapi perasaan Ayu masih seperti dulu. Tetap sayang sama gue. Ingin kembali dalam hidup gue. Doi gak bisa hidup dengan cowok yang gak dicintainya.

Dalam pertemuan kami, gue bercerita kepada Ayu tentang masalah Gita. Masalah gue pernah nyelingkuhin dia. Memang sudah terlambat. Tapi setidaknya, gue ngerasa bersalah ke Ayu kalau gak pernah nyeritaiin itu semua. Toh, kita juga udah gak jalan lagi.

Mendengar semua cerita gue, Ayu menampakkan wajah kecewa. Menangis. Bibirnya tidak mengeluarkan sanggahan ke gue. Ayu sangat terpukul. Kejujuran gue membuatnya shock.

"Maafkan aku. Aku tidak seperti apa yang kamu inginkan, dan apa yang kamu cari." Gue berkata lirih ke Ayu yang sedang berdiri membelakangi gue memandang pantai.

Ayu enggan berkata-kata. Terdiam. Tatapannya nanar ke depan.

Suasana hening itu terjadi sepuluh menit.

"Aku maafin kamu kok." Ayu berkata pelan. "Apalagi yang bisa aku lakukan? Selain memaafkan kamu."

Ngedengar doi ngomong gitu, gue tertunduk lega.

Ayu lalu noleh ke belakang, tersenyum, dan berkata "aku masih sayang kamu... pa."

Gue berdiri dan spontan memeluknya. Pelukan erat. Gue gak mau ninggalin doi lagi.

Seperti yang terjadi saat kita pacaran dulu. Tanpa kata-kata jadian yang pasti. Tanpa kalimat haru yang membirukan hati. Tanpa garansi kebersamaan. Di pantai ini, saat semua burung-burung bernyanyi menyambut hari, kisah gue dan Ayu kembali terjalani.

***

"Terus... terus?" Gue tertawa kecil dan bertanya ke Ayu dari telfon.

"Iya pa. Tau gak waktu mama mutusin dia, dia sok-sok cool gituh. Dia bilang ke teman-teman mama kalau dia udah 'ngapa-ngapain' mama." Ayu dari seberang telfon masih menjelaskan.

"Serius? Wah, gak bener tuh."

"Hooh. Padahal si kupret itu tiap malam minta balikan. Gak pernah ada, orang yang sayang sama pasangannya, tapi menjelek-jelekkan pasangan ke semua orang. Ih, gak deh."

"Kan itu pilihan mama. Hahaha."

"Yee, mama juga kasihan sama dia dulu makanya mama terima."

"Hihi. Jadi sekarang gimana tuh?"

"Mama udah ganti nomorkan. Hanya keluarga dan papa yang tau nomor ini. Mama mau ngejalanin sisa ke-remajaan ini sama papa."

"Iya ma. Makasih ya udah mau ngejalanin semuanya lagi sama aku."

"Iya pa. Kamu sayang sama aku kan?"

"Sayang banget pastinya."

Dalam beberapa menit, Ayu terdiam. Sementara gue masih menyisakan senyum tawa.

Cinta SkizofreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang