Bisa dibilang gue orang yang cukup beruntung bisa bepergian mengunjungi kota lain selain kota Medan. Sebagai orang susah, gue pernah ke Jakarta, Bali, Yogyakarta, Bandung, Aceh, Pekanbaru, dan terakhir gue ngunjungi kebun binatang buat ngelihat kembaran gue. Ya, walaupun gue ke luar kota, tapi itu sama sekali bukan urusan pribadi melainkan urusan kerjaan. Beberapa penerbit dan kampus sering manggil gue untuk talkshow, dan biasanya juga sesudah urusan itu gue sempatkan untuk ke tempat wisata disana. Banyak hal-hal atau kebiasaan orang luar yang sangat bertentangan dengan arwah gue sebagai orang Medan. Makanya kalau ntar jumpa gue di luar, gue milih lebih banyak diem, takut salah ngomong. Soalnya logat gue itu keras karena gue orang batak.
Salah satu yang paling buat aneh di Jakarta adalah saat gue di undang datang ke salah satu penerbit di daerah Palmerah Barat. Turun dari bandara gue langsung dijemput orang dari penerbit. Baru jalan sepuluh menit di tol yang gue gak tau dimana, tiba-tiba udah macet panjang. Gue tanyain sama si mas-mas sopir katanya itu udah biasa di ibukota. Apaan yang biasa? kalau nunggu macet sampe setengah jam lebih itu justru Ruarr biasa. Apalagi penyebabnya itu cuma lampu merah doang. Si mas-mas supir bilang lagi kalau biasanya itu macet nungguin lampu merah bisa sampe satu jam lebih. Hellouwh?.. Langsung ajah gue lihat lampu merahnya, ternyata angkanya nyampe ke nominal 150. Mata gue melotot heran. Gue mikir itu kalau di medan lampu merahnya nyampe angka seratusan gitu, bisa-bisa di angkut sama pemuda setempat. Anak medan itu terkenal gak penyabar banget. Tapi beda kalau lagi boker, semua orang, siapapun dia, dari suku apapun, agama apapun, dan walau dia gak seganteng gue, dia akan selalu sabar menunggu eek nya berkibar di genangan kakus.
*Dilempar eek*
Bicara soal cara-cara memperingatkan, gue juga banyak mengalami perbedaan ini di luar kota. Pernah gue disuruh penerbit untuk datang promosiin buku gue yang baru sekaligus ikut seminar di kampus Yogya. Setelah habis kerjaan, gue nginap di hotel yang disEdiain oleh pihak penyelenggara seminar. Lelah seharian karena kebanyakan ngebacot sama mahasiswa tadi membuat gue kebelet pipis. Gue langsung menuju kamar mandi. Kamar mandi hotel sangat mewah, ada sauna, ada steam, dan ada Jacuzzi nya, tapi itu terlalu mewah banget buat gue dan titit gue. Titit gue gak biasa dimanjakan dengan begituan. Emang dasar titit gue berasal dari kaum blangsak, pengennya pipis di dinding rumah-rumah orang. Ada yang mengganjal hati gue dan berfikir dua kali untuk itu, kalau di Medan sih gue biasa pipis sembarangan, kalau di Yogya? bisa di iris-iris titit gue lalu di kasih buat makan bebek. Tapi gue gak bisa melawan birahi sang titit untuk membasahi dinding rumah orang, gue kebawah dan masuk gang-gang rumah untuk pipis. Tapi tulisan di dinding yang ngebuat gue gak jadi pipis.
MOHON TIDAK KENCING DISINI.
Sungguh kalimat yang sangat sopan. Masyarakat yogya memang terkenal akan sopan santunnya. Tapi bila ditilik lagi, peringatan serupa justru akan sangat berbeda ketika loe ada di Jakarta. Kalau di Jakarta kira-kira akan menjadi : DILARANG KENCING DISINI. Itu karena masyarakat ibukota terkenal tegas gak neko-neko.
Kalau di Medan yang kehidupannya keras kalimat itu bisa sangat menyakitkan.
CUMA ANJING YANG KENCING DISINI.
Gue jamin loe bakal geleng-geleng kepala dan titit loe bisa sangat tersinggung karenanya.
Dan perbedaan itu semakin terasa bila kita lihat peringatan-peringatan lainnya.
Yogya : Mohon tidak buang sampah sembarangan.
Jakarta : Dilarang buang sampah sembarangan.
Medan : Cuma Anjing yang buang sampah sembarangan.
Contoh lain lagi ketika kakak gue buat peringatan di pintu kamarnya.
Kakak gue versi Yogya : Mohon tidak masuk kamar ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Skizofrenia
Roman d'amourRea, adalah seorang cowok yang berprofesi sebagai penyanyi keliling. Iya, kayak topeng monyet memang. Tapi itu adalah nama gue dan pekerjaan gue. Gue manusia, bukan monyet. Secara tampang sih gak jauh beda. Jidat gue adalah salah satu objek yang pal...