7. Cindy

27 2 0
                                    

Den Haag, 11 Januari, Mr.Hanif.

Hanya ada beberapa kata untuk tahun-tahun itu, "vaarwel Hindia Belanda, so sorry, bila ini terlalu vulgar."

Aku ingin ke Bengkulu akhir musim ini, tapi restoran Indonesia yang dikelola orang Belgia ini membuat ku gusar, karih ayam, rendang, soto lamongan, sate, masak Bali, sambal goreng, bistik dan gudeg, rasanya begitu lemah, kurang bumbu, mereka bilang bumbunya sedikit agar pas disemua lidah. Aku tidak percaya sedikit bumbu agar pas disemua lidah, omong kosong itu hanya ada di pesawat terbang.

Aku adalah penulis novel, juga pencinta kuliner, aku lahir di Bengkulu, kau tahu kota Bengkulu? Disana tempoyaknya enak.

Aku membuat puluhan naskah novel, semua ditolak penerbit di Indonesia, editor mereka pasti siput dan kecoa, aku tidak percaya saat aku ke Belanda untuk berkerja, di Den haag, semua karya ku diterbitkan, lihat penerbit di negara ku yang menyedihlan, aku hidup enak disini di Den Haag, dan kalian yang disana, rasakan!, rasakan hidup menderita bersama para penjabat yang suka minta duit, viver jam! Itu istilah kami kepada negara yang menghiyanati rakyatnya sendiri.

Matilda dia wanita penjual bunga, dia istri ku, orang Irlandia asli, dia suka karyaku, dia menulis surat padaku, katanya aku pria sejati, hal ini langsungku manfaatkan, ku katakan padanya apa benar aku pria sejati?, kalau itu benar apa aku pria beruntung yang bisa bisa menikah denganya?, akal licikku berhasil, aku menikah dengan seorang wanita yang kunkenal baik.

Seorang tokoh Rusia pernah berkata, yang mana yang lebih penting?, nasionalisme kah?, atau kemanusiaan?, jawabanya kemanusiaan itu lebih penting, rakyat itu lebih penting, negara itu hadir untuk mengurus dan menjaga rakyat, bukan malah kabalikannya, aku tidak tahu harus bagaimana mengartikanya, dan mulai dari mana memahami pendapat orang Rusia ini, aku tidak suka politik, mau ya mau, tidak ya tidak, itu menurut ku lebih baik.

Penulis seperti ku sangatlah naif dan penuh ambisi, aku selalu berpikir tulisan untuk uang, tulisan untuk hidup enak, dosen ku bernama Profesor. Alaxsander Mark seorang pria kelahiran Moscow, Profesor sunguh bijak, kata Profesor tulisan itu dibuat untuk insfirasi, untuk menyenangkan hati, memberi jawaban, memberi sebuah arti, tidak menyingung dan tidak untuk uang.

Aku bertanya pada Profesor, "apakah ada tulisan sejati?."

"Tulisan sejati muncul dari banyak arti, dari banyak hati, dari banayak kebaikan" jawab beliau, aku tidak mengerti, aku tidak mengerti dalek Rusia.

Cidy Critiana, nama itu selaluku ingat, seorang wanita muda Bengkulu, dia anak sahabat ku bernama Nadal seorang pria Belanda yang beristri orang Bengkulu.

Suatu hari di hari sabtu, aku sedang minum teh dan bermain catur dengan putri kesayanganku Ana, tiba-tiba Mr.Nadal muncul bersama Cindy mebawa sebuah keranjang berisi kue pai apel.

"Selamat siang Mr.Hanif," kata Nadal dengan senyuman seorang sahabat. Nadal memberi tahu bahwa putrinya Cindy bercita-cinta menjadi penulis.

"Punya cita-cita itu bagus, cita-cita awal dari sejarah," kataku menyemangati Cindy.

Namun Cindy wanita muda yang ambisius, dia meperlihtkan 12 naskah novel bertema Itali, Perancis, Belanda, Jerman dan Swiss dan juga sudah ku duga Spanyol tentu saja.

Aku tidak tahu harus mulai dari mana saat Nadal meminta ku menilai tulisan putri kesayanganya. Aku bingung, aku meminta Cindy memilih sebuah naskah untukku, dia memilih sebuah naskah berjudul Melody In The Sky Of Paris.

Aku mulai membaca sinopsisnya, tentang pria bernama Paris berkerja sebagai polisi yang bertemu dengan seorang wanita tunanetra dari Jerman seorang penjual bunga, bila Fuhrer membaca ini dia pasti akan marah.

Kisah cinta, di halam pertama terlalu hambar sehambar tepung , halam kedua sama, ketiga sama, keempat ada rasa asam seperti tomat maaf bila aku kasar, sudahku duga karya ini belum masak, terlalu ambisius, namun tidak sehebat hasilnya, hanya kumpulan tepung dan tomat.

Ku jelaskan padanya, namun sebelum itu aku bertanya dulu padanya, "sebenarnya apa yang terjadi di Indonesia?, apa kau sudah kepenerbit di Jakarta?"

"Semua naskahku di tolak penerbit Jakarta, padahal banyak yang suka ceritaku" jawabnya, aku benar-benar sedih memdengar jawaban itu, itu juga yangku alami.

"Mengapa anda membuat tulisan bertema ini?," ku tanyakan itu padanya.

"Aku suka Eropah, aku pernah kebeberapa negara Eropah, aku tahu tentang Eropah, aku bisa bahasa, Inggris, Jerman dan Belanda."

Ya begitu lah orang yang ambisius, mereka merasa banyak tahu, yang jadi masalah sebenarnya bukan Eropahnya, tapi ceritanya, ceritanya hambar, dan ku rasa orang yang suka pada cerita ini tentu saja beberpa orang yang diet gula dan garam, maaf bila aku vulgar.

Alamandra : Terompet EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang