8. Nilai 4

19 2 0
                                    

Yoguslavia kota Brage, 8 September 1955.

Aku betemu dengan Nadal disebuah bar, Nadal mabuk dan memaki-maki dalam bahasa Belanda. Kebetulan aku orang Indonesia dari Belanda, aku datang kemari karena ingin mengunjungi Sarajevo. Melihat Nadal yang mabuk muncul rasa kasihan, rasa solidaritas sesama orang yang memakai bahasa Belanda dan tinggal disana.

Kami mengobrol, awalnya pembicaraan kami tidak nyambung, aku seperti orang sinting yang bicara pada orang mabuk. Namun akhirnya Nadal tersadar, dia datang ke Brage untuk liburan dan katanya dia ingin ikut denganku ke Sarajevo.

Singakat cerita kami berteman dan menjadi sahabat, dan itu artinya aku sekatang harus menolong Cindy anaknya.

Kembali di Den Haag. Aku katakan pada Cindy, ada kelemahan ditulisanya, kelemahanya adalah terlalu terbelengu, bagai genangan air yang tidak bebas mengalir, seandainya Jepang kalah perang, aku akan membacakan filsafat China, tapi Jepang menang perang, aku tidak berani macam-macam.

Cindy masih bingung, ceritanya bagus cuma terlalu fasik seperti acar di toples, soal acar aku lebih suka acar Bengkulu dari pada acar disini, sedikit asam dan sedikit asin, tidak sekuat acar kami di Indonesia tepatnya Bengkulu.

Aku bersama Cindy menemui seseorang, sahabatku yang lumayan lama dan berkerja sebagai editor di penerbit Orange Nasau Company, telinga ku panas mendengar kato Company.

Namanya Mr.Erik Van Handrix, seorang pria kelahiran Suriname, dan orang Belanda asli, dia pria suka makan acar mentimun, acar mentimun dengan nasi, tanpa lauk, benar-benar gila.

"Selamat siang Mr.Erik, apa aku menganggu," kata ku seramah mungkin.

Erik pria berambut pirang jangkung, iya memajukan bibir bawahnya, sangat tidak sopan seperti yang sering dilakukan kera Bakantan di negara Borneo yang kini secara administrasi telah bergabung ke negara Indonesia Serikat.

"Tidak juga, maaf Mr.Hanif," jawab Erik.

"Aku membawa sebuah naskah dari seseorang, kalau boleh," kata ku sambil meperkenalkan Cindy pada Mr.Erik.

Mr.Erik dia mulai membaca sinopsisnya, matanya terbelalak tidak sopan, dan bibir bawah itu selalu di majukan, saat lembar pertama dahinya mengerut, lembar kedua matanya melotot kearahku, lembar ketiga dia mengosok hidungnya, lembar ke empat dia tidak jadi mebuka, bibir konyol itu dia majukan lagi, "Mr.Jamal," katanya memangil seoramg editor berkebangsaan India yang lahir di Giethoorn, kalau kita bicara tentang Giethoorn itu adalah sebuah desa mirip dengan Venice di Itali. "Coba anda nilai, berapa nilai yang pantas untuk naskah ini, tolong Mr.Jamal."

Mr.Jamal mengambil naskah Cindy dan membacanya, dia baca 5 lembar, lebih banyak dari pada Mr.Erik, kemudian Mr.Jamal tersenyum dan menulis sebuah angka dihalaman ke 5, "for you Mr.Hanif," kata Mr.Jamal tersenyum.

"For you?" Aku mulai curiga, "for you?, maksutnya apa mungkinkah angka kursi terbalik?" kata ku dalam hati, ternyata benar angka 4, Cindy melihat naskahnya yang diberi nilai 4 hanya bisa diam, aku bawa dia pergi kekedai es grim Turki, aku ceritakan padanya, aku pernah melihat naskahku dibanting di Jakarta oleh seorang editor, tapi apa aku sakit hati, tentu saja, aku lari ke Belanda dan meperbaiki naskahku, aku membaca banyak buku, dan setelah itu aku diskusikan pada seorang teman, dia adalah ayah Cindy, dia memberi masukan, dan aku mencoba memahami, a ku mengirim kepenerbit, dan editor di Den Haag berdiri dan menjabat tangan ku, dia ternyum dan berkara, "Bravo," apa aku harus menjawab tenggo, aku suka biskuit tenggo.

Ku katakan pada Cindy, menulis itu bagai menyelam kedasar laut, bagai terbang kelangit, bagai masuk dan mengali keperut bumi, kita jangan terpokus pada dasar, kita ikuti iramanya, nyanyiannya, musiknya, warnanya, rasanya, nikamati kata per katanya, lalu kita nikmati seninya, ditulisan kita, biarkan dia menjadi seperti surat cinta, biarkan dia bicara, jangan pikirkan uang dan penerbit, pikirkan dia, dia adalah tulisan kita, dia lahir bagai cahaya, bagai matahari musim panas, bagai hujan di bulan desember, bagai es grim Turki rasa kopi, coklat dan stobery bertaburan seres.

Andai Jerman kalah perang, Belanda dan Indonesia akan jadi apa? Andai Jepang kalah perang, apa aku bisa makan es dawet di Jakarta? bersama Cindy.

Alamandra : Terompet EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang