12. Penghiyanat Harus Mati Di Surabaya

8 0 0
                                    

10 Oktober 1970, Surabaya. Mr. Cipto Jaya Ningrat.

Aku mempunyai tiga orang teman, ketiga temanku selalu saja baik padaku, nama ketiga temanku itu adalah Bagaimana Jika, Bagaimana Kalau, dan Bagaimana Bila.

Ketiga temanku selalu saja bisa menjawab semua pertanyaanku, aku bertanya pada temanku yang bernama Bagaimana Jika, "bagaimana jika didunia ini ada harta sejati?" tanyaku.

"Pasti dunia ini akan penuh kebaikan," jawab Bagaimana Jika.

"Kalau begitu, apa itu harta sejati?"

"Kejujuran," jawabnya.

Lalu aku bertanya pada temanku yang bernama Bagaiman Kalau, "bagaimana kalau didunia ini ada kebebasan yang sejati?" tanyaku.

"Pasti dunia ini akan sangat indah dan luar biasa," jawab Bagaimana Kalau.

"Kalau begitu, apa itu kebebasan sejati?"

"Cinta dan kepastian," jawabnya.

Kemudian aku bertanya pada temanku yang bernama Bagaimana Bila, "bagaimana bila kejujuran, cinta, dan kepastian aku bawa hingga mati."

"Kejujuran, cinta, dan kepastian tidak bisa dibawa mati, karena ketiganya adalah hak orang yang masih hidup, yang bisa kau bawa sampai mati adalah rasa tanggung jawab," jawab Bagaima Kalau.

Tepat 10 Oktober 1970 jam 10 di Surabaya, 4510 di Stasiun Surabaya Kota, 463 KA Penataran untuk tujuan Malang-Belitar jam 11.25, aku datang lebih cepat 1 jam 25 menit, malam nanti di Belitar ada pertemuan rahasia pasukan Jepang membahas penyergapan pasukan revolusi di Belitar.

Niu wanita yang sangatku cintai sedang berdiri disampingku, "apakah aku ini penghiyanata?"

"Aku tahu, kau bukan penghiyanat," kata Niu memberikan sebuah sapu tangan putih bergaris merah jambu kepadaku.

"Aku sudah menghiyanti negaraku, banyak kaum nasionalis ditangkap karena penghiyanatanku."

"Aku tahu."

"Mengapa takdir tidak pernah ramah dengan orang Surabaya."

"Bukan takdir, tapi dunia, dunia tidak pernah ramah dengan semua yang menempatinya, kalaupun dia ramah, keramahanya adalah tipuan."

"Begitukah," kami berdua terdiam sambil melihat langit yang dipenuhi awan menyerupai sisik, "setelah aku pulang dari Belitar, apa kau mau menikah denganku? Aku berjanji akan membahagiankanmu, akan aku penuhi apapun keinginanmu, Niu aku mencintaimu."

"Aku tahu..." Kata-kata Niu terpotong, aku melihat beberpa orang Jepang berseragam militer mendekati kami.

"Niu cepat pergi," kataku, lalu cepat-cepat aku berkata pada Niu, "eh, Niu, aku akan melamarmu," Niu melihatku dengan sambil tersenyum.

"Hati-hati," katanya dan dia pun cepat-cepat pergi dan menghilang dikerumbunan orang-orang.

Aku melihat Mika gadis Jepang yang aku kenal beberpa tahun yang lalu, Mika salah satu tokoh Fujinkai di Surabaya dan selalu memakai baju militer, dia melihatku dari kejauhan dan berteriak, "Cipto-Sama, aku disini," katanya sambil melambaikan tangan.

"Dia lagi," kataku kesal.

Aku membalikan badan untuk mengindarinya, namun tiba-tiba aku melihat Hartini dengan topi seperti pencopet dan jas kelabu, dia mengarakan pistol dan menembakanya kearahku. Tembakanya tepat didadaku, rasanya panas dan perih, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh tiarap, sementara Hartini langsung pergi meningalkanku, beberpa orang disekitarku panik saat mendengar letusan tembakan itu. Aku melihat Mika berlari dan memelukku, dia menangis begitu hebat, sebenarnya ini bukan saat yang tepat untuk memeluk orang, karena semakin erat pelukan Mika semakin sakit dadaku dan semakin banyak darahku keluar, penglihatanku mulai kabur dan aku tidak tahu lagi selain Mika yang masih saja memeluk diriku.

Hartini berjalan kesebuah lorong di Stasiun Surabaya Kota, seorang pria berjas hijau dengan topi putih mencengkram lehernya, "Hartini! Apa kau sudah gila! Cipto itu teman kita!"

"Lepaskan aku bila masih ingin hidup!" Teriak Hartini pada Pria itu sambil mendongkan pistol kearah sang pria.

Sang pria kaget dan melepaskan cengkaramanya, pria itu berkata pada Hartini yang berjalan cepat meninggalkanya "hartini, kau akan..."

"Dia harus mati, karena aku mencitainya!"

"Kau gila!"

Aku terbangun disebuah gerbong kereta, dadaku diperban dan ada selang inpus ditangan kiriku, dari luar aku melihat pemandangan yang aku sendiri tidak bisa menikmatinya, "kau sudah bangun Cipto, sebaikanya kau harus bersembunyi di Jakarta, pasukan revolusi sudah mulai bergerak," kata serang pria yag duduk disebrang tempat aku berbaring, dia adalah Sersan Mr.Koto Gumi, aku juga melihat Mika duduk disebelahku sambil membelai rambutku.

"Sebaiknya kau, aku bawa ke Kyoto," kata Mika.

"Ke Kyoto? Jangan remehkan aku."

"Apanya jangan diremehkan?" kata Mr.Koto yang memperlihatkan sebuah kertas telegram, "pasukan revolusi Indonesia di Surabaya baru saja menghacur leburkan markas militer angkatan darat dan udara kita kemarin."

"Apa?" Aku benar-benar kaget, hampir saja jatungku copot, markas militer angkatan darat dan udara Jepang di Surabaya adalah markas militer terkuat kedua se-Asia Raya setelah markas militer di Tokyo, "bagimana bisa?"

"Makanya itu," kata Mr.Koto, "sejarah memang suka jungkir balik, suram," katanya sambil melihat keluar jendela gerbong kereta api.

Alamandra : Terompet EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang