Jam masih menunjukkan pukul tiga pagi tapi aku sudah mulai tadi mengobrak abrik meja belajarku. Mencari buku paket matematikaku. Kalian bisa tebak untuk apa? Mengerjakan PR. Ini bukan kali pertama aku rusuh di pagi buta. Lupa mengerjakan PR pada saat belajar di malam hari adalah kebiasaanku. Kalau saja teman sekelasku tidak ribut di grup semalam pastilah pagi ini aku tidak mengerjakan PR.
Aku duduk di kursi meja belajarku.
Memandangi kasur yang berantakan.
Aku diam.
Diam.
Diam.
Diam.
"Ini pasti ulah Kak Vio," aku manggut manggut sambil memegang dagu. Bersenjatakan guling kapuk aku melangkah medan perang untuk memperjuangkan hak milik buku paket matematikaku. Langkah kakiku bergerak menuju kamar Vio. Aku membuka pintu. Vio menoleh. Dia begadang ternyata. Pasti main game.
"Heh, bocil, ngapain jam segini masuk kamar orang bukannya tidur juga? Wah, mau maling lo ya. Parah parah, kakak sendiri mau dimalingin. Gak bener nih anak"
"Apaan? Dasar tijel. Kak Vio sendiri juga gak tidur. Kak, buku matematika gue di mana?"
"Kalo bisa tidur gue pingin banget, Vi. Tapi ini tugas menggunung. Buku apaan?"
"Ayolah Kak! Yaudah sana gih tidur. Tidur selamanya."
"Nanti lo kangen lagi. Eh, gue nanya serius buku apa"
"Buku paket matematika. Ayolah kak, gue ada PR"
"Kok enggak dikerjain tadi malem? Serius gue gak tau. Coba dicari"
"Gak tau lah. Bodo amat," aku membanting pintu kamar Vio setelah itu melesat menuju kamarku sendiri. Vio hanya menatap pintunya penuh persaan. Perlahan ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh gagang pintu.
"Sabar ya pintu, kamu harus kuat menjalani ini semua. Aku tau ini berat, harus dibanting sama Via setiap hari, tapi aku yakin kamu pasti bisa. Kamu harus ingat selalu ada aku di sini yang akan jagain kamu"
"DASAR JONES. NIKAH AJA SANA SAMA PINTU!" setelah teriakanku itu maka dimulailah aktivitas di rumah ini. Tentunya kegiatan yang pertama adalah memarahiku karena berteriak subuh subuh.
***
Seluruh kolong meja di kelas sudah kuperiksa. Namun buku paket matematikaku belum kutemukan. Yasudahlah. Lebih baik menunggu teman-teman datang. Menunggu buku PR mereka lebih tepatnya. Ada kepala lewat mengarah ke kelas ini. Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak padaku. Tunggu dulu, lihatlah siapa yang datang, Arka, lengkap dengan bajunya yang tidak pernah dimasukkan, rambut berantakan, tas dan sepatu keluaran terbaru yang haganya bisa dibuat bayar SPP berbulan-bulan. Aku mengurungkan niat bertanya pada orang ini.
"Vi, lo udah ngerjain PR belum?" Arka memecah keheningan.
"Belum. Buku gue ilang nih. Lo udah ka?"
"Belum. Gak usah yuk. Anak-anak juga banyak yang gak ngerjain"
"Siapa aja?"
"Hampir setengahnya. Lagian denger denger hari ini pulang pagi"
"Kata siapa?"
"Lah, kata temen sebangku lo. Lo gak dikasih tau?" Arka merogoh sakunya mencari iPhonenya. Yang diomongin pun datang. Melza. Aku langsung menanyakan kebenaran hal yang dikatakan Arka. Aku tidak mungkin aku bisa langsung yakin pada ucapan Arka, sudah berkali kali aku tertipu olehnya.
"Eh iya, Vi, nanti ikutan yuk, kober," ajak Faiz yang tiba tiba nimbrung. Aku berpikir sebelum menjawab. Walaupun sebenarnya berpikir atau tidak berpikir jawabannya adalah iya. "Ikut dah, Vi. Arka mau traktiran," Melza ikut jadi kompor. Aku menatap Arka.
"Yee, mau ikut lo, Vi?"
"Mau lah, pake ditanya lagi."
"Khusus Via ada syaratnya" Arka menarik sudut bibirnya penuh misteri.
"Arka apa sih! Bagian gue ada syaratnya"
"Mau ditraktir gak?"
Aku diam terlebih dahulu. Syarat dari Arka biasanya aneh-aneh. Syarat syarat yang aneh berkeliaran memenuhi otakku. "Gak seaneh yang lo bayangin kok," sergah Arka seakan bisa membaca pikiranku. "Syaratnya gue yang milihin pesenan lo ntar level berapa," senyum licik itu mengembang semakin lebar di bibir Arka. Hal itu justru membuatku ingin menyensor wajahnya yang selalu bikin naik darah.
"Terserah deh, yang penting ditraktir."
"Nah ya emang harusnya tuh gitu. Masa udah ditraktir masih milih milih. Kan gak sopan banget itu ya namanya." Arka duduk di atas meja kemudian mencomot kripik milikku. Kakinya mengayun ayun seakan menikmati betapa nikmatnya kripikku. Alisnya naik turun menggoda. Ya tuhan, selalu saja. Kenapa bocah ini memiliki tingkat kepedean setinggi menara sutet. Satu lagi, alisnya. "Eh, alis lo kok bisa naik satu gitu sih, ka? Kok gue selalu dua duanya naik" Arka semakin menunjukkan kelihaiannya dalam menaik turunkan salah satu alisnya.
"Lo nya aja yang cacat makanya gak bisa," Arka menarik ujung rambutku kemudian pergi.
"Arka cialan!" umpatku tertahan sambil meremas kripik di tanganku. Kripik? Ya Tuhan, bodohnya aku. Kripik itu kini hancur berkeping keping seperti mie yang diremes. Aku memandang bungkusan kripikku yang mengenaskan. Tak apalah ini menjadi kripik remes, toh masih ada rasanya. Suapan demi suapan berlanjut terus menerus.
__________________________________
Haloo chapter dua nih! Makasih udah bacaa
Maaf ya kalo jelek
Lama ya? Iya soalnya lagi block writter
Jangan lupa vote and comment ((:
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAVIA
Teen Fiction"Oh jadi lo bilang gue bodoh?" "Lo yang menyimpulkan." "Apa sebutan buat orang yang lebih bodoh dari orang bodoh?" "Tolol." "Kalo gitu lo tolol. Udah tau orang bodoh, masih aja dicontek." Aku merebut buku tulisku. "Lah, ngambek. Hahaha. Gue aduin k...