Cahaya bulan malam ini terang. Cukup terang untuk menerangi hatiku yang sedang redup. Angin memelukku erat seakan lama tak berjumpa.
Kalimat-kalimat beterbangan di kepalaku. Lewat begitu saja tanpa permisi. Bahkan ada yang mampir cukup lama tanpa tahu sopan santun. Menyusup masuk untuk bermalam.
Lantunan lagu bertempo lambat yang hanya dapat kudengar sendiri mengalun di telingaku. Beradu kekuatan dengan kalimat yang menyerang batinku.
Mengapa ada sang hitam bila putih menyenangkan?
Ya. Mengapa harus harus ada sang hitam kalau putih menyenangkan. Aku segera membuka kunci telepon genggam milikku.
"Kenapa, Vi?" suara bariton menyahut dari seberang telepon.
"Temenin keluar yuk?"
"Hmm..." Gaby memberi jeda sebentar untuk menjawab tawaranku. "Sorry."
"Gue yang sorry. Gue lupa kalau lo nggak mau diganggu waktu hari sekolah. Maaf ya."
Padahal aku akan bawa banyak cerita, Gab.
Aku merutuki kebodohanku yang kelewat batas. Bukankah Gaby sudah berkali-kali menolak ajakanku untuk keluar saat hari sekolah. Kenapa pula aku selalu lupa.
Getaran halus yang konstan mengusikku yang sedang menikmati hitamnya langit. Menatap bintang yang sedang unjuk diri. Berusaha mencari kebahagiaan seperti saat kecil. Bertahun-tahun yang lalu dapat melihat bintang di langit saja rasanya bahagia sekali.
Kenapa begitu menginjak masa di mana orang-orang mengatakan bahwa ini masa yang paling indah justru amat sulit menjadi bahagia.
***
Sekuat-kuatnya keinginanku agar pagi datang lebih lambat, nyatanya sang surya tak peduli.
Waktu belajarku semalam terbuang sia-sia dengan adegan dramatis berdiri di balkon sambil bergalau ria. Akibatnya aku baru memulai belajar menjelang tengah malam dengan kelopak mata yang mulai turun. Ujung-ujungnya mataku sempurna tertutup. Padahal hari ini aku ulangan.
"Aduh, gimana ini gue nggak belajar. Semalem gue nonton youtube."
Begitu aku menjatuhkan pantatku di kursi kayu yang penuh coretan ini, keluhan cewek di sebelahku ini langsung menusuk kupingku. Melza. Namun setidaknya aku bersyukur karena ada yang sama denganku.
Sama-sama tidak belajar.
"Sama. Gue juga nggak belajar. Gimana ini," sahutku.
Aku berkata jujur. Sempat memang membaca beberapa paragraf, tapi apalah artinya kalau yang kubaca itu hanya paragraf pembuka.
"Bohong!"
"Beneran."
"Lo pasti sok bilang nggak belajar biar gue tenang-tenang aja kan?"
"Apasih? Gue beneran nggak belajar."
"Via kan udah pinter. Nggak usah belajar," sahut Anna.
"Gue nggak belajar. Beneran. Cuma baca awal-awalnya."
"Alah bilang nggak belajar tapi nanti dapet seratus. Lo mau ngejatuhin kita kan? Biar kita nggak belajar juga, biar lo doang yang dapet nilai bagus."
Aku mendengus kesal. Pemikiran dari mana itu? Aku bahkan tak pernah berpikir bisa seperti itu. Melza sedang menuangkan minyak tanah dalam api.
"Wah, jadi gitu ya. Jangan percaya guys kalau Via bilang nggak belajar." Beberapa teman di sekitar mulai menimpali. Bersahut-sahutan memojakkanku seakan aku telah melakukan kesalahan fatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAVIA
Teen Fiction"Oh jadi lo bilang gue bodoh?" "Lo yang menyimpulkan." "Apa sebutan buat orang yang lebih bodoh dari orang bodoh?" "Tolol." "Kalo gitu lo tolol. Udah tau orang bodoh, masih aja dicontek." Aku merebut buku tulisku. "Lah, ngambek. Hahaha. Gue aduin k...