Di sinilah aku, berdiri di depan teman-teman sekelasku. Melakukan manequin challenge alias dihukum. Walaupun tadi aku sudah memasang wajah melas dihadapan Bu Rini, guru matematika, aku tetap saja dihukum. Alasan yang aku katakan juga hanya dianggap angin lalu belaka. Coba tebak kenapa aku dihukum. Ya, aku dihukum karena tidak mengerjakan PR. Bodoh sekali aku bisa percaya pada Arka bahwa setengah dari teman sekelas tidak mengerjakan, kenyataannya hanya aku sebatang kara yang tidak mengerjakan PR. Bahkan Arka lah yang maju pertama mengumpulkan buku tugasnya. Inginku berkata kasar.
Aku menikmati wajah teman-temanku yang sedang mendengarkan penjelasan dari Bu Rini. Di ujung paling belakang ada Dedi dan Agus. Keduanya mulai tadi hanya tertawa-tawa sembari menunduk. Tak pernah sedetik pun mengangkat kepalanya ke arah papan. Barisan depan sudah jelas diisi oleh siswa siswa berkacamata tebal dengan sikap sempurna. Hikmat mendengarkan penjelasan guru, mencatat akurat setiap ilmu yang disampaikan. Di bagian sayap kanan ada kumpulan pembuat onar, mereka sedang sibuk menyusun jadwal trip untuk esok hari. Aku menyebutnya apa tadi, pembuat onar? Pembuat onar saja tidak dihukum. Pembuat onar saja membuat PR. Kini aku merasa hina.
Entah sejak kapan aku jadi sangat menantikan kedatangannya. Aku merindukan suara lembutnya yang memasuki telinga. Aku menunggu bel berbunyi. Berdiri di depan kelas hanya membuat kakiku sakit, tidak bisa membuat PR yang tidak kukerjakan selesai. Siapakah sebenarnya penggagas ide dihukum berdiri di depan kelas ini. Sungguh ide yang cemerlang.
***
Aku cepat-cepat menghempaskan tubuhku ke bangku setelah mendengar lagu favorit para siswa berbunyi. Sama cepatnya dengan teman-teman pergi meninggalkan kelas dengan berbagai tujuan. Beberapa dari mereka menatapku iba, tapi ada juga yang menatapku bahagia. Bahagia di atas penderitaan orang.
"Kok lo bisa-bisanya gak ngerjain tugas?" tanya Melza begitu saja setelah aku duduk di sebelahnya.
"Dengerin ya. Tadi pagi gue udah dateng sepagi mungkin biar bisa ngerjain PR. Gue udah dateng pagi banget, sebelum muadzin bangun malah. Enggak juga sih, kan gue gak tau muadzinnya bangun jam berapa. Nah terus nih, Arka dateng bilang banyak yang gak ngerjain juga terus dia bilang sekarang pulang pagi. Setelah itu lo dateng. Selanjutnya lo tau sendiri."
"Lo kok bisa sih percaya sama Arka. Udah jelas jelas dia...."
"Itu dia! Gue tadi salah fokus sama kalimat pulang pagi hingga akhirnya gue lupa kalo matematika itu pelajaran pertama. Kan kucing."
"Kan kucing?"
"Gak sopan bilang anjing."
"Nah, itu lo bilang anjing."
"Kan barusan gue bukan ngumpat. Lama lama gue suntik juga nih anjing rabies."
"Gue gigit duluan lah."
"Jadi lo beneran anjing?"
"Duh, lo kelamaan berdiri otaknya ikut pegel-pegel gitu ya. Udah ah, berangkat yuk."
"Ke kober? Gak jadi ikut deh, males. Masih kenyang juga gue. Gue mau me time aja." Aku segera memakai tasku. Mulai tadi aku memang tidak mengeluarkan apa-apa. Alat tulis saja tidak. Ada untungnya juga dihukum, tidak perlu repot repot merapikan barang. Aku segera melangkah meninggalkan kelas.
***
Deretan lemari berjajar rapi memenuhi ruangan. Sorotan cahaya menerangi setiap sudut. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan buku terhampar di sekeliling. Ada yang disusun rapi di rak, ada pula yang disusun rapi membentuk bangun-bangun menggemaskan. Bau kertas menyeruak hidungku. Aku selalu suka tempat ini. Toko buku. Kalau saja buku di perpustakaan di kota ini keluaran terbaru aku pasti lebih menyukainya karena gratis. Sayangnya buku-buku yang kutemui di pepustakaan hanyalah buku-buku jadul yang sudah hatam kubaca bertahun-tahun lalu saat buku itu masih baru dirilis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAVIA
Teen Fiction"Oh jadi lo bilang gue bodoh?" "Lo yang menyimpulkan." "Apa sebutan buat orang yang lebih bodoh dari orang bodoh?" "Tolol." "Kalo gitu lo tolol. Udah tau orang bodoh, masih aja dicontek." Aku merebut buku tulisku. "Lah, ngambek. Hahaha. Gue aduin k...