"Via, cepetan! Gue keburu telat ini."
Aku menuruni anak tangga dengan tergesa gesa. Tasku belum tertutup sepenuhnya. Rambut masih setengah basah. Tanganku bergerak lihai menyisir rambut sepanjang perjalanan menuju meja makan. Di pergelangan tanganku melingkar kuncir rambut dan beberapa jepit. "Kak Vio sih gak bangunin gue," ujarku tak mau kalah.
"Coba ulangi sekali lagi lo bilang apa?"
"Kak Vio sih gak bangunin gue."
"Terus yang lo lemparin bantal itu siapa, hah?! Lo gue bangunin malah marah marah. Untung adek gue, kalo engak..."
"Apa? Mau bunuh gue? Pakai pisau roti? Gitu aja terus setiap hari. Gak kreatif tau."
"Ini anak dua ribut terus. Jadi berangkat atau enggak?" Wanita paruh baya menghampiri meja makan yang bisa bisa terbelah dua jika kedua anaknya dibiarkan terus berdebat. Senyum hangatnya selalu bisa membuat Vio lunak. Vio adalah anak kesayangan mama. Dia selalu menjadi jinak kalau sudah berada di depan mamanya. Mama mengelus rambut Vio yang bergelantungan di lengannya. "Sana berangkat. Acaranya mulainya jam tujuh kan?"
Setelah memakai seatbelt Vio segera memacu mobilnya melewati gedung gedung tinggi. Acuh melewati pohon pohon yang melambai. Tak lupa "menyapa" beberapa orang yang berkendara sembarangan. Malam ini mereka berdua menuju ke arah gedung serbaguna SMA 78. Tempat diadakannya pertunjukan pentas seni sekolah terbesar. Vio jelas menonton bersama alumni SMA 78 yang lain. Fakta bahwa Vio adalah salah satu alumni terbaik dari SMA 78 tidak bisa dipungkiri, walaupun di rumahnya ia lebih tampak seperti anak aneh yang suka mengganggu ketentraman.
Kursi penonton terhampar dari ujung ke ujung. Tertata rapat dan rapi. Lampu-lampu kristal megah menggantung terang di langit rungan. Saking terangnya jerawat kecil dari jarak sepuluh meter pun dapat terlihat. Karpet merah di dasar ruangan menambah kesan mewah. Dekorasi sederhana namun berkelas sangat menunjukkan kualitas. Vio sudah lama bergabung dengan teman-temannya di tribun atas sedangkan aku berdiri di dekat pintu masuk menunggu satu-satunya temanku yang berhasil kurayu untuk menemaniku menonton ini.
"Lo gak mau duduk aja?" Aku hafal suara itu walaupun hanya dadanya yang bidang yang tampak sejajar dengan kepalaku. Badan tingginya yang saingan dengan tiang bendera membuatku malas menatap wajahnya. Membuat leherku pegal saja. Tanpa melihat wajahnya pun aku sudah tahu, detik ini dia sedang tersenyum. Selalu begitu. Bicara sesingkat mungkin. Siapa lagi kalau bukan Gaby. Satu-satunya orang yang akhirnya mau menemaniku walau harus diancam aneh-aneh terlebih dahulu.
Sudah lewat berminggu-minggu dari tragedi "mas mas pelayan toko". Sejak saat itu aku jadi lebih sering bertemu dengannya baik sengaja ataupun tidak. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama karena kita memiliki hobi yang sama. As simple as that. Jangan berpikir aneh-aneh seolah aku menyukainya sejak pertama bertemua kemudian aku mengikutinya kemanapun ia pergi kemudian berakting tidak tahu menahu kenapa bisa bertemu berkali kali. Sungguh tidak begitu. Dalam pertemuan-pertemuan itu juga tidak banyak yang kita bicarakan. Hanya bicara seperlunya karena Gaby adalah salah satu orang yang sepertinya menganut aliran diam itu emas. Emas dua puluh empat karat malah. Dia bisa saja tidak membuka mulutnya sesenti pun kalau aku tidak berinisiatif membuka percakapan. Tapi setidaknya dia teman bicara yang cocok.
Gaby memilih lokasi pas di tengah-tengah ruangan. Benar-benar di tengah. Tidak terlalu ke depan, tidak terlalu ke kiri atau ke kanan. Sempurna. Seluruh panggungg terlihat jelas dari sini.
"Wah mantab ini. Keliatan jelas semua panggungnya. Semoga orang yang duduk di depan gue gak tinggi tinggi banget," ujarku antusias. Aku merogoh sakuku untuk meraih ponsel. Bersiap memotret latar panggung. Ada yang aneh. "Gab, kok kamera gue item? Emang ini gelap banget ya?" Yang ditanya hanya tertawa tertahan. Ketika aku menurunkan kameraku aku harus menerima kenyataan pahit bahwa doaku tidak terkabul. Orang yang duduk di depanku tinggi, besar, dan kribo.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAVIA
Novela Juvenil"Oh jadi lo bilang gue bodoh?" "Lo yang menyimpulkan." "Apa sebutan buat orang yang lebih bodoh dari orang bodoh?" "Tolol." "Kalo gitu lo tolol. Udah tau orang bodoh, masih aja dicontek." Aku merebut buku tulisku. "Lah, ngambek. Hahaha. Gue aduin k...