[ 9 ] Cie

443 42 0
                                    

Bel pulang sekolah berhenti sepuluh menit yang lalu. Kelas-kelas menyisakan beberapa anak yang sedang piket. Lapangan sudah parkir kosong setengahnya. Para pedagang di kantin bersiap merapikan barang dagangannya. Guru-guru mungkin sudah tiba di rumahnya. Tapi aku masih di sini. Duduk di depan kelasku sendirian.

"Vi!" Gaby setengah berlari mendekat. Suara gesekan sepatu dengan lantai beberapa kali terdengar. Rambutnya berkibar kibar diterpa angin. Cuaca sedang kurang baik.

"Lagi lomba mendung-mendungan ya sama langit? Suntuk banget mukanya." Tubuh jangkung Gaby kini bersandar di bangku sebelahku. Kaki panjangnya menghalangi jalan. "Senyum dong."

Bukannya ikut tersenyum, aku malah memutuskan memalingkan pandanganku sambil tetap cemberut.

"Senyum itu ibadah. Lo nggak mau beribadah?"

"Yaudah nih." Sudut-sudut bibirku kutarik paksa hingga tebentuk sebuah lengkungan.

"Ulang. Nggak ikhlas tuh," ujar Gaby sambil mencontohkan senyum yang menurutnya adalah senyum ikhlas. Bibir tipisnya melengkung sempurna seperti bulan sabit. Matanya yang bening seakan ikut tersenyum. Berkerling jenaka menggodaku. Satu kata, manis. Aku baru sadar wajah kutu buku dihadapanku ini ternyata boleh juga. Di atas rata-rata. Sama seperti nilai-nilai pelajarannya.

Kalau ada yang pernah dengar segerombolan cewek sedang memuji-muji Gaby, bilang padaku. Aku berani sumpah bahwa aku belum pernah mendengar ada yang memuji Gaby. Maksudnya memuji wajahnya, kalau memuji nilainya sih seantero sekolah pasti pernah. Berlawanan sekali dengan saudara kembarnya, Arka, Si Badung. Dari anak kelas sepuluh sampai kelas dua belas ada saja yang suka berbisik bisik heboh dengan kawannya saat Arka lewat.

Terdengar suara pintu dibuka disusul dengan keluarnya Arka dari dalam kelas. Langkah kakinya terhenti begitu kepalanya menengok ke arah Gaby. Matanya bergerak menatapku dan Gaby secara bergantian. Tatapan yang menyiratkan keheranan, sama herannya dengan aku dan Gaby. Aku sudah siap mengambil napas untuk angkat suara saat kulihat senyum samar Arka.

"Wow?" Intonasi bicara Arka lebih ke arah bertanya dari pada terkejut.

"Hm... Belum pulang lo?" tanya Gaby canggung.

"Belumlah. Ini masih di sini. Mau bareng?"

"Oh... Eng...gak. Duluan deh."

"Oke," jawab Arka. Ia menepuk bahu kanan Gaby sebelum berlalu. Aku bisa melihat ada senyum aneh di wajah Arka. Kulirik Gaby yang berada di sampingku, wajahnya tegang. Tiba-tiba Gaby juga melirikku. Sedetik kemudian kami tertawa geli.

"Kembaran lo."

"Iya tau," jawab Gaby sambil menahan senyum. Tak perlu diingatkan dia juga sudah tau kalau itu kembarannya.

"Kok canggung?"

"Ah, enggak." Gaby menggaruk kepalanya yang kuyakini sedang tidak gatal. "Temen sekelas lo tuh. Kok diem aja?"

"Males. Ngeselin dia. Gue belum bilang ya? Dia itu cowok sering gue ceritain, Gab. Yang nggak niat buat hidup, yang rambutnya lebih berantakan dari akar serabut, yang bikin gue dihukum sama Pak Kano."

"Hah? Serius? Salah orang kali lo."

"Yakali, Gab. Udah jelas yang biasa gangguin gue itu Arkavia saudara lo itu."

"Masa sih Arka senakal itu?"

Aku mengangguk meyakinkan. "Makanya nasihatin dong kembaran lo itu. Gue mau hidup gue tentram tanpa masalah dari Arka Arka itu."

"Lo nggak bilang dari dulu."

"Yaudah, sekarang kan udah bilang, bantuin ya."

"Gue nggak bisa janji untuk menolong dan menyelesaikan masalah lo, tapi gue janji, lo bakal ngadepin masalah itu bareng gue." Gaby melonggarkan dasinya sejenak.

ARKAVIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang