Penaku bergerak lincah di atas kertas. Menciptakan deretan rumus dan angka. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul empat sore semangatku belum surut untuk mengerjakan soal yang di berikan oleh Pak Kano. Untungnya seratus soal ini tidak terlalu susah. Tipenya itu itu saja. Ditambah lagi dengan adanya guru bimbel terbaru di abad ini, Gaby.
"Gue suka pelajaran fisika kalau gini," ujarku sambil meregangkan tanganku yang mulai keriting.
"Apa gue bilang. Semua pelajaran itu menyenangkan kok."
"Bagi lo. Gue cuma suka pelajaran waktu gue bisa ngerjain soalnya."
"Yaudah, cepetan kerjain itu soal terakhir. Lo udah makan belum?"
"Itu! Itu! Itu pertanyaan yang gue tunggu-tunggu!" Aku berteriak histeris.
"Ya kenapa lo nggak bilang mulai tadi, sist. Emangnya gue bisa baca pikiran. Lo kerjain, gue siapin makanannya dulu." Gaby meninggalkanku di ruang tengah rumahnya sendirian.
Selepas bel pulang sekolah berbunyi tadi, aku langsung tancap gas menyeret Gaby ke parkiran. Rencana awalnya kita akan mengerjakan di rumahku, tapi aku baru ingat kalau di rumahku tidak ada siapa-siapa. Jadi aku tidak mau ambil resiko. Bukan karena aku tidak percaya pada Gaby. Bukan. Hanya saja aku selalu ingat petuah mama. Kalau kata Papa sih, bisa ayahab kalau jadi gosip tetangga.
Deru mesin mobil semakin lama semakin jelas terdengar kemudian menghilang. Mungkin tetangga Gaby atau orang tua Gaby pulang lebih awal. Menurut cerita Gaby orang tuanya bisa pulang di atas jam tujuh malam.
Samar-samar aku mendengar suara laki-laki sedang bercakap-cakap. Bisa jadi orang tua Gaby memang pulang lebih awal. Satu menit. Dua menit. Tidak ada siapa-siapa yang masuk ke rumah. Mungkin itu tetangga. Aku kembali menyibukkan diri dengan soal terakhir.
Tanpa kusadari seorang lakil-laki melepas kaos atasannya tanpa memerhatikan sekitar.
"Aduh alamak gak tahan."
Gumaman laki-laki itu membuatku refleks menoleh dan menyaksikannya tengah melepas kaos atasannya.
"Astaghfirullah, aku berdosa!!" jeritku. Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Kaos yang tadinya sudah terangkat setengah kembali menjuntai ke posisinya.
"Eh, sorry gue kira gak ada orang."
Aku terbelalak kaget menatap laki-laki di hadapanku. Tak salah lagi. Ini Arka. "Ngapain lo di sini?"
"Harusnya gue yang nanya. Ini rumah gue."
"Hah? Ngaco lo."
"Dikasih tau nggak percaya juga..."
"Eh, Ka, udah selesai ekskul?" Gaby datang membawa dua piring makanan. "Tumben cepet?"
"Gue pulang duluan."
"Emang lo besok ada ujian?"
"Kuis," jawabnya pelan. Kutebak dengan tujuan agar aku tidak bisa mendengarnya.
Sebentar, apa aku tidak salah dengar. Arka pulang lebih dulu hanya karena mau belajar untuk kuis. Ini mustahil. Ini tidak masuk akal. Hanya untuk sebuah kuis, bukan ulangan, Arka sampai ijin pulang duluan? Berlebihan. Mungkin kalau besoknya ujian semester dia bisa-bisa keluar ekskul.
"Oh, yaudah, kalau mau makan itu bibi udah masak."
"Iya, gue mandi dulu." Arka beranjak pergi sambil menatapku. Tatapan yang seakan berbicara 'kenapa lo bisa ada di sini, lo ngikutin gue ya?'.
___________________________________
BTW INI KEPENDEKAN GAK SIH?
Aku lama gak update, tandanya sekolah sibuk to the max huaaa
Makanya baca dong biar aku tetap memiliki semangat menulis (?)
Gadeng. wkwk. Kalo nulis ya nulis aja.
Eh, minta saran dong
Enakan update pendek tapi sering atau panjang tapi lama (sekitar seminggu - dua minggu sekali gitu)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAVIA
Ficção Adolescente"Oh jadi lo bilang gue bodoh?" "Lo yang menyimpulkan." "Apa sebutan buat orang yang lebih bodoh dari orang bodoh?" "Tolol." "Kalo gitu lo tolol. Udah tau orang bodoh, masih aja dicontek." Aku merebut buku tulisku. "Lah, ngambek. Hahaha. Gue aduin k...