Arka mempercepat gerakannya begitu ketukan pintu yang tadinya halus berubah menjadi brutal. Pengunci pintu penuh karat bergerak-gerak mengkhawatirkan seperti akan terbuka. Padahal Arka belum lengkap mengenakan pakaiannya.
Beginilah suasana kamar mandi jika mendekati dimulainya ekskul. Para siswa saling beradu kecepatan untuk berganti pakaian. Apalagi jumlah kamar mandi di sekolah dapat dihitung dengan jari. Suasana di mushola pun tidak jauh berbeda. Siswi-siswi yang sudah berwudhu berebut mukenah yang jumlahnya terbatas. Padahal berat seperangkat alat sholat seperti mukenah tidak mencapai satu kilogram, tapi rasa malas untuk membawa sendiri ke sekolah amat besar.
Sebenarnya tidak seharusnya mereka menyalahkan jumlah kamar mandi di sekolah atau jumlah mukenah yang dapat dihitung jari. Salah mereka sendiri tidak mulai tadi mengganti baju dan sholat. Padahal mereka punya waktu lebih dari cukup untuk sekedar ganti baju. Bahkan digunakan untuk menonton satu film penuh pun bisa. Sayangnya, aktivitas seperti bersantai, bergurau, tidur-tiduran, dan sederet aktivitas tidak berfaedah lainnya lebih menarik.
"Lo luluran dulu ya, Ka?" berbagai sambutan terlontarkan begitu pintu terbuka. Ekspresi tidak sabar tercetak jelas di wajahnya. Ada pula beberapa orang yang wajahnya santai tapi paling banyak protes. Mengompori agar siswa lain semakin semarak memprotes Arka. Siapa lagi kalau bukan teman ekskul Arka.
"Sorry tadi gue masih pake foundation dulu."
"Anjay. Pake make over ya."
"Wardah dong, biar halal."
Arka membelah lautan manusia yang berjajar di koridor. Masih tersisa beberapa menit lagi sebelum ekskul dimulai. Tanpa dikomando, kaki Arka langsung mengarah ke destinasi favoritnya. Kantin. Meja paling pojok dekat gerobak mie ayam adalah tempat paling nyaman.
Dengerin musik sambil selonjoran leh ugha nih.
Arka merogoh tasnya berusaha meraih earphone miliknya. Ditariknya gulungan kabel putih dari dalam tasnya. Walaupun tidak tampak seperti gulungan sama sekali, anggap saja itu gulungan earphone. Arka menghela napas kesal. Menyesali ketelatenannya menggulung kabel tadi pagi, ujung-ujungnya tetap saja menjadi kusut.
"Mau dengerin musik aja pake nyiksa dulu lo, phone, phone," gerutu Arka sambil terus berusaha meluruskan earphone yang kusut.
"Kalo gue sih yakin baget." Gerakan Arka terhenti sebelum memasangkan headset saat sayup-sayup terdengar suara orang sedang berbicara.
"Gue kalo di sekolah itu sosok murid teladan idola para guru. Plus siswi." Suara yang sama. Jadi orang ini berbicara sendiri? Mungkinkah dia... Oh, mungkin dia sedang mengangkat telepon.
"Bacot lo. Hobi ereksi aja sok suci."
"Itu defekasi, bodoh. Gue kasih tau ya, kalo kata panutan gue tuh nakal boleh bego jangan."
Obrolan tidak penting. Lebih baik melanjutkan meluruskan earphone sialan ini.
"Lo emang doyan."
Tapi tetap saja suara itu lumayan keras sehingga menyita perhatian Arka. Secara tidak sadar kini Arka memang sedang membenarkan earphonenya tapi ia tetap menyimak percakapan orang yang tidak diketahui itu.
"Udah, ah. Bergaul sama lo jadi sampah doang gue."
"Iya gampang. Dia udah tergila-gila sama gue."
Masalah percintaan. Dasar anak muda.
"Hahaha... Gue udah kerasa mulai dulu tapi gue nggak mau."
Brak!
Isi tas Arka berceceran di lantai. Baju dan buku pelajaran yang sudah ditata sedemikian rupa melebur jadi satu di atas keramik putih penuh jejak kaki. Tapi hal itu tidak menyurutkan keingintahuan Arka untuk menguping.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAVIA
Teen Fiction"Oh jadi lo bilang gue bodoh?" "Lo yang menyimpulkan." "Apa sebutan buat orang yang lebih bodoh dari orang bodoh?" "Tolol." "Kalo gitu lo tolol. Udah tau orang bodoh, masih aja dicontek." Aku merebut buku tulisku. "Lah, ngambek. Hahaha. Gue aduin k...