Pantulan bola basket menggema ke seluruh ruangan. Gebukan drum yang memekakkan telinga turut meramaikan suasana sore ini. Bersahut-sahutan dengan teriakan histeris penonton wanita dengan backsound nyanyian yel-yel para suporter sejati dari masing-masing tim.
Aku tak ada bedanya dengan mereka. Melonjak kegirangan saat bola berhasil melewati ring dengan mulus. Di sebelahku Ghina berteriak liar memberi semangat untuk tim basket sekolah. Setelah gagalnya rencana hangout bersama kemarin, tiba-tiba tadi pagi Ghina mengajakku menonton basket berdua. Saat kutanya tentang deadline tugas miliknya, ia hanya mengedikkan bahu tak peduli. Begitulah Ghina, si maniak basket tapi tidak bisa bermain basket.
"Gils, Arka mantab juga mainnya." Ghina berkali-kali membenahi kuncir rambutnya yang sering melorot karena ia bergerak terlalu bersemangat.
"B aja," jawabku singkat. "Kok Kak Fian nggak main ya, Ghin?"
"Apa nyari gue?" Seorang pria berbadan tinggi dengan baju khas suporter tim basket sekolah kami berdiri di samping Ghina. Di belakangnya berdiri pula dua pria dengan baju yang sama.
"Eh, Fian? Lo kok ada di sini?" Ghina lah yang pertama kali menyadari bahwa itu Fian, teman kami.
"Najis. Bukan Fian elo." Aku bergidik geli. "Eh, bentar. Kok lo di sini? Katanya ada kerja kelompok?"
"Iya ya? Terus Juno katanya ada acara gak sih? Nanta? Kalian..." sambung Ghina.
"Oh gitu ya. Diajak jalan bareng kita banyak alasan. Eh ternyata malah jalan sendiri." Aku menatap Fian, Juno, dan Nanta satu-satu. Yang ditatap malah cengar-cengir.
"Eh, anu, gini, gue kerkelnya besok ternyata."
"Kalo gue... acaranya belum mulai. Iya, gitu, gue acaranya nanti malam," ucap Juno yang sempat tersendat. Pasti dia bingung mau alasan apa.
"Oh seperti itu. Ayo, Nanta mau alasan apa juga?"
"Gue... Eh, Vi, Kak Fian masuk lapangan, tuh!" Mataku langsung mengikuti arah yang ditunjuk Nanta.
Seketika pertandingan ini berubah tidak lagi membosankan. Kak Fian berlari-lari kecil dari pinggir lapangan.
Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Rambutnya bergoyang-goyang menambah keindahan. Kulit sawo matangnya menawan. Tidak terlalu gelap dan tidak terlalu putih, pas. Sungguh mahakarya yang luar biasa hebatnya. Lengan berototnya kembali melemparkan bola ke dalam ring.
Masuk.
Stadion langsung dipenuhi gegap gempita. Terompet ditiupkan berkali-kali tanpa aturan. Penabuh drum semakin brutal dalam memukul drum. Untuk mengimbangi irama yang telah tercipta, penonton pun menari heboh bak penonton bayaran. Bodohnya aku termasuk. Sebenarnya aku tidak seberapa suka menonton pertandingan olah raga. Tujuanku ke sini untuk memanjakan mataku. Memerhatikan Kak Fian sepuasnya tanpa harus merasa takut ketahuan.
Desahan kecewa penonton menyadarkanku dari lamunan. Di arena telah terbentuk lingkaran seperti mengerubungi sesuatu.
"Ada apa sih? Kan menang, kok ekspresinya pada gitu?"
"Lo nggak ngeliat apa barusan?" tanya Ghina. Langsungan kubalas dengan gelengan cepat.
"Pasti ngeliatin Kak Fian."
"Dari awal petandingan aja udah bawel nanyain Kak Fian."
"Kayak yang nggak tau Via aja lo pada."
"Nah! Eh, gue tadi nanya loh, itu ada apa kok pada ngumpul gitu?"
"Arka cedera kayaknya."
"Oh."
"Arka cedera, Vi! Lo nggak panik?" Juno mencoba menggodaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/56476524-288-k332831.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKAVIA
Teen Fiction"Oh jadi lo bilang gue bodoh?" "Lo yang menyimpulkan." "Apa sebutan buat orang yang lebih bodoh dari orang bodoh?" "Tolol." "Kalo gitu lo tolol. Udah tau orang bodoh, masih aja dicontek." Aku merebut buku tulisku. "Lah, ngambek. Hahaha. Gue aduin k...