[ 8 ] Hubungan Darah

428 42 1
                                        

Gaby duduk manis di meja belajarnya. Membolak-balik buku setebal tiga ratus halaman yang isinya tulisan semua. Tak peduli desas-desus bahwa besok jam kosong. Ia ingin membaca paket sejarah itu. Tenggelam dalam cerita perjuangan jaman dahulu.

"Gue ganteng kan?" Arka berdiri di ambang pintu. Berdiri tegap dengan pakaian rapi.

"Baju gue ganteng," jawab Gaby seperti biasa. Hanya dengan kalimat tadi, tanpa perlu menoleh dulu ke sumber suara, Gaby sudah tahu bahwa bajunya pasti sedang dipinjam. "Mau kemana? Katanya besok ada kuis?"

"Kudet lo. Besok jamkos kali. Santai. Gue mau nongki-nongki gaul dulu."

"Masih kabar burung. Belum pasti."

"Kalau gitu pastikan," ucap Arka santai. "Gue berangkat ya."

Kepergian Arka jadi mengingatkan pada kejadian tadi sore. Tadi begitu Arka masuk ke kamarnya Via langung memberondong Gaby dengan beribu pertanyaan. Ekspresi wajahnya tak dapat digambarkan, rasanya Gaby ingin tertawa saat itu juga. Tapi ia urung. Melihat energi Via yang menggebu-gebu ia takut kena semprot. Cari aman saja.

Masih teringat jelas kekagetan yang terpampang nyata di wajah Via saat Gaby membongkar fakta bahwa dirinya dan Arka adalah saudara kembar. Kembar tidak identik. Sebenarnya hal itu bukan rahasia umum karena memang tidak ada yang perlu ditutupi. Lagi pula Gaby pikir semua orang sudah tahu karena ia sering mendengar ucapan "Sumpah ini saudara Arka yang katanya kembar tidak identik? Nggak mirip." Andai saja Gaby tidak punya hati ia akan menjawab tepat di depan wajah mereka "Namanya juga kembar tidak identik ya nggak mirip."

Ah sudahlah. Tidak penting. Sejarah lebih menarik.

***

Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya, tapi Vio sudah tak punya malu merecokiku di pagi buta ini. Ia sibuk mengobrak-abrik meja belajarku mencari gunting, penggaris, dan sebangsanya. Aku tak masalah ia meminjam barangku, walaupun aku tahu sebenarnya dia juga punya. Yang jadi masalah adalah dia tidak bisa menemukannya sendiri dan memaksaku mencari.

Tak tahukah ia kalau aku masih ingin menikmati saat-saat sebelum berangkat ke medan perang (re : sekolah). Kelopak mataku ini masih terlalu berat. Separuh malam kuhabiskan untuk belajar kimia dengan ogah-ogahan karena ada isu hari ini jam kosong dan sisa malam kulewati untuk menerima kenyataan bahwa Arka dan Gaby adalah saudara kembar. Oke, ini berlebihan. Tapi serius, aku masih tidak percaya. Mereka tidak mirip sama sekali.

Tangan Vio kembali mengguncang badanku seraya berkata, "Vi, gue cuma mau nanya di mana tempatnya. Tunjukin bentar terus tidur lagi. Gue butuh banget sekarang, Vi."

"Kan Kak Vio punya sendiri."

"Tinggal tunjuk aja apa susahnya sih. Dasar pelit."

"Dasar ngerepotin." Kutegakkan badanku kemudian menghadap meja belajar.

"Astaghfirullah, itu apa di sebelah laptop kak? Gunting, penggaris, lem, cutter, apa lagi itu yang ada di sana. Lengkap. Bahkan lo bisa buka toko alat tulis."

"Eh? Hehe. Nggak keliatan tadi." Vio langsung meraih semua alat-alat yang ada kemudian melangkah menuju pintu kamar.

"Makasih ya," ujarku.

"Makasih buat?" Jawaban yang tak terduga.

"Plis. Itu sindiran."

"Oh..."

"Oh aja?"

"O aja ya kan"

Aku menghela nafas. "Ayah, mengapa kakakku berbeda?"

ARKAVIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang